Pulau Balai
Mendung masih menggelayut di atas langit Pulo Sarok, tanda bahwa hujan sebentar lagi akan turun. Angin berhempus perlahan menembus celah-celah pohon bakau yang banyak terdapat di rawa-rawa yang hampir mendominasi daerah Jembatan Tinggi ini. Sementara itu beberapa reruntuhan bangunan terlihat tinggal puing-puing yang terendam air. Pada tahun 2004 ketika bencana besar Tsunami melanda sebagian besar Aceh, Pulo Sarok adalah salah satu daerah yang menanggung kerusakan yang lumayan parah.
Penginapan Sonia
“sekarang lagi musim hujan mas”
seloroh seorang ibu paruh baya pemilik warung dan penginapan Sonia tempat kami singgah pagi itu di desa Pulo Sarok.
“hampir tiap hari disini hujan, dan Perahu ke pulau Balai juga jarang berlayar kesana, soalnya kalau lagi musim angin gini mereka takut melaut, dan kalau gak salah hari ini tidak ada perahu yang ke Balai”
Ibu tadi melanjutkan perkataanya yang semakin menciutkan nyali saya bahkan hampir saya membunuh impian untuk menelusuri keindahan pulau-pulau kecil di perairan pulau Banyak.
“ada kok dik yang ke pulau Balai hari ini, kebetulan kapal itu mau bawa semen”
Tiba-tiba ada seorang ibu-ibu muda yang nimbrung ke dalam pembicaraan kami. Yess gejolak jiwa untuk menikmati indahnya pulau indah itu semakin membara setelah tahu kepastian ada kapal yang akan membawa kami ke pulau Banyak.
Sisa-sisa bencana
Untuk memastikan keberadaan kapal itu akhirnya saya dan Citrarahman, seorang pemuda Aceh berkulit gelap yang menjadi travelmate saya kali ini bergegas ke dermaga kecil di bawah sebuah jembatan. Tapi ternyata salah, kapal tidak merapat ke dermaga itu, melainkan di dermaga “semen” orang sana biasa bilang. Letaknya agak jauh sedikit dari Jembatan Tinggi, tepatnya berada di samping dermaga besar yang sedang di bangun untuk kapal-kapal besar.
Namun apa yang terjadi, ternyata kapal ini sudah hampir berangkat, akibatnya saya dan citra lari tunggang langgang menuju ke warung ibu Sonia untuk mengambil barang-barang bawaan. Alhamdulillah kami menemukan becak barang yang membantu mengantarkan kami menuju ke dermaga tempat kapal semen itu berlabuh. Sopir becak motor itu memacu becaknya dengan cekatan. Citra duduk di samping, dalam sebuah bak becak yang biasanya untuk tempat-tempat barang, sementara saya membonceng di jok belakang sang joki.
Kapal kayu yang akan membawa saya ke pulau Balai
Tepat setelah kami menaikkan barang bawaan kapal mulai menyalakan mesin dan bersiap hendak mengarungi lautan menuju pulau Banyak. Bermacam ragam barang bawaan yang diangkut kapal kecil ini. Mulai dari motor, tong sampah, semen, hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari warga pulau Banyak. Hampir tiada sisa tempat bagi saya untuk duduk. Mereka terlihat begitu tenang sambil tiduran di atas geladak kapal.
Hal terawan dan tersulit adalah melewati muara sungai yang dangkal, tidak jarang lambung kapal harus bersentuhan dengan dasar sungai yang berupa pasir. Pemandangan di awal perjalanan kali ini banyak di hiasi oleh puing-puing bangunan yang terendam air, dulu katanya rumah yang tinggal puing itu jaraknya jauh dari pantai, namun tsunami sudah membuat puing rumah itu berada di tengah laut. Sebuah kilang minyak tua juga terlihat seperti barang rongsokan saja. Puing-puing perahu tenggelam juga membuat suasana muara sungai ini semakin manakutkan. Semoga saja jumlah perahu yang karam dimuara sungai ini tidak bertambah.
kapal yang sarat muatan
***
Sebuah mobil kijang menjemput saya dari asrama putra USU. Hujan mengguyur kota medan dari sore hari. Saya sudah memesan tempat duduk di sebuah travel yang di rekomendasikan oleh salah seorang sahabat saya. “Leuser Group” namanya. Travel ini terkenal tepat waktu dan nyaman ketika kita harus menempuh rute selama 8 jam menuju singkil.
Sang sopir terdengar berbicara dengan logat Batak kental. Dia adalah sopir yang bertugas menjemput para penumpang travel itu, sementara sopir aslinya masih beristirahat menunggu giliran bekerja membawa para penumpang menuju Singkil. Ternyata medan terlihat sudah mengalami kemacetan parah. Hampir di setiap titik macet. Ternyata saya dan citra adalah tamu pertama yang di jemput sehingga kami harus ikut berputar-putar kota Medan menjemput penumpang lain. “anggap saja city tour” begitu kira-kira saya menghibur diri.
Tepat pukual 21:30 kami mulai berangkat meninggalkan kota Medan. Tepat tiga jam setelah meninggalkan kota medan, mobil yang saya tumpangi mulai memasuki area perbukitan. Hawa dingin mulai merasuk. Mobil melaju perlahan karena memang track saat itu sedang menanjak. Hingga akhirnya mobil berhenti untuk beristirahat sembari mengisi perut yang sudah mulai keroncongan.
Rumah makan padang sederhana ini merupakan tempat beristirahat para supir travel yang melewati lokasi itu. Beberapa mobil jenis L-300 juga terlihat sedang parkir menunggu penumpangnya yang sedang menikmati makan malamnya di tengah dingginya daerah Merek pagi buta itu.
Setelah semua kembali kedalam mobil, perjalanan pun di lanjutkan. Saya berusaha memejamkan mata, walau agak susah akhirnya terpejam juga. Setelah terjaga ternyata mobil sudah memasuki daerah Sinngil. Dan daerah Jembatan tinggi menjadi tujuan saya kali ini, karena menurut informasi yang saya dapat, banyak perahu nelayan yang melayani rute Pulo Sarok – Pulau Balai setiap harinya.
***
Bersatunya airlaut dan air dari sungai
Sang Tekong “juru mudi perahu” terlihat memamerkan senyumnya, itu berarti kapal sudah keluar dari kemungkinan celaka di muara sungai. Lautan dengan riak-riak ombak kecil mulai menghiasi perjalanan saya kali ini. Yang menarik lagi adalah pertemuan antara arus sungai dan air laut. Seperti kue lapis yang dipisah kan. Air laut berwarna biru sedangkan air sungai berwarna coklat seolah menyatu namun terpisah. Ada semacam garis pembatas antara kedua jenis air ini. Dan ini pertama kali saya lihat ada dua jenis air seolah terpisah di tengah laut.
Setelah hampir 4 jam perjalanan laut, deretan pohon kelapa desa Teluk Nibung mulai terlihat. Itu artinya sebentar lagi saya akan menginjak kan kaki di pulau Balai, sebuah pulau yang menjadi pusat pemerintahan kecamatan pulau Banyak. Dermaga perahu yang kami tumpangi tidaklah besar, hanya dermaga sederhana saja. Terlihat banyak sekali karamba berjejer rapi ditengah laut. Menurut keterangan warga keramba-keramba itu adalah sumbangan dari pemerintah.
Pulau pulau kecil nan indah
Setelah membayar ongkos perahu yang kami tumpangi sebesar 25 ribu rupiah saya bergegas menuju ke penginapan Putri, salah satu penginapan yang direkomendasikan oleh Yudi sahabat saya yang sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini. Letaknya tidak terlalu jauh, jalan saja sebentar ke arah penginapan Lae Kombih, kemudian ketemu simpang tiga ambil arah kiri menuju ke puskesmas. Letak penginapan putri ini tepat di depan puskesmas pulau Balai.
“panggil saja pak Putri”
Begitu pemilik penginapan putri ini menjawab ketika saya menanyakan perihal nama kepada beliau, namun akhirnya saya mengetahui namanya adalah pak Maisal dari bang Sam yang perahunya kami sewa untuk berkeliling pulau.
Penginapan putri ini termasuk penginapan yang menjadi favourite para pejabat pemerintah yang berkunjung ke pulau Banyak untuk urusan kepemerintahan. Bersamaan dengan saya waktu itu ada serombongan para pegawai negeri juga katanya sedang ada kegiatan di pulau Banyak. Ada dua jenis kamar di penginapan putri, yang pertana adalah kelas kipas angin dengan kamar mandi ramai-ramai di luar seharga 60 ribu/malam, sedangkan yang memakai pendingin ruangan dan kamar mandi di dalam di bandrol dengan harga 150ribu. Ada dua tempat tidur besar di dalam ruangan AC ini, cukup kurasa untuk berempat tidur dalam satu kamar itu.
Sudah ada dua operator, tapi paket data nya acak adul. nelfon dan sms sih lancar
Tidak banyak aktifitas yang saya lakukan di pulau Balai hari itu, siangnya selepas meletakkan semua barang bawaan di penginapan, kami mulai mencari warung untuk mengganjal perut yang sudah mulai berontak. Agak susah menemukan warung di pulau ini, tidak seperti di seputaran rumah kos saya, hampir tiap jengkal ada warung makan. Akhirnya saya menemukan sebuah warung tepat di depan dermaga Ferry yang terlihat sedang membangun fasilitas pelabuhan.
Saya memesan “mie tumis” yang ternyata adalah indomie rebus yang di tumis ha ha. Namun karena rasa lapar sudah mendera apapun itu pasti akan terlihat menggairahkan. Tidak perlu waktu lama buat saya untuk menghabiskan semangkuk mi tumis itu. Kemudia ada beberapa kue khas pulau Balai yang lumayan ikut mengganjal perut saya dari rasa lapar.
LionFish yang sedang Galau
Perut sudah terisi, cuaca dipulau ini masih terasa terik, namun hasrat untuk melihat-lihat ada apa saja dipulau ini semakin menggelora. Bermodal seperangkat alat snorkling dan kamera underwater akhirnya saya berkeliling pulau. Citra dengan riangnya hendak mencoba snorkle set baru nya. Setelah menemukan spot yang kami kira cocok, akhirnya menceburkan diri kedalam air. Namun saya sedikit kecewa karena tidak menemukan kehidupan bawah air yang bagus dilokasi ini, hanya beberapa koral mati yang ada disana, mungkin ekspetasi saya yang terlalu tinggi.
Langit mulai gelap
Mendung terlihat mulai gelap diatas pulau Baguk. Lambat laut mulai mengarah ke pulau Balai, tempat dimana saya sedang bermain air. Seekor Lion Fish terlihat sedang galau berdiam diri di pinggir pantai. Mungkin dia sedang menanggung beban yang teramat dalam sehingga harus berdiam diri di pantai pasir ini (lebay ha ha). Tapi justru ikan inilah yang menjadi penghibur saya ketika melihat hamparan koral mati di dasar laut.
Pulau Baguk sudah terlihat turun hujan, saya pun bergegas keluar dari air dan segera pulang ke penginapan. Nah dalam perjalanan pulang ke penginapan inilah saya bertemu dengan dua orang bocah yang sedang asik bermaik “selancar’’ walau hanya menggunakan tutup dari kotak ikan yang biasa digunakan nelayan untuk menyimpan hasil tangkapan. Mereka terlihat begitu antusias sekali seolah dialah bintang selancar sekelas marcello yang menjadi salah satu petualang dalam iklan rokok berlogo jarum itu. Berkali-kali terjatuh tidak menyurutkan kegembiraan mereka bermain air walau langit sudah menghitam. Tidak lama berselang hujan mulai turun, dan saya bergegas lari kedalam pondokan beratap rumbia yang disampingnya terdapat beberapa kuburan ini. Setelah mengemasi peralatan memotret saya akhirnya bergegas kembali ke penginapan, karena hari memang sudah gelap.
Peselancar cilik dari Balai
“Cit lihat snorkle ku gak?”
Sebuah pertanyaan yang kulontarkan ke Citra, dan dia hanya menggeleng artinya dia memang tidak melihat keberadaan snorkle set saya itu. Setelah bongkar sana-sini ternyata memang tidak ketemu, namun terlintas di benak saya, ketika saya memasukkan kamera kedalam tas tadi agak terburu-buru karena memang sudah gelap dan hujan mulai turun. Ternyata saya kelupaan bahwa snorkle set (mask dan snorkle) masih berada di sebuah bangku panjang pondokan itu. Iya saya ingat sekali meletakkan snorkle set disana.
Tanpa pikir panjang Citra bergegas kembali ke pondokan itu mengecek keberadaan senjata saya untuk bermain air keesokan harinya. Setelah 15 menit tidak ada kabar akhirnya dengan berbekal sebuah headlamp saya menyusul citra ke pondokan tadi, dan hasilnya snorkle itu sudah raib. Entah siapa orang yang tidak bertanggung jawab sudah mengambil snorkle saya. Beberapa warga sekitar pondokan berusaha membantu kami mencari keberadaan snorkle itu, namun sayangnya tetap saja tidak ditemukan. Dengan langkah gontai kami kembali ke penginapan. Impresi saya tentang keramahan dan kejujuran penduduk pulau Balai saat itu juga mulai terkoyak. Beda kesan ketika saya ketinggalan casing kamera underwater saya di dekat dermaga Riung Flores. Dari magrib hingga dini hari karena saya baru teringat ketika dini hari hendak packing, ternyata casing underwater saya tidak ada. Kembali mengingat-ingat ternyata saya meletakkannya di dekat dermaga yang notabene adalah jalanan umum. Namun ketika pukul 01.00 dini hari saya kesana, barang itu masih bisa saya temukan. Sebuah nilai kejujuran warga Riung saya acungi jempol.
Rasa lapar kembali mendera, sasaran kami adalah sebuah warung di depan penginapan Lae Kombih. Warung ini dimiliki oleh ibu-ibu bertubuh subur. Dengan dibantu oleh anak lelaki dan suaminya warung ini terlihat begitu ramai sekali. Hampir tiap sore hingga larut malam banyak tamu yang mamadati bangku-bangku yang berjajar di warung ini. Menu utama andalannya adalah ikan asin balado. Rasanya memang lezat sekali, dan menu ini menjadi favourite saya selama berada di pulau Banyak.
Malam semakin larut, raungan mesin diesel yang menjadi pusat pembagkit listrik masih meraung keras. Desir angin laut juga seolah sudah menina bobokan warga pulau. Rasa sedih kehilangan snorkle set saya masih membayang. Mungkin dia sudah lelah saya ajak berkeliling dari ujung barat negeri ini hingga ujung timur. Sudah banyak foto-foto bawah air yang saya abadikan berkat bantuan snorkle itu. Namun ada pertemuan pasti ada perpisahan bukan, mungkin di pulau Balai inilah saya harus berpisah dengan snorkle kesayangan itu, dan saat itulah waktu yang tepat bagi saya untuk berterima kasih atas jasa-jasanya menemani setiap perjalanan ini, terutama ke spot-spot dengan pesona bawah air yang mempesona.