

Berdasarkan keterangan ibu ku yang pada waktu itu masih berumur 12 tahun, terdengar tabuhan gamelan yang sangat semarak, seolah-olah Rawa Pening akan mengadakan hajatan besar. Hingga sekitar tiga hari kemudian, ada dua orang penduduk desa Tuntang yang menaiki bus Palapa dari Semarang hendak turun di sekitar jembatan utama. Tetapi, sopir dan kernet menolak untuk menurunkan kedua penumpang itu disana karena tempat itu lokasinya tepat di tengah pertemuan dua turunan tajam (kalo anda pernah melalui jalan raya Solo Semarang, pasti melewati jalan ini. Jadi baik dari arah Solo maupun arah Semarang keduanya menurun tajam dan bertemu tepat di jembatan utama ini, seperti melewati lembah).

Pada waktu itu memang sudah umum terjadi bis-bis menolak untuk menurunkan penumpang di sana. Oleh sopir dan kernet bus palapa, dua orang ini diturunkan di daerah kebun kopi bernama Bawen. Salah seorang dari penumpang itu adalah kakek tua renta. Ketika hendak diturunkan di Bawen, kakek itu dengan marah dan lantang berteriak "dadi ngene ya carane? (jadi begini ya caranya?)". Kemudian terjadilah kecelakaan maut itu...
Ketika melewati jembatan utama Tuntang, bus Palapa ini tiba-tiba oleng kemudian masuk ke sungai. Terdengar suara benda berat jatuh ke air "SPLASH!!". Penduduk yang melihat berteriak sekencang-kencangnya memberitahu penduduk lain bahwa ada bus yang terjatuh ke sungai. Tiang-tiang listrik dipukul sekencang-kencangnya oleh para saksi mata, berharap agar penduduk yang lain segera keluar dan memberi pertolongan.

sumber