Dalam hitungan hari, Indonesia akan memilih calon pemimpinnya. Head to head antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta Rajasa. Isu-isu liar di media menggelinding. Aneka pencitraan sampai kampanye hitam begitu deras muncul di media massa dan sosial media.
Siapa yang mau kita pilih? Benarkah mereka laik memimpin Indonesia? Dua pertanyaan ini, mungkin, masih mengganjal di benak dan pikiran kita. Apapun, kita perlu untuk memilih. Meletakkan kepercayaan pada kandidat untuk menahkodai kemajuan bangsa.
Tentu kita tak ingin membeli kucing dalam karung. Tak sekadar memilih capres lantaran ramai di media atau hanya imbalan rupiah. Namun, kita harus proaktif mencari pelbagai sumber tentang capres yang akan dipilih.
Saya mencoba mencari data-data lama di media. Berdiskusi dengan kawan-kawan, sampai bertanya pada ulama. Ada yang menarik saat berdiskusi dengan KH Ayip Abdullah Abbas. Beliau Pengasuh Ponpes Buntet, Cirebon. Saat saya tanya siapa kira-kira yang menang, jawabnya, "Pemenangnya bandar. Adanya di Singapura," kata Kang Ayip, terbahak.
Kami biasa menyapanya dengan Kang. Beliau tak mau disebut Kiai. Dikenal sering mengkritisi ulama yang 'bisa dibeli'. Setiap perhelatan pemilihan kepala daerah atau presiden, beliau sering dikunjungi kandidat untuk meminta saran atau restu. Tapi, seringkali menghindari kandidat atau utusan capres.
Apa yang diucapkannya sering tersirat. Hanya memberi sedikit clue. Sisanya kita yang harus mencarinya sendiri. "Kamu harus bisa melihat benang merah semuanya. Jangan lihat di media saja. Bukan juga soal sosoknya. Coba tebak, ini pertarungan siapa lawan siapa?" Meski saya jawab, Kang Ayip hanya tertawa.
Jika melihat partai utama: PDIP dan Gerindra, sebagai pengusung capres, ada sedikit petunjuk yang bisa ditemui. Pada 2011, PDIP menjajaki kerjasama dengan Partai Komunis Cina. Sejumlah kadernya juga sering dikirim untuk studi banding ke partai tersebut. Alasannya ada kesamaan. Meski mengaku bukan sama ideologi.
Apakah PDIP komunis? Belum tentu. Saya tak memastikan, tapi kenapa bekerjasama dengan PCP, bukan yang lain, misalnya. Bagaimana dengan Gerindra? Selama ini Gerindra banyak membicarakan soal persamaan hak dan martabat. Utamanya pada petani dan pedagang tradisional. Ada pula yang menyebut Gerindra sebagai sosialis baru. Benarkah? Entahlah.
Apakah ini pertarungan antara Komunis dan Sosialis? Belum tentu. Tapi, kita bisa melihat siapa-siapa sosok yang mendukung di balik kedua capres. Ada pula yang menyebut ini pertarungan Eropa, AS, Cina dan Timur Tengah. Jokowi di belakangnya ada Eropa, AS, Cina dan Prabowo ada Timur Tengah. Benar kah? Entahlah.
Pertemuan Jokowi dan sejumlah dubes di rumah pengusaha Jacob, sempat membuat publik geger. Meski isu itu sudah menguap, tapi publik menilai adanya kepentingan asing di balik dijagokannya Jokowi. Betul tidaknya, tentu perlu kejujuran dan pembuktian mendalam.
Sebaliknya, saat sebelum krismon Soeharto ingin meminjam dana IMF. Prabowo menolaknya. Ia lantas berkeliling dan meminta bantuan dari Timur Tengah. Dapat. Tapi, Soeharto terlanjur meneken perjanjian itu. Di Yordania, Prabowo juga sangat diterima. Apalagi, parpol-parpol berbasis massa Islam merapat ke Prabowo. Kecuali PKB.
Tak heran ada pula opini yang menggelinding di publik; jika Jokowi didukung Eropa, AS dan Cina. Sedangkan, Prabowo di-support Timur Tengah. Tentu saja tak bisa sedangkal itu. Semua, sekali lagi, masih memerlukan pengkajian intensif.
Sekarang kita ke kandidat capres dan cawapres. Jokowi yang melesat bak meteor, pernah berjanji untuk membenahi DKI selama lima tahun. Janji itu ia ucapkan karena adanya kekhawatiran publik saat ia meninggalkan Solo. Ia pun berjanji. Istilah copras-capres, yang terkenal itu, kini menjadi bumerang baginya.
Tapi para pendukungnya termasuk JK sebagai wapresnya berdalih, Jokowi tetap di Jakarta. Jika sudah di atas (presiden) lebih mudah mengaturnya. Tinggal tunjuk sana dan sini. Apalagi, UU tidak melarangnya. Jadi, tidak ada yang salah. Bahkan, banyak pemimpin dunia melakukan itu. Belum habis masa bakti/janjinya, sudah maju pada pertarungan lebih besar.
Dalih itu tidak salah. Tapi, mungkin ada yang dilupakan: Pilgub DKI yang menghabiskan anggaran Rp 254 miliar untuk mencari pemimpin Jakarta. Bukan Indonesia. Janji-janji kampanye saat maju di DKI juga belum terbukti. Ini bukan soal melanggar UU atau menjadi follower tokoh dunia.
Tapi, ini soal kepercayaan masyarakat. Khususnya warga DKI, yang memilihnya. Ini juga soal etika politik dan moral. Bukankah Jokowi sendiri suka menyebut revolusi mental? Jika tak seiya-sekata antara ucap sikap, tak menepati janjinya dulu, apa yang harus dipegang rakyat dalam janjinya menjadi capres?
Masyarakat juga takut, kalau alasannya membenahi Jakarta harus menjadi presiden, nanti seluruh gubernur di Indonesia bisa beralibi sama. Ah, jangan sampai. Apa gunanya ada Pilgub? Apalagi soal penyerapan APBD DKI 2013 tak sesuai target. APBD 2014 sampai medio Mei, pun bergerak lambat.
Logika sederhana, bagaimana mungkin bisa berhasil menyelesaikan yang besar jika yang kecil belum maksimal. Jangan dibalik: Menyelesaikan yang besar untuk yang kecil. Nanti malah amburadul. Semua butuh proses. Kita pun sering diajarkan agar menghindari segala yang instan. Makanan, misalnya.
Catatan kemacetan, banjir, pengangguran, kesejahteraan di DKI; ini saja belum menunjukkan kemajuan siginifikan. Jadi tak salah bila ada pertanyaan: Bagaimana mau memimpin Indonesia yang besar, jika di Jakarta belum selesai, belum ada bukti keberhasilan?
Kini kita ke Prabowo. Ia dinilai sebagai dalang penculikan, terlibat masalah HAM, juga berkenegaraan ganda. Saya heran, kenapa isu ini terus menggelinding. Bukankah pada tahun 2009 maju sebagai wapres Megawati? Dan, saat itu semua sudah clear. Kenapa sekarang diungkit ulang?
Kenapa pula pemerintah tidak bisa membongkar pelaku utama kejahatan HAM masa lampau? Entahlah. Prabowo juga dinilai bertolak belakang antara membela rakyat miskin dengan kepribadiannya yang moncer dengan harta. Begitu pula parpol pendukungnya, banyak parpol Islam tapi kenapa perilaku mereka tidak Islami?
Bagai bumi langit antara kehidupan elite parpol dan kader di bawah. Antara rumah mewah dan rumah kontrakan. Antara kendaraan ciamik dengan motor butut. Jadi, mana Islaminya? Padahal mereka paham makna kesederhanaan. Makna kemubaziran dan hidup bermewah-mewahan.
Mereka pun seolah minder dengan keIslamannya. Minder untuk mencuatkan tokoh Islam. Padahal, ulama dan ormas Islam telah memfasilitasi untuk munculnya koalisi parpol Islam dan mencalonkan capres sendiri. Tapi?
Sekarang, kita ke cawapres. Jokowi diduetkan dengan JK. Tokoh ini dikenal lugas, taktis. Tapi, sebelumnya JK sempat meragukan Jokowi. Ia malah meminta Jokowi agar menghabiskan baktinya di Jakarta, baru maju sebagai capres. Itu dikatakannya kepada media, Desember 2013. Tapi, belum setahun, JK malah maju sebagai wapresnya Jokowi.
Tahun 2009, JK juga pernah menyebut akan kembali ke kampung mengurus cucu dan masjid. Kini, ia kembali ke politik. Meski usianya telah 72 tahun.
Kalau Jokowi menggandeng JK, Prabowo menggandeng Hatta Rajasa. Publik tak melupakan kasus anaknya yang menabrak orang sampai tewas dan lolos dari jeratan hukum. Hatta juga belum berhasil memajukan masyarakat, meski telah lama di pemerintahan.
Kita tentu sedih dengan capres yang hanya menyajikan dua pasangan. Bayangkan, dari 240 juta rakyat Indonesia, apakah tidak ada tokoh lain? Indonesia surga dunia. Bukan Indonesia yang membutuhkan dunia. Tapi, dunia yang membutuhkan Indonesia. Jika hutan di Kalimantan ditebang semua, selesai dunia ini. Dua per tiga negeri ini juga lautan. Tapi, kenapa garam harus mengimpor. Kenapa rakyat miskin makin menggurita?
Apalagi kalau melihat pedalaman di perbatasan. Di Kalimantan Utara, misalnya. Di sana terkenal istilah: Dada Garuda, Perut Malaysia. Di sana, masih banyak kebutuhan dasar rakyat belum terpenuhi. Air, listrik, distribusi logistik. Tak heran, mereka lebih memilih produk Malaysia. Tapi, ketika Malaysia mendekati mereka, pemerintah marah. Naif, mereka tak diperhatikan tapi disuruh berjuang sendirian. Ketika ada yang mau memperhatikan, mereka marah.
Janji-janji pemimpin terdahulu hanya sebatas ucap. Kita tentu tak ingin dibodohi lagi. Tak ingin ditipu lagi. Kita adalah bangsa besar.
Tangan-tangan asing memang tak lepas dari Indonesia. Tapi kita pernah mengalahkan penjajah hanya dengan bambu runcing. Indonesia adalah bangsa besar. Tapi, seringkali dihantam justru dari orang Indonesianya sendiri.
Kita semua dahaga politik berakhlak. Politisi yang bisa menjadi panutan. Mengayomi dan melindungi rakyatnya. Bukan mengkotak-kotakan, bukan membenturkan. Kita butuh pemimpin yang jujur, amanah, menepati janjinya. Bukan yang ahli bersolek di media. Bukan yang plin-plan, besok A, lusanya B.
Indonesia menjadi incaran dunia. Jangan sampai kita salah pilih. Jangan serahkan Indonesia kepada bandar. Rakyat harus bisa melawannya, meski pada akhirnya sang bandarlah pemenangnya. Wallahu 'alam.
Oleh Rudi Agung Prabowo
Ghost Writer, Praktisi Media, Tim Tujuh Peduli Kalimantan Utara