Kisah ini sengaja saya tulis berdasarkan catatan-catatan tertulis yang saya punya dan juga cerita-cerita dari para “Silent Warrior” pinisepuh saat mereka dulu bertugas mengawaki “Hiu-hiu besi” kita dalam menjaga Kedaulatan NKRI yang mungkin selama ini belum pernah terpublikasikan. Dan tulisan ini saya dedikasikan juga kepada seluruh “Beliau-beliau” tadi berikut juga dengan para “Silent Warrior” muda yang kini masih bertugas mengawal NKRI.
Kalau di jilid pertama berisi kisah-kisah “Koplak” yang benar-benar pernah terjadi (menurut bahasane Bung Lare Sarkem hehehe….) di Jilid Dua ini saya menulis kisah-kisah yang pernah terjadi menyangkut kejadian-kejadian yang serius. Dan enggak lupa tulisan ini saya buat secara bersambung (soale dibuat di sela-sela kesibukan saya alias kalau lagi mood dan ada waktu luang ya nulis, kalo enggak mood ya males nulis soale kerjaan saya bejibun banyaknya). So harap maklum kalo-kalo nanti artikel sambungannya lamaaa banget keluarnya.
KS Whiskey Class
Kegagalan Menyelam saat Philindo Joint Exercise
Ini adalah cerita lanjutan pada saat Angkatan Laut kita mengikuti kegiatan Latihan Bersama dengan Philipina dengan sandi Philindo (Philipine Indonesia Joint Exercise) singkat cerita setelah membuat heboh USAF itu, KS kita sampai ke Manila dan disambut dengan upacara militer. Beberapa saat kemudian para pejabat dan seluruh Komandan kapal perang kita diundang untuk rapat, buat menentukan pelaksanaan latihan yang akan dimulai esok hari.
Besoknya latihan dilaksanakan. KS kita selalu berada di bawah air. Kapal kita yang mensimulasikan “pihak merah” mendekati iring-iringan kapal “pihak biru” yang akan mendaratkan pasukan di suatu beach head dan menembakkan torpedo ke kapal pengangkut pasukan. Kena dan tenggelam. Secara teoritis operasi pendaratan gagal. Oke itu skenario Perang Anti Pendaratan yang harus dilaksanakan oleh KS kita dari Pihak Merah. Tetapi latihan pendaratan tetap saja berlangsung, kapal pendarat tank meluncurkan tank tank amphibi yang merupakan kombinasi yang amat asing dimana tank-tank amphibi Filipina yang berasal dari Amerika dengan silhouttenya yang tinggi, dan tank amphibi kita PT-76 yang berasal dari Soviet / Rusia, dengan silhouttenya yang rendah, kedua jenis tank ini bekerja bersama menyerbu pantai musuh.
Babak pertama latihan selesai, KS kita tidak kembali ke Manila melainkan ke Cebu di Distrik Barat pulau Mindanao dan merapat di sana serta beristirahat. Kemudian datanglah saat yang paling penting, dimana kehadiran KS kita amat dinantikan dalam skenario pamungkas latihan perang ini yaitu Operasi Anti Kapal selam. KS kita sebagai bagian dari kekuatan Merah akan menyusup ke arah kekuatan lawan yaitu kelompok kapal Biru.
Kita berangkat sehari lebih dahulu dari mereka dan menunggu di daerah latihan. Seperti biasa sebelum melaksanakan penyelaman musti dilakukan berbagai prosedur, saat percobaan kekedapan segalanya beres. Ruangan-ruagan semuanya vacum, yang berarti tidak ada katub luar yang bocor. Tetapi ketika kita kemudian menyelam tiba-tiba saja tidak seperti biasanya, kapal terasa berat. Dan disusul kemudian dengan laporan awak dari Ruang Lima alias Ruang Diesel Pokok yang melaporkan bahwa katub ganda bocor, air masuk melalui katub pemberi udara diesel.
Komandan lalu memerintahkan kapal timbul di permukaan dan segera diadakan pemeriksaan. Ternyata benar ada bearing pada stang Malteser kreus getriebe: (peralatan pengarah gerakan, yang dapat membuat suatu benda (dalam hal ini, piringan katub) menempati kedudukan tegak lurus pada dua bidang secara bergantian, sekali pada bidang horisontal dan dalam kesempatan yang satunya, pada bidang vertikal) penggerak katub ganda termakan sebagian, sehingga katub tidak dapat menutup dengan penuh, tetapi, menggeronggang di bagian atas.
Team perbaikan yang terdiri dari Sersan Hardi Supardji, Juru Diesel Satu, dan dua orang awak mesin sebagai pembantu di bawah pimpinan KKM langsung mulai beraksi. ada pula Sersan Kamari, Juru Torpedo Satu yang memang terkenal ringan tangan ikut membantu perbaikan ini. Ombak Laut Zulu yang terkenal ganas tidak memberi ampun pada awak KS kita yang bekerja di bawah geladak karena setiap saat bisa saja ditenggelamkan oleh ombak yang naik melebihi ketinggian geladak.
Pengiriman alat kerja dilaksanakan dengan anggota yang hanya boleh berjalan ke tempat awak yang sedang bekerja memperbaiki kerusakan kalau sedang tidak ada gelombang. Itupun masih dengan pengamanan yaitu pinggangnya diikat dengan tali buangan untuk jaga-jaga kalau sampai tersapu oleh gelombang akan gampang menariknya kembali ke kapal.
Awak KS yang bekerja di bawah geladak juga mendapat aba-aba dari Sersan Kamari manakala ada gelombang datang sehingga sempat menahan nafas terlebih dahulu. Awalnya kelihatan pekerjaan ini membuahkan hasil, katub ganda dapat duduk manis pada sittingnya. Lalu diadakan percobaan kekedapan. Ternyata hasilnya malah bocor besar!.
Dari pengamatan terhadap kedudukan katub mendapati bahwa katub jatuh sampai kira-kira sepuluh milimeter dari tempat kedudukannya. Dan usaha dari para awak KS yang tidak mengenal bahaya tadi itu ternyata tidak membuahkan hasil. Bearing pada stang katub ganda yang oval tidak memungkinkan katub menutup dengan duduk rapat pada seluruh lingkaran sitting katub, akan tetapi hanya duduk sebagian. Dari bagian yang lowong inilah air masuk kedalam Ruangan Lima. Kesimpulannya adalah bahwa katub ganda tidak mungkin diperbaiki di laut karena kita harus mengadakan penggantian bearing tersebut.
Komandan KS kita saat itu Pak Soeprajitno, (terakhir beliau berpangkat Laksamana Pertama), melihat jerih payah anak buahnya yang tidak main-main dalam berusaha memperbaiki katub tersebut bahkan boleh dibilang menantang maut, secara bijaksana mengambil alih masalah. Beliau melaporkan kejadian ini kepada kapal pimpinan bahwa KS kita tidak dapat menyelam karena kerusakan fatal yang tidak dapat diperbaiki di laut karena terbatasnya peralatan kerja.
Untungnya Pimpinan Gugus Tugas menyetujui KS tidak melakukan tugas penyelaman. Perhitungannya toh sebelumnya KS kita telah sering berdemonstrasi menyelam melintang haluan mereka di bawah air dalam kesempatan-kesempatan latihan yang kemarin, seperti pada saat mereka merencanakan mendaratkan pasukannya di beach head. Sudah pasti hal ini membuat Angkatan Laut Filipina menjadi kecewa, tetapi yang penting mereka sudah pernah merasakan toh diserang oleh KS kita alias Angkatan Laut dari pihak Merah.
Misteri Laut Banda.
Suatu saat KRI Bramastra 412, sedang melakukan patroli di wilayah pedalaman laut Indonesia bagian Timur, saat itu KS kita ini dikomandani oleh Kapten Oentoeng Sarwono dan KKM kapten Soehana. Singkat cerita akhirnya sampai juga KS kita ke daerah operasi di Laut Banda.
Seperti biasa diadakan perhitungan trimm dengan menggunakan data data dari pengetriman yang lalu yang telah dilakukan berkali kali selama dalam perjalanan untuk persiapan menyelam di tempat baru ini. Seluruh ruangan dipersiapkan untuk menyelam, sebelumnya kotoran dan sampah dibuang keluar agar tidak lebih memperburuk suasana ruang hidup para awak KS kita saat menyelam nanti. Katup-katup yang harus terbuka saat menyelam dibuka dan yang harus tertutup ditutup. KKM bertanggung jawab untuk memeriksa kebenaran kedudukan katub-katub tersebut sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Setelah semua ruangan siap, mereka melaporkan kesiapannya ke sentral. Walau sudah setiap kali diadakan latihan subtrimmen, tetapi setiap kali menyelamkan KS adalah suatu hal yang senantiasa tetap saja harus melalui suatu prosedur yang ketat.
Komandan telah turun dari anjungan dan juru TASL dua melaporkan pintu atas rubka alias bilik tempur telah tertutup. KS diperintahkan untuk diselamkan. Pada awalnya segala sesuatu berjalan sesuai prosedur. Tetapi ketika KS seharusnya sudah mulai mau masuk ke kedalaman air mulailah terjadi hal yang tidak bisa dimengerti. Tangki pengatur telah diisi air lebih dari perhitungan, tetapi tetap saja KS tidak bergeming, tetap saja tuh mengapung di permukaan. Isian tangki pengatur ditambah lagi, dan ditambah lagi, tetapi tetap saja tidak ada tanda tanda bahwa KS mau masuk ke kedalaman air laut.
Sampai isian tangki hampir penuh pun KS tetap setengah terapung dengan santainya di permukaan. Seluruh sistem-sistem yang diperkirakan menjadi penyebab KS tidak bisa menyelam dicek dan dicek ulang berkali-kali, termasuk sistem ventilasi tangki bahan bakar, yang apabila tidak tercerat dengan sempurna bisa menimbulkan hambatan saat menyelam. Kalau menurut teori gejala gangguan adanya bantalan udara ditangki bahan bakar sehingga menimbulkan hambatan saat KS menyelam bukan seperti ini. (Dalam hal gangguan tersebut berasal dari bantalan udara dalam tangki bahan bakar, bila dipaksakan KS mau juga menyelam walau dengan susah payah, dan setelah mencapai kedalaman tertentu KS akan mengalami perubahan kesetimbangan atau Buoyancy = Gravity, menjadi berat dan cenderung turun terus kekedalaman yang lebih besar. Hal ini terjadi karena gelembung udara yang ada dalam tangki mengecil karena tekanan air laut di kedalaman dan akibatnya daya sangganya berkurang.)
Akhirnya karena tidak bisa diketemukan sebabnya, Komandan memerintahkan membatalkan rencana menyelam dan memerintahkan mengadakan pemeriksaan mengapa KS membandel dan menolak untuk diselamkan. Baru kali ini dalam setiap operasi yang dijalaninya KRI Bramastra 412 ini membandel tidak mau nyelam. Padahal sebelumnya untuk mempersiapkan KS siap menyelam setiap saat bila ada bahaya telah sering diadakan subtrimmen dalam latihan sehari-harinya.
KS kemudian ditimbulkan ke permukaan. Setelah TPP (tangki pemberat pokok) tengah, nomor empat dan lima dihembus dengan UTT (Udara Tekanan Tinggi, 200 Kg/Cm2, dan kemudian TPP depan dan TPP belakang dihembus dengan system UTR (Udara Tekanan Rendah, gas bakas diesel yang bertekanan 0,7 Kg/Cm2, maka kapal telah berada dalam keadaan timbul penuh.
Pertanyaannya adalah kenapa bisa seperti itu? Kenapa KS kita enggak mau menyelam ?.
(sedikit pencerahan untuk Warjagers)
Setelah seluruh awak KS mengadakan pemeriksaan, antara lain dengan mengambil sample air laut dari permukaan. Pemeriksaan dengan areometer menunjukkan bahwa BD (Berat Djenis) air laut di permukaan saat itu lebih tinggi sekitar 34 point dari BD air laut yang dipergunakan sebagai data perhitungan trim terakhir. Kelihatannya sih sepele beda yang hanya 34 point tersebut tidak ada artinya. Akan tetapi dalam kenyataannya beda 34 point tersebut bila dikalikan dengan volume KS saat menyelam yang besarnya 1400 meter3 akan memberikan daya apung ke atas sesuai dengan Hukum Archiemedes sebesar 1347,6.ton.
Ckckckck Pantes saja KS menolak untuk menyelam wong beratnya yang hanya 1300 ton disangga oleh suatu daya apung yang besarnya jauh lebih besar dari berat kapal. Bayangkan saja isian tangki pengatur maximal adalah 17 ton. jadi dengan tangki pengatur diisi penuh pun misalnya berat KS hanya akan menjadi 1317 ton, sudah pasti dengan berat segitu itu juga KS belum bisa menyelam. Masih dibutuhkan ballast tambahan sebesar 30,6 ton untuk bisa menyelamkan kapal di laut Banda itu. ini sering disebut juga sebagai teori “Cycles Groen” yaitu suatu lapisan air di laut yang memiliki BD lebih besar dari BD air laut di sekelilingnya, akan tetapi mengambang di atas air yang memiliki BD yang lebih rendah.
Sesunguhnya Lautan di Indonesia itu penuh misteri.
KS Whiskey Class saat mengintai dalam kedalaman periskop
Infiltrasi di Baucau Yang Hampir Gagal
Pada saat-saat awal pergolakan di Timor-timur, KRI Pasopati 410 diperintahkan untuk berpatroli ke daerah tersebut dari Pangkalan Surabaya. Seperti biasa awak KS kita melaksanakan rutinitasnya, keluar dari pelabuhan setelah mendapat kedalaman yang cukup aman untuk menyelam dan kira-kira tidak akan ada gangguan dari kapal atas air yang berlalu lalang, KS melaksanakan trimmen.
Dalam trimmen yang dilakukan dengan kecepatan di Laut Bawean, Data-data isian tangki termasuk waktu trimmen tersebut dicatat oleh Sersan Juatim, Juru TAS-L satu, guna melaksanakan perhitungan dalam penyelaman yang berikutnya. Begitulah rutinitas para awak KS kita yang dilakukan dalam sepanjang perjalanan menuju Daerah Operasi.
Setelah sampai di Daerah Operasi, KS mengulangi dan melaksanakan lagi prosedur tersebut, menyelam dan subtrimmen terakhir kali sebelum menuju daerah musuh. Setelah subtrimmen berhasil perjalanan terus dilanjutkan. KS kita terus patroli pulang pergi, dari Timur ke Barat, lalu balik lagi dari Barat ke Timur dengan cara berlayar dan menyelam begitu seterusnya sampai pada suatu hari KS kita ini memperoleh perintah Komando untuk mengintai pantai di depan Bacau, istilah kerennya mengadakan operasi “potint” alias “photo intelligence”.
Dari Selatan KS kita sudah peran menyelam dan mendekati target dengan berlayar pada kedalaman periskop dengan hati hati. Sepertinya segala sesuatunya berjalan terlalu lancar untuk suatu operasi pengintaian. Tetapi tiba-tiba saja, Komandan yang selalu lekat dengan periskopnya tiba-tiba berteriak “…waaaah anjungan naik…” Lalu sesaat kemudian berteriak lebih histeris lagi “…haluan naik, haluan naik, bagaimana ini…bagaimana ini kok bisa begitu…”. Segala sesuatunya seperti tidak terkendali lagi. Situasi ini berjalan beberapa menit tanpa ada sesuatu perintah apapun dari Komandan untuk mengatasi keadaan darurat ini (mungkin Beliau tidak sempat berpikir logis karena saking paniknya).
Bagaimana kalau ada kapal atas air musuh yang menunggu di permukaan atau kalau ada meriam pantai yang siap menembak, apa situasi KS kita ini bukan kayak “sitting duck”, yang enak betul tinggal diincar dan ditembak?.
Untung saja para penjaga meriam pantai di Bacau tidak bereaksi sedikitpun. Entah karena mereka enggak bisa membedakan antara kapal selam dengan ikan paus atau karena meriam pertahanan laut mereka jenisnya kayak meriam “si Jagur”, keramatnya “Museum Fatahillah” sano, yang kalau ditembak harus diisi mesiu dulu dari depan, disodok-sodok sampai padat, terus pelurunya yang bulet dimasukkan dan baru ditembakkan itu juga setelah sumbunya dinyalain pake korek api. Hehehe… (mungkin lho ya!). Saya juga enggak tahu soale dicatatan tertulis yang saya punya enggak disebutin alasannya (lha iyalah wong mereka nggak sampai infiltrasi langsung nginjek pantainya! Hehehe…)
Untunglah “penyembulan tiba-tiba” tersebut tidak seberapa lama, KS secara tiba-tiba kembali masuk ke kedalaman periskop dan jalan terus mendekati Bacau, mengambil beberapa kali potret-potret pantai, dan setelah itu putar haluan kembali menuju arah laut dalam dan keluar dari daerah musuh.
Begitulah setelah KS kita memutar haluan dan keluar dari pantai Bacau kembali ke laut dalam KS kita mengalami hal yang sama lagi. KS naik lagi ke permukaan secara tiba-tiba persis seperti tadi. Cuma bedanya karena haluan sudah menjauh dari moncong meriam “si Jagurnya” pantai Bacau maka sang Komandan, sudah enggak sepanik tadi lagi.
Glubinomehr, alat pengukur kedalaman selam.
Pelajaran dari hal ini atau sedikit ilmu lagi untuk Warjagers semua adalah :
Bahwa arus naik akan mengangkat KS kita dari bawah. Dengan katup ventilasi TPP tertutup maka penampang garis air (auftrieb gegen horizontale oberflache) KS kita akan amat luas, arus naik akan amat berpengaruh terhadap penampang tersebut. Dan disamping itu TPP KS kita akan menjadi semacam “kantongan” yang akan menampung daya angkat tersebut sehingga KS akan semakin terangkat naik. Karena itu seharusnya katup ventilasi pokok TPP dibuka saat mengalami hal tersebut dan ditutup kembali sesuai prosedur setelah hal tersebut terlewati. Dan disaat yang bersamaan pula Komandan seharusnya memberikan perintah untuk menyelamkan kemudi depan dan belakang serta mempertahankan kedalaman dengan gaya dinamis kapal. Tanpa ada perintah komandan, schipper yang kurang tanggap akan diam saja dan akibatnya ya KS nya naik tiba-tiba kepermukaan kayak tadi.
Sebetulnya yang paling pokok adalah bahwa gejala-gejala tersebut sebenarnya dapat diketahui sejak dini dan dapat diantisipasi sebelumnya kalau saja awak KS terutama KKM (kepala Kamar Mesin) saat itu mau mengawasi glubimomehr (alat pengukur dalam selam) dengan baik dan benar, dan dapat mengetahui akan kemana perginya kapal, naik atau turun. Kan kelihatan tanpa kita mengurangi muatan kapal naik, berarti pasti ada gaya external yang mengangkat kapal. Dan gaya semacam ini hanya bisa serta hanya boleh diatasi dengan gaya dinamis dengan mengaktifkan kemudi horizontal. (ini menurut saya lho yah…)
Ruang sentral pengendalian KS: diperiskop Komandan sedang mengintai situasi permukaan air, di pos tempur kemudi horisontal, Schipper sedang mengendalikan kedalaman selam dan trimm. Perhatikan banyaknya jentera katup, manometer dan peralatan lainnya, yang kesemuanya harus dihafal diluar kepala oleh awak kapal. Meteran besar yang ada didepan Schipper adalah Glubinomehr, alat pengukur kedalaman selam.
Nekad Ke Palembang lewat Sungai Musi
Di dalam hampir semua kegiatan Armada KS Whiskey class kita pasti senantiasa ikut aktif dan tidak pernah absen, walau kehadirannya dilakukan dengan bergantian. Salah satunya adalah kegiatan berlayar dalam bentuk Eskader (Mengadakan pelayaran bersama dengan mengikut sertakan banyak kapal dari berbagai jenis) dengan nama GT (Gugus Tugas) 71.1. di bawah Komandan Gugus Tugas, Kolonel (saat itu) Pak Rudolf Kasenda.
Hari H dan sesuai dengan RO (Rencana Operasi) semua kapal berangkat bersama-sama. Tetapi seperti biasa KS diberangkatkan lebih dahulu pagi-pagi banget, beberapa jam sebelum kapal-kapal lain berangkat. Hal ini biasanya disesuaikan dengan pasang surut air, sebab kalau kita keluar agak siang dan air telah mulai surut maka ada kemungkian KS kita akan terjebak di ”sepitan maut” yang dulu udah pernah saya tulis di artikel “hoax” sekilas Kilo. Hehehe…
Kalau kapal-kapal lain berangkat dari Dermaga Madura dengan segala upacara kebesaran pakai tiup tenang segala, kalo KS kita cukup berangkat diam-diam saja. (dengan acara tiup tenang kapal lewat cukup dengan schipper salah satu kapal yang parkir di dermaga dock kapal selam, dengan beberapa deputasi Perwira. Maklum berangkatnya jam empat pagi).
Awak KS Whiskey Class saat beroperasi
Karena kecepatan KS whiskey class yang relatif rendah dibandingkan dengan fregat, maka keesokan harinya sekitar jam sepuluh pagi mereka menyusul KS kita. dimana fregat dari klas Riga menyalip KS kita dengan kecepatan penuh sekitar hampir 28 knot sedemikian rupa sehingga air yang tersibak dipotong oleh haluannya lalu terlihat seperti naik dan membenamkan tengah badan kapal mereka. Buih air turbulensi buangan baling-balingnya demikian hebat, maklum kedua power turbinnya masing-masing bertenaga 27.000 PK.
Tentunya tidak perlu heran kalau pun kapal-kapal ini menurut skenarionya berangkat bersama-sama akan tetapi sampainya di tempat tujuan waktu itu di Sabang beda-beda. Fregat KRI Nuku saat itu telah tiga hari lebih dahulu nongkrong di sana, padahal KS kita ini baru datang, hehehe… dan mereka sudah selesai melaksanakan perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan yang terjadi selama dalam pelayaran kemarin dan awaknya sudah bebas untuk pesiar, sementara Awak KS kita ini masih harus sibuk mencari bengkel untuk memperbaiki peralatan kalau-kalau ada yang tidak berfunngsi dengan baik. Belum lagi agenda wajib setiap merapat yaitu mencari kran ledeng yang bisa dipakai mandi awak KS kita hehehe… Dan sialnya lagi saat baru selesai perbaikan dan belum sempat pesiar berkeliling-keliling kota Sabang, eh sudah ada perintah baru dari Pusat, Eskader sudah harus berangkat lagi. Nasib…
Setelah berlayar berputar putar patroli mengelilingi Pulau Sumatera dari sisi Barat dan sisi samudra Hindia selama beberapa hari, Eskader naik lagi ke Utara. Kemudian timbul masalah cadangan air suling habis. Air suling ini diperlukan untuk mempertahankan tinggi permukaan elektrolit di dalam baterai. Dengan setiap kali diisi atau dicharge maka lama kelamaan tinggi elektrolit akan turun. Untuk itu perlu mengisinya lagi agar baterai jangan sampai kering. Soalnya ini baterai KS Bung, bukan baterai nyang buat nyalain Radio Tape. Hehehe…
Uraian Baterai KS
Di Sumatera bagian Utara baik Sabang maupun Medan saat itu tidak ada tempat untuk mendapatkan air suling. Satu-satunya kemungkinan adalah memperolehnya dari PLN di Jakarta atau Pertamina di Palembang. Nah kalau ke Jakarta sudah jelas enggak akan mungkin wong tidak akan disetujui oleh Gugus Tugas. Jadi tinggal satu pilihan: Palembang. Untuk itu KS kita dipersiapkan sebaik mungkin.
Singkat cerita KS kita mulai masuk Sungai Musi melalui muara sungai yang tepiannya tampak hanya sayup-sayup saking lebarnya dengan peran berlayar di permukaan. KS kita masuk ke daerah itu dengan menggunakan panduan dari seorang awak KS untuk memberikan gambaran keadaan medan sungai yang dilalui. Soalnya setelah kita mulai masuk sungainya baru ketahuan kalau cuaca dan jarak pandang di sungai musi ini amat cepat berubah.
Kalau saat kita masuk tadi pandangan amat luas dan kita bisa berlayar dengan KS sambil menikmati pemandangan hijaunya hutan-hutan di tepi sungai, tetapi pada waktu yang lain dalam tempo yang amat singkat bisa terjadi tiba tiba kabut datang dan semua yang terlihat hijau dan sejuk tadi menjadi kelabu keputih-putihan dan jarak pandang menjadi amat sangat terbatas.
Kalau sudah begini ini agar tetap dapat memberikan arahannya dengan tepat, petugas pandu tadi tidak beraksi dianjungan lagi, melainkan sampai turun ke haluan kapal, dan memberikan aba aba langsung dari sana. Tidak ada buoy yang jadi petunjuk bagi mereka untuk memberi aba aba, yang ada hanya pohon atau tanda yang hanya mereka yang mengenalnya.
Di salah satu kelokan sungai ada kejadian luar biasa. Saat kabut masih saja tebal dan jarak pandang betul-betul cuma berkisar tiga atau empat meter. Tiba-tiba saja awak Pandu berteriak-teriak panik: “awaaas, cikar kiri Komandan, …ada batang pohon melintang di kanan… motor mundur penuh,… sekarang cikar kanan Komandan…!” Karena tiba-tiba saja ada dahan pohon besar yang melintang di sebelah kanan KS kita.
Di tempat itu setelah bebas dari dahan pohon yang melintang tersebut, KS memutuskan untuk lego jangkar sambil menunggu agak terangnya kabut. Kalau sudah begini ini rasanya semua kapal akan memilih lego jangkar di tempat yang aman dulu deh. Dan sebagian awak KS kita harus menyiapkan UTM (udara tekanan menengah) terus menerus keanjungan, soalnya sewaktu-waktu dipergunakan untuk membunyikan gauk alias “Klakson” KS kita guna memberi tanda pada kapal-kapal lain supaya berlayar agak jauh dari KS kita.
Saat itu Komandan Gugus Tugas 71.1. Kolonel (saat itu) Pak Rudolf Kasenda, beliau memutuskan untuk ikut berlayar dengan KS kita ke Palembang. Suatu kehormatan memang akan tetapi bagaimana masalah protokolernya? Untunglah bahwa Komandan Gusus Tugas bukan seseorang yang mementingkan protokoler. Yang terpenting bagi beliau adalah bagaimana kapal perang siap teknis, bisa berlayar dan siap bertempur. Saat KS kita mulai masuk alur Sungai Musi, beliau juga ada dianjungan.
Ada sekitar enam jam lamanya KS kita berlayar menyusuri Sungai Musi dalam suasana alarm tempur itu. untuk naik keanjungan hanya bagi mereka yang memiliki keperluan penting dan harus atas ijin Perwira Jaga Bawah di Sentral. Dan yang berada dianjungan pun tidak ada yang turun. Semua kebutuhan macam minuman dan makanan kecil disiapkan di atas sana. Bisa dibayangkan betapa enggak enaknya enam jam “garing” kayak begitu karena memang anjungan tidak memiliki atap secuilpun. Dan itulah yang kemudian terjadi.
Pak Kasenda yang tidak biasa berpanas-panas di anjungan, merasa kepanasan lalu bermaksud turun ke bawah ke dalam kapal. Turun dari rubka (Bilik Tempur) beliau langsung masuk ke Ruang Dua. (Sebuah ruangan dalam KS Whiskey class, yang terdapat di atas Ruang Baterai grup I. merupakan ruangan khusus bagi Perwira juga sekaligus dalam keadaan darurat dapat berubah menjadi Ruang Rumah Sakit kalau ada yang mengalami luka luka dalam pertempuran. Meja makan yang ada dilengkapi dengan lampu besar untuk melaksanakan operasi / pembedahan).
Akan tetapi ternyata di sana suasananya lebih enggak enak lagi dibandingkan dengan suasana di anjungan, selain hawanya yang amat panas plus ditambah ruangannya yang juga amat pengap dicampur lagi dengan bau khas KS Whiskey Class semacam gas hidrogen, keringat, vet, ikan asin lauk pauk dan tentu aja bau “ketiak” awak-awaknya yang enggak pernah mandi hehehe…, yang pasti terasa terlalu menyengat bagi orang yang baru masuk ke dalam KS.