Selama hampir setahun ini mungkin sudah jutaan
kilometer yang saya jalani naik bus dari ujung selatan benua Amerika
sampai ke utara. Namun rekor terlama saya dalam satu kali perjalanan
adalah 32 jam, yaitu dari Pulau Flores di negara Guatemala ke Kota
Oaxaca (baca: Oahaka) di negara Meksiko!
Boneka monyet juga sebel kelamaan di mobil!
Di Guatemala, transportasi umumnya kurang baik. Travel agent lokal memanfaatkan kondisi ini dengan membuat shuttle khusus turis atau semacam mobil travel Jakarta-Bandung, hanya saja kondisinya jauh lebih kacrut. Semobil diempet-empet
14 penumpang + 1 supir, tanpa AC, dan bagasi ditaro di atap mobil.
Meskipun demikian, saya tidak pernah mendapat masalah karena cara itu
adalah paling praktis dan harganya tidak beda jauh daripada pergi
sendiri dengan segala keribetannya. Makanya saya yakin aja dari Flores
mau ke Palenque naik shuttle lagi. Di Flores, shuttle jurusan itu dimonopoli oleh travel agent
bernama San Juan. Kata masnya, perjalanan memakan waktu 8 jam,
berangkat jam 5 pagi sampai jam 2 siang waktu Meksiko. Dari Palenque
saya akan lanjut naik bus ke Oaxaca yang jam 5 sore.
Jam 5 pagi saya dijemput oleh mobil San Juan. Tumben, kali ini tasnya
ditaro di dalam mobil, bukan di atap. Asyik deh, berarti penumpangnya
sedikit! Baru 5 menit jalan, mobil berhenti di terminal bus. Lalu mobil
jalan lagi, berhenti lagi di kantornya yang sepi. Jalan lagi, berhenti
lagi di sebuah rumah. Dan akhirnya balik lagi ke terminal bus dan si
supir bilang dalam bahasa Spanyol yang kira-kira begini, “Karena hujan
deras, jalan nggak bisa dilewatin. Ini duitnya kami kembalikan.” Hah?
Saya yang lagi makan pisang ampe keselek. BANGSAT! Kok enak banget gitu
caranya?! Andai saja bahasa Spanyol saya udah canggih pasti tu supir
udah saya maki habis-habisan, tapi reaksi saya cuman bisa melempar kulit
pisang. Uh, gue sumpahin perusahaan lu bangkrut!
Saya dan tas diturunkan secara paksa di terminal bus
Santa Helena yang masih gelap gulita! Langsung lah saya dikerubuti
cowok-cowok yang menawarkan berbagai macam servis pengantaran. Jiah,
perusahaan nomor satu aja nipu, apalagi perusahaan ecek-ecek di
terminal bus? Saya pun bertekad untuk pergi sendiri naik apapun sampai
Palenque. Tak sudi ditipu lagi! Setelah tanya sana-sini, akhirnya saya
naik mobil semacam L-300 jurusan La Tecnica, jam 7 pagi. Saya dan Yasmin
duduk di depan, sedangkan di belakang ada serombongan abang-abang
Latino pake singlet, celana jins selutut, sepatu kets putih, tak
ketinggalan kalung rantai regal dan rambut berdiri kena gel.
Baru jalan 15 menit, tau-tau ada seorang ibu masuk dari pintu supir
dan duduk di sebelah kami. Buset, di di depan ada empat orang! Lama-lama
mobil jadi tambah penuh. Kapasitas yang seharusnya 14, diisi 25 orang!
Di bagian belakang ada yang berdiri, bahkan nungging. Di atas kepala
kami pun ada kepala-kepala lain yang nongol ke depan sambil megap-megap
cari udara! Pantat saya naik sebelah karena duduk di sambungan kursi.
Lama-lama pantat saya kesemutan, kaki kebas, dan pinggang mau copot
karena duduk miring sambil memangku ransel selama berjam-jam.
Penderitaan ini diperparah dengan kondisi jalan yang tadinya aspal
menjadi jalan tanah bergelombang campur kerikil sehingga mobil berjalan ajrut-ajrutan.
Saya lapar luar biasa karena tidak sempat sarapan dan makan siang. Makin lapar melihat si supir santai makan ayam goreng dan tortilla
sambil nyupir sampe stirnya berminyak, sementara mobil tidak pernah
berhenti istirahat. Bekal saya berupa pisang, keripik, dan air putih
sudah habis tapi belum nyampe juga. Sudah lima jam perjalanan kok
pemandangan sekelilingnya seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan?
Isinya kebun jagung, semak-semak, rerumputan. Gimana mau pipis coba? Kok
tidak ada satu penumpang pun yang minta mobil berhenti? Nggak ada yang
kebelet apa? Tak tahan lagi, akhirnya saya yang bilang ke supir dan ia
baru berhenti di sebuah pom bensin sepi. Seluruh penumpang turun dengan
tubuh gontai. “10 menit kembali, ya!” kata kenek. Doh, kita ini
penumpang bus atau tawanan Nazi sih?!
Sejam kemudian mobil berjalan, kami distop petugas berseragam. Kami
disuruh turun dan masuk ke dalam sebuah rumah yang nyempil di antara
perumahan penduduk. Oh, ini kantor imigrasi Guatemala. Tidak ada palang
dan tidak ada plang yang mengatakan ini perbatasan antarnegara. Setelah
paspor saya dicap, ngobrol lah sama geng abang-abang di belakang.
Rupanya mereka adalah warga negara Guatemala dan Honduras yang akan
bekerja di AS. Dari Meksiko mereka akan lanjut naik kereta api. Wah,
saya jadi ingat film dokumenter tentang para imigran gelap asal
negara-negara Amerika Tengah yang masuk ke AS.
Perjalanan masih berlanjut di jalan yang makin rusak dan sempit, dan
dikelilingi hutan yang makin lebat. Gila, mau dibawa ke mana coba?
Hampir sampai di La Tecnica, jalan menjadi sangat berlumpur. Kata supir,
jalan tidak bisa dilalui mobil, dan… kami semua diturunin di jalan! Ya
ampun, again?! Katanya kami bisa meneruskan perjalanan ke La Tecnica naik kapal. Hah? Geng abang-abang lalu mengajak kami, “Vamos!”.
Mereka menolong membawakan tas, memegangi tangan kami menuruni bukit,
masuk hutan, jalan di lumpur, sampai di bibir sungai yang airnya
berwarna coklat dan berarus deras. Rupanya Guatemala dan Meksiko
dipisahkan oleh sungai ini!
Terbayang para imigran gelap berenang ngumpet-ngumpet sambil
ditembak-tembakin. Atau terjadi tembak-tembakan antara jaringan kartel
narkoba dan polisi, karena Meksiko saat ini merupakan pemasok 90% kokain
ke Amerika Serikat. Waduh, gimana kalo kapal ini tiba-tiba ditembakin
dari balik hutan karena saya bersama abang-abang nggak jelas gini?
15 menit menyusuri sungai, supir kapal bertanya, “Yang perlu ke
imigrasi Meksiko silakan turun di sini.” Saya, Yasmin, dan 2 orang abang
asal Honduras turun. Kami pun berpisah dengan abang-abang lain yang
bermuka tegang. “Buena suerte!” kata saya kepada mereka, artinya “good luck”. Saya benar-benar berharap mereka selamat.
Dua ratus meter di seberang sungai terdapat kantor imigrasi Meksiko.
Saat saya mengisi formulir, kedua abang itu disuruh masuk kantor dan
diwawancara petugas. Kami menunggu cukup lama karena mau patungan naik
taksi ke terminal bus. Tiba-tiba mereka berdua keluar ruangan dengan
muka bete dan meninggalkan kami begitu saja! Lah? Saya bertanya kepada
petugas imigrasi ada apa dengan mereka. Katanya, “Mereka tidak punya
dokumen untuk masuk ke negara ini sehingga harus kembali.” Apa?
Mengulangi penderitaan 6 jam di bus tadi? Pantas saja abang-abang yang
tadi di kapal tidak ikut turun. Mereka diam-diam lewat jalur lain tanpa
lewat imigrasi!
(bersambung)