“Memangnya ada yang salah kalau disebut PKI. Buktinya, anak PKI Ribka Tjiptaning kan kader PDIP dan beliau bangga mengaku dirinya anak PKI. Kalau merasa bukan PKI, kenapa harus sewot dan melakukan tindakan anarkis. Bukan hanya PKI saja, kesan publik pada PDIP kan sebagai partainya orang-orang Kristen dan Katolik (palagisme). Ini kan bukan rahasia umum lagi, semua orang tahu. Jadi, santai aja lagi, bilang aja Aku Ra Popo, kenapa harus melakukan kekerasan dan menodai bulan suci Ramadhan ini dengan cara-cara seperti itu,” ujar wartawan senior Rusmin Effendy menanggapi aksi anarkis massa pendukung Jokowi di Jakarta, Kamis (3/7).
Menurut Rusmin, masa pendukung Jokowi jangan merasa besar dan bangga dulu, harus bertindak rasional dan obyektif terhadap suatu masalah. “Kalau sampai Ramadhan ini diciderai dengan cara seperti itu, bukan tidak mungkin bisa membangkitkan emosional dan perlawanan umat Islam. Jangan memprovokasi masalah dan keadaan yang bisa memancing emosional masyarakat. Kalau umat Islam tersinggung dan melakukan jihat siapa yang berani menghentikannya. Karena itu, jangan nodai Ramadhan ini dengan tidakan dan perbuatan yang bisa memancing emosional, apalagi menyangkut aqidah,” ujarnya.
Dia berharap, masing-masing pasangan capres/cawapres harus mampu mengendalikan emosional massa pendukungnya untuk tidak berbuat hal-hal yang bisa memancing kerusuhan selama ramadhan. “Sangat disayangkan, seorang Jokowi justru mendukung aksi anarkis tersebut dengan alasan sudah kehilangan kesabaran karena selalu dihadapkan dengan kampanye hitam. Kalau Jokowi sosok yang bersih, santun, sederhana, dari keluarga terpandang, mana mungkin ada kampanye hitam. Justu kampanye hitam terjadi karena ada something wrong yang patut diklarifikasi,” tegasnya.
Dia mencontohkan, di media sosial ramai dipersoalkan latarbelakang keluarga Jokowi, khususnya menyangkut ayahnya yang bernama Widjiatno yang kemudian berubah menjadi Noto Nitihardjo, sedangkan ibunya bernama Sudhiatmi. Daerah kelahiran ibunya berasal dari Kelurahan Giriroto, Boyolali, sekitar 12 kilometer dari Surakarta yang dikenal basis utama PKI di Jawa Tengah pada tahun 1960 sampai 1980an.
“Persoalan ini kan bukan fitnah, tapi tulisan di media sosial. Kalau memang Jokowi jujur berdasarkan ajaran Islam, dia harus berani sumpah Al Quran yang menjelaskan secara detail jati dirinya dan menjawab semua tuduhan dan kampanye hitam. Kalau perlu membuat testimoni di media massa. Cepat atau lambat masyarakat juga akan tahu, siapa Jokowi yang sebenarnya. Ikon yang menyebutkan dirinya sebagai sosok yang santun, sederhana dan tegas hanyalah tipu-tipu belaka. Buktinya, kasus korupsi Jokowi selama menjabat Walikota Solo sudah dilaporkan ke KPK, tapi sampai sekarang tak ada kabarnya,” ujarnya.
Rusmin juga mengimbau masyarakat untuk cerdas memilih pemimpin dalam Pilpres 9 Juli mendatang, karena yang banyak ditonjolkan dari tim sukses sekarang ini hanyalah psy war (perang urat saraf), bukan war of ideas (perang ide) dan war of wits (perang kecerdasan). Paling tidak, Pilpres 2014 ini harus menjadi momentum bangsa memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan, kesejahteraan bagi masyarakat. Seperti yang dilakukan Presiden AS Barack Hussein Obama saat pertama kali maju sebagai presiden dengan bukunya yang terkenal; “Change We can Believe in” melalui American Dream.
“Bangsa ini merindukan sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan, bukan sekedar pencitraan melalui kartu KJS, revolusi mental, pembangunan tol laut, industri kreatif dan sebagainya,” ujarnya.
Sekjen PDIP: Pengepungan TV One Adalah Warning
Sekjen PDI Perjuangan menegaskan pengepungan kantor TV One dini hari tadi adalah warning. Agar, nantinya, TV One tidak lagi menayangkan berita yang sifatnya melecehkan partai.
"Kita akan mengadukan footage resmi ke Dewan Pers dan KPI dengan tema mengadu domba PDIP dengan TNI AD, tidak ada partai unjuk aspirasi, kita warning saja," kata Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo kepada Aktual.co, Kamis (3/7).
Sebenarnya, sambung Tjahjo, PDIP tidak anti kritik. Namun, kritik yang dilakukan selayaknya tidak menabrak kebebasan pers. Semua harus lewat prosedur yang benar.
Sebelumnya, Tjahjo menegaskan bahwa apa yang dikabarkan TV One, bahwa PDIP mengusung kader PKI sebagai capres adalah fiitnah.
"Sikap saya sebagai sekjen dan kader PDIP, adalah siaga satu. Kita segera mengepung studio TV One, surat izin ke Polda Metro segera disiapkan," sambungnya.
Partai meminta pertanggungjawaban TV One dengan meminta bukti siapa nama anggota PKI yang diberitakan TV One tersebut.
"Ini menyangkut harga diri dan kehormatan partai dan Ibu Megawati Soekarnoputri yang dilecehkan oleh berita TV One," tegas Tjahjo.
Kekerasan Pada Pers, Persilakan Rezim Otoriter Tumbuh Kembali
Aksi demonstrasi yang dilakukan kader PDIP yang tergabung dalam Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) di depan kantor TV One di Kawasan Industri, Pulogadung, Jakarta dan Yogyakarta adalah hal yang salah dalam demokrasi. Aksi itu tidak akan terjadi jika partai politik menanamkan nilai seperti nasionalisme, dan demokrasi dengan cara yang benar.
"Ini adalah cermin dari nilai yang ditanamkan oleh partai politik kader tesebut," ucap pengamat politik Universitas Brawijaya, Anang Sujoko kepada wartawan, Kamis (3/7).
Dia menilai, kondisi kekerasan pada pers ini dalam bentuk intimidasi, menurut Anang sama saja dengan mempersilakan rezim otoriter tumbuh kembali.
"Indonesia terancam, karena menurut saya indikasi negara tidak sehat adalah jika pers juga tak sehat," tandasnya.
Seperti diberitkan sebelumnya, Sekitar 60-an masa relawan perjuangan demokrasi (Repdem) yang berafiliasi dengan PDIP, Kamis (3/7) dini hari tadi mendatangi kantor TV One di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur.
Mereka menuntut pertanggungjawaban TV One yang menyebut PDIP mengusung kader partai komunis Indonesia (PKI).
Pers Tak Bisa Dibungkam dengan Intimidasi
Kebebasan pers tidak bisa dibungkam dengan cara-cara seperti yang dilakukan oleh pendukung Jokowi-JK. Kalau merasa dirugikan, silahkan gunakan hak jawab semua diatur oleh Undang-Undang.
Demikian disampaikan pengamat komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra di Jakarta, Kamis (3/7).
"Dalam Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1990 diatur tentang hak jawab. Jika ada pihak yang dirugikan oleh suatu pemberitaan dapat menggunakan hak jawab. Jika hak tersebut tidak digunakan bisa melapor ke polisi, misalnya karena pencemaran nama baik," katanya.
"Mengapa harus dengan kekerasan, apalagi ini bulan suci Ramadan" sesalnya
Sebagaimana diketahui massa PDI Perjuangan (PDIP) yang juga simpatisan pasangan Jokowi-JK bertindak anarkis di kantor TVOne Yogyakarta. Mereka menyegel dan mencoret tembok dengan cat semprot berwarna merah dengan kalimat yang tidak senonoh karena pemberitaannya dinilai merugikan PDIP.