Hidup memang perjuangan. Bukan saja untuk menjaga eksistensi untuk terus hidup, melainkan juga bagaimana agar kita terus berada dalam kebaikan. Sedari kita lahir, hingga kita beristirahat di liang lahat. Karena, sebelum ajal menyapa, semua yang kita alami, semua yang kita miliki, bisa serta merta hilang, atau tertukar dengan sesuatu yang bertolak belakang.
Lekat dalam ingatan kita, bagaimana sosok Umar bin Khaththab. Beliau yang awalnya musuh Islam, kemudian mendapat cahaya iman,langsung berubah menjadi pembela terdepan dalam dakwah. Iblis, juga mengalami hal serupa, meski berbeda cerita. Ia yang awalnya makrifat, sejajar dengan malaikat, dan aneka kemuliaan lainnya, lantaran sombong, ia kemudian dilaknat dan divonis pasti menjadi penghuni jahannam.
Dalam keseharian kita, cerita ini juga banyak berulang. Entah artis yang kemarin berpindah agama, atau sahabat kita, yang mungkin justru kebalikannya. Di mana awalnya membuka aurat, lalu cahaya menemuinya, dan ia kembali ke dalam Islam, hingga memilih mengenakan hijab dan niqab dalam kesehariannya.
Jika Allah mengehendaki, semua bisa terjadi. Itulah sebabnya, bagi kita yang kini berada dalam kubu kebaikan, sedikitpun, tak boleh berlaku sombong. Karena,jika Dia berkehendak, maka semua kebaikan yang ada dalam diri kita,bisa berpindah dalam hitungan detik. Bahkan, bisa berganti dengan keburukan yang bertolak belakang dari kebaikan kita sebelumnya.
Pagi itu, seorang sopir angkot berkisah. Lantaran sering bersitatap dalam jama’ah masjid di kawasan Depok, perbincangan kedua insan itu terasa akrab, dan menjadikan suasana menjadi hangat. Meskipun, di luar sana tengah terjadi hujan yang kian menderas.
Sopir angkot ini, sebelumnya adalah sopir truk dalam sebuah proyek, “Saya itu, pernah kaya dua kali, mas. Tapi kemudian, karena kesalahan saya, sampai sekarang tetap begini saja,” ia mulai berkisah, sambil menerawang ke masa lalu.
Yang diajak cerita, sesekali menatap mata pencerita, sambil melemparkan senyum khasnya. “Pertama, saya ikut proyek. Waktu itu, pabrik minuman. Itu yang pertama dan hanya satu di Indonesia. Ketika itu, saya menjadi kepala gudang,”lanjutnya bersemangat.
“Awalnya saya tidak tahu, kemudian ada yang mengajari. Hingga akhirnya saya menjadi penjahat,” imbuhnya, semakin bersemangat. Dan, cerita tentang keburukan, selalu bermula dari cerita yang sama : sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Maka kita, harus waspada dari peluang-peluang itu, karena ia, ada di tiap jenak kehidupan kita.
“Jadilah saya memulai beraksi. Sering menggelapkan minuman, dan sebagainya. Aksi saya ini, berlangsung aman. Sayangnya, pabriknya bangkrut,” ujarnya mengakhiri kisah petualangan pertamanya.
“Yang kedua,” dia langsung menyambung, “Saya pindah proyek. Kali ini konstruksi. Saya menjadi sopir sekaligus kepala gudang,” bingar wajahnya semakin terlihat,meski ada sedih yang ditutup-tutupi, “Uangnya lebih banyak, peluangnya juga demikian.”
“Di proyek ini, saya lebih leluasa berlaku curang dalam banyak cara,” dahinya berkerut, semacam mengumpulkan memorinya tentang masa silamnya. “Misalnya, semen datang 100 sak, saya masukin ke data 50 sak. Setelahnya, saya lapor ke kantor, bahwa semen habis. Agar langsung didatangkan lagi,” kisahnya jujur, “Nah, yang 50 sak itu, saya jual. Ke toko material atau ke warga. Uangnya saya bagi-bagikan.” Ya, begitulah. Kejahatan memang tak mungkin kuat jika dilakukan seorang diri.
“Emang gak ada yang lapor, Pak?” Sela pemuda yang sedari tadi asyik mendengarkan. “Hahahaha, siapa yang mau lapor, Mas? Semua saya bagi uangnya. Bahkan, orang kantor dan para insinyurnya saya kasih bagian. Mereka itu hobi mabuk minuman keras di kantin. Dan, semua saya yang bayarin,” yang bertanya mengangguk heran, beriring senyum kecut.
“Kadang-kadang, ketika kayu datang, insinyurnya bilang, ‘Dua truk turunkan di proyek, yang satu truk tolong antar ke rumah saya. Saya lagi butuh kayu untuk membuat rumah,” lanjut lelaki yang berkulit hitam dengan topi putih ini. “Kadang-kadang juga, misalnya ada 50 orang yang bekerja di proyek, yang 10 orang disuruh kerja di rumahnya. Tapi tetap absen dan dibayar sama kantor.” Begitulah, keberanian pencuri, kadangkali memang terinspirasi dari kebejatan penjahat kelas kakap.
“Dari situ, saya bisa mempunyai banyak uang. Gajian perbulan hanya 250.000 rupiah, kala itu. Tapi, hasil dari beginian, sepekan bisa lebih dari 300.000 rupiah. Tapi, saya itu teliti. Semua yang saya kasih uang, saya instruksikan agar tidak buru-buru membeli barang mewah, karena bisa ketahuan.” Cerdas juga orang ini, logikanya jalan.
“Tapi, saya tidak mendapatkan untung apa-apa, uang juga habis terus, mana makin hari bertambah gelisah. Gak bisa beli rumah, barang-barang mewah gak ada, mana tiap hari ribut dengan istri dan anak-anak juga. Dari sinilah, saya mulai berfikir untuk meninggalkan pekerjaan ini,” suaranya semakin lirih, ada secercah cahaya yang mengiringi buliran kalimat terakhirnya.
“Saya pun berpikir untuk taubat, “ Allah memang bisa membolak-balikan hati, dalam hitungan detik, bahkan bisa lebih cepat dari itu. “Akhirnya, saya ikut TKI ke Arab Saudi, sebagai sopir pribadi,” terangnya, sembari tersenyumsumringah. “Di sana, saya mendapat majikan yang baik, salah seorang imam masjid di Madinah. Jadi, setiap hari saya bisa sholat di Masjidil Haram danMasjid Nabawi. Di tanah suci ini, saya menangisi semua dosa. Rasanya, pingin kembali ke masa lalu.” Begitulah, penyesalan tak mungkin ada di awal, selalu saja hadir belakangan.
“Alhamdulillah, uang dari pekerjaan ini terkumpul, sehingga saya bisa memiliki rumah, membeli motor, dan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga lainnya. Allah memang Maha Baik,” tuturnya bijak. “Setelah dua tahun selesai kontrak, saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia, dan sekarang narik angkot, karena memang keahlian saya menjadi sopir. Sebelum pulang, majikan saya berpesan, ‘Jangan kembali dalam kubangan gelap. Semoga Allah memberi kita hidayah, insya Allah bisa ketemu lagi di surgaNya,’ Ia menggunakan bahasa inggris, sambil memeluk saya.” Dari kalimat terakhir itu, ada buliran air mata yang ia tahan. Ada haru yang terbendung.
Sebelum turun, terdengar akhir cerita, mengagetkan, “Makanya, Mas. Saya tidak kaget dengan kasus Hambalang. Jangankan mereka yang menteri atau anggota DPR, saya yang sopir aja bisa memainkan proyek. Apalagi mereka yang laku tanda tangannya, bisa keluar masuk tanpa pemeriksaan satpam.”
Saya hanya mengangguk, sambil menyiramkan senyum. Setelah memberi komando, “Kiri di depan, ya Pak.” Sembari mengulurkan gambar Tuanku Imam Bonjol, saya berucap terima kasih sambil menuruni angkot dan menutup pintunya.
Karena kita masih hidup, maka semua peluang, kebaikan atau keburukan, bisa saja menghampiri kita. Semoga kita tetap rendah hati jika saat ini dihamburi cahaya Islam, dan tak pernah lelah untuk mencari cahaya jika masih berada dalam gelap. Jikapun sudah mendapat cahaya, semoga kita semakin bersemangat untuk meraih cahaya yang lebih terang. Dan, benderang. Aamiin. []