Oleh:
Asy Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah
Soal: Apa hukum mendatangi istri di duburnya (belakang) atau mendatanginya dalam keadaan haidh atau nifas?
Jawab:
Tidak boleh menggauli istri di duburnya atau dalam keadaan haidh dan nifas. Bahkan yang demikian itu termasuk dari dosa-dosa besar berdasarkan firman Allah Ta’ala (artinya):
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah “Haidh itu adalah kotoran.” Maka jauhilah diri kalian dari wanita ketika haidh. Dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka sudah suci, maka datangilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang- orang yang mensucikan diri. Isteri-isteri kalian adalah (seperti) ladang (tempat bercocok tanam) bagi kalian. Maka datangilah ladang kalian bagaimana saja kalian kehendaki.” (Al-Baqarah: 222-223)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan pada ayat ini wajibnya menjauhkan diri dari wanita ketika dalam keadaan haidh dan melarang untuk mendekati mereka sampai mereka dalam keadaan suci. Yang demikian itu menunjukkan atas pengharaman untuk menggauli mereka ketika dalam keadaan haidh dan seperti itu juga nifas.
Dan jika mereka sudah bersuci dengan cara mandi, boleh bagi suami untuk mendatanginya di tempat yang diperintahkan Allah, yaitu mendatanginya dari arah depan (qubul), tempat “bercocok tanam“
Adapun dubur, adalah tempat kotoran dan bukan tempat bercocok tanam. Maka tidak boleh menggauli isteri di duburnya bahkan yang demikian itu termasuk salah satu dosa-dosa besar dan merupakan maksiat yang maklum dari syari’at yang suci ini.
Abu Daud dan An Nasa’i telah meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda (artinya):
“Terlaknatlah siapa saja yang mendatangi perempuan di duburnya.“
At Tirmidzy dan An Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Allah tidak akan melihat kepada seseorang yang mendatangi laki-laki atau perempuan di duburnya.” Sanad hadits ini shohih.
Mendatangi isteri di duburnya adalah bentuk liwath (sodomi) yang diharamkan kepada laki-laki dan perempuan semuanya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala tentang kaumnya Nabi Luth ‘alaihi assalam (artinya):
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu.” (Al-Ankabut: 28)
Begitu juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):
“Allah melaknat siapa yang berbuat dengan perbuatannya kaum Luth.“ Beliau katakan tiga kali. (Diriwayatkan Al Imam Ahmad dengan sanad shohih)
Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati darinya dan menjauhkan diri dari setiap yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Bagi setiap suami hendaklah menjauhi kemungkaran ini. Bagi setiap isteri untuk menjauhkan dari dari yang demikian dan tidak memberi kesempatan kepada suami untuk melakukan kemungkaran yang besar ini, yaitu menggaulinya dalam keadaan haidh atau nifas atau di dubur.
Kita memohon kepada Allah berupa keselamatan bagi kaum muslimin dari setiap apa yang menyelesihi syari’atNya yang suci. Sesungguhnya Dia sebaik-baiknya tempat meminta.
Sumber: Lin Nisa’ faqoth (276-278), dikutip dari www.mimbarislami.or.id Penulis: Asy Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz, Alih Bahasa: Ayub Abu Ayub, Judul: Hukum “Anal Sex”.
URL: http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/07/11/hukum-“anal-sex”/
* * *
Adakah Kaffarah Bagi yang Melakukan?
Yang Mulia Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah ditanya:
Apa hukum menggauli istri pada dubur, adakah kafarah bagi orang yang melakukan hal itu?
Jawaban:
Menggauli istri pada dubur termasuk dosa besar dan kemaksiatan yang paling keji berdasarkan hadits yang tsabit dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau mengatakan:
"Terlaknat orang yang mendatangi istri pada duburnya." [1]
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
"Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan melihat laki-laki yang mendatangi laki-laki yang lain (melakukan homoseksual) atau (seorang laki-laki) yang mendatangi istri pada duburnya." [2]
Yang wajib bagi orang yang melakukan hal itu adalah segera bertaubat dengan taubat nasuha, yaitu melepaskan diri dari dosa tersebut dan meninggalkannya dengan penuh pengagungan kepada Allah dan takut siksaannya, menyesal atas keterjerumusannya dalam maksiat tersebut, dan berkeinginan kuat serta jujur untuk tidak mengulanginya disertai dengan kesungguhan beramal shalih. Barangsiapa yang bertaubat dengan taubat yang jujur, niscaya Allah akan memberikan taubat kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar." (Thaahaa: 82)
Dan Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Furqon: 68-70)
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Islam itu menghancurkan dosa-dosa yang telah lalu dan taubat menghancurkan dosa-dosa yang telah lalu." [3]
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak sekali. Tidak ada kafarah bagi orang yang menggauli istri pada duburnya menurut pendapat ulama yang paling shahih. Dan tidak diharamkan si istri baginya dengan perbuatan tersebut, bahkan dia tetap di bawah perlindungannya, namun tidak ada kewajiban baginya untuk menaati suaminya dalam kemungkaran yang besar ini, bahkan wajib baginya menolak dari perbuatan tersebut dan menuntut agar nikahnya dibatalkan, apabila suaminya tidak bertaubat. Kita memohon keselamatan kepada Allah dari hal tersebut. [Fatawa Islamiyyah]
Sumber: Bingkisan 'tuk Kedua Mempelai karya Abu 'Abdirrahman Sayyid bin 'Abdirrahman Ash-Shubaihi (penerjemah: Abu Hudzaifah), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba' hal. 465-173.
____________________
[1] HR. Abu Dawud (1847) dan Ahmad dalam Al-Musnad (9356).
[2] HR. Ibnu Majah (1913)
[3] HR. Muslim (173)