Assalamualaikum wr.wb.
Mas Agus Mulyadi yang mulia. Sekaligus dimuliakan Allah SWT. Sebelum saya curhat, kita kenalan dulu ya Mas, biar kita mengamalkan apa yang sudah dikatakan oleh pepatah, bahwa tak kenal maka tak sayang. Tapi, kita cukup kenal saja ya Mas, jangan sampai sayang-sayangan.
Saya Zuhri, jomblo asal Jombang. Langsung saja ya Mas.
Begini, saya kenal seorang perempuan. Perempuan itu sungguh memikat hati saya. Setiap hari saya itu diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk menyaksikan keindahan yang Dia titipkan pada perempuan itu. Mungkin jalaran soko kulino ya Mas, saya lantas merasakan ada getaran dalam hati ini. Dan saya dengan cepat bisa menyimpulkan bahwa perasaan itu tak lain adalah cinta.
Sialnya, perempuan itu murid saya sendiri, Mas. Murid di pesantren yang notabene sangat melarang keras untuk yang-yangan. Kalau ada santri kepergok menjalin hubungan asmara dengan lain jenis, bisa terjadi kiamat kecil bagi mereka. Mereka bisa dihukum. Kadang digundul, kadang pula disiram air comberan bahkan ada pula yang langsung di-DO.
Sehubungan saya sudah terlanjur disebut sebagai guru, maka saya mau tidak mau harus menahan perihnya rasa cinta ini Mas. Masak saya harus berterus terang kepadanya? Saya itu gurunya mas, masak mau ngajak pacaran?
Sebagai sosok yang dijadikan panutan, tak mungkin saya berbuat seperti itu. Tapi di sisi lain, saya benar-benar tidak betah kalau lama-lama memendam cinta ini. Mau mengubur dalam-dalam sepertinya sulit. Sesulit membakar kayu yang basah—kata Mas Puthut EA.
Tolong ya Mas Agus… saya minta solusi terkait Cinta Yang Tak Tepat Waktu ini—tidak memakai 'Pernah'.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jawab
Waalaikumussalam wr wb
Dear mas Zuhri yang fangkeh
Membaca curhatan sampeyan ini, saya kok ya langsung teringat sama kisah asmaranya Bung Karno, yang dulu jatuh cinta sama Fatmawati, muridnya sendiri sewaktu putra sang Fajar mengajar di salah satu sekolah Muhammadiyah di Bengkulu. Kisah asmara yang boleh dibilang cukup mulus, sebab kelak, Fatmawati akhirnya menjadi istri bung Karno.
Yah, kisah asmara antara guru dan murid memang kisah yang cukup umum. Banyak murid yang kemudian jatuh hati sama gurunya, pun sebaliknya, tak sedikit guru yang tertarik kepada muridnya.
Kisah yang umum itulah yang mungkin menjadi salah satu sebab kenapa saya dulu tak pernah mau menjadi guru –saya cenderung lebih memilih profesi tukang gesut sablon atau tukang jaga distro, selain tanggung jawab moralnya terlalu besar, saya juga merasa guru bukan profesi yang cocok untuk saya, sebab, kalau jadi guru, saya bawaanya kok pengin
jatuh cinta melulu sama murid sendiri, kadang kalau sudah kebablasan, biasanya merembet sampai ke wali murid-nya juga.
Walau begitu, saya pernah lho, jadi guru les selama beberapa waktu. Dan seperti yang sampeyan alami, saya juga pernah jatuh hati sama murid-murid saya.
Lantas apa yang saya lakukan? Yang saya lakukan adalah apa yang juga dilakukan oleh Bung Karno dulu: mencoba memperjuangkan perasaan.
Saya berusaha mendekati si murid. Saya bribik, saya sepik. Tentu dengan bribik-an sebisanya, semampunya. Kadang saya ajak ketemuan juga, saya ajak makan, saya ajak nonton. Selebihnya tidak usah saya ceritakan lah ya. Ini kan curhatan sampeyan, bukan curhatan saya.
Nah, mas Zuhri, tentu saya tak bisa menyamakan lingkup kegiatan belajar-mengajar yang saya alami dengan lingkup kegiatan belajar-mengajar sampeyan. Sebab sampeyan mengajar di pesantren, lingkungan yang mungkin menjadikan hubungan asmara sebagai salah satu "pantangan", terlebih jika itu antara guru dan murid (Lagian kenapa harus suka sama murid sih? Kenapa nggak sama sesama guru saja? Jadi biar gampang ngurusnya.)
Menurut saya, sampeyan berada di posisi yang sangat-sangat menguntungkan. Saya tak punya banyak saran kecuali satu: "Ungkapkan perasaan sampeyan kepada si murid, secepat mungkin, sesegera mungkin"
Ya, itu. Tak ada saran lain.
Kenapa saya menyarankan hal itu? Sebab insting saya mengatakan, sampeyan bakal langsung ditolak sama si murid.
Kenapa ditolak? Sebab insting saya mengatakan, sampeyan adalah lelaki yang kurang menarik untuk dijadikan kekasih (saya bisa melihat itu dari gaya tulisan sampeyan di surat curhat ini).
Kenapa menurut saya sampeyan bukan lelaki yang menarik dijadikan kekasih? Sebab insting saya mengatakan, sampeyan tidak punya aura seperti yang dimiliki oleh Bung Karno ataupun Agus Mulyadi.
Nah, kalau sampeyan sudah ditolak, maka otomatis, sampeyan bakal bisa langsung terbebas dari perasaan sampeyan. Sampeyan bakal plong, tidak bimbang, tidak gundah, dan yang terpenting, tidak perlu memendam cinta dalam-dalam (Lha wong sudah ditolak, mau diapakan lagi?)
Saya pikir, ini solusi yang bagus. Sampeyan terbebas dari beban perasaan cinta yang terpendam. Si murid terselamatkan masa depannya karena nggak jadi kekasih sampeyan. Dan pesantren pun tak perlu menyiram salah satu santriwatinya dengan air comberan.
Semua senang, semua happy.
Ya Tuhan, saya kok baru sadar kalau saya ternyata sebijak ini.
Sumber