Pondok Modern Gontor bukan cuma terkenal karena kurikulumnya yang unik. Pondok pesantren ini juga terkenal karena telah melahirkan beberapa tokoh bangsa. Siapa yang tak kenal Ketua Umum Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi yang disebut-sebut sebagai representasi dari Muslim tradisional? Siapa yang tak tahu Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin yang dikategorikan sebagai representasi Muslim modernis, atau cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid, sosok yang direpresentasikan sebagai Muslim modernis-progresif.
Ada juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sosial Hidayat Nur Wahid, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Budayawan Emha Ainun Najib. Beragam karakter dan pemikiran itu telah menjadi tokoh dalam komunitasnya. Mereka diakui tidak saja karena pemikirannya, tetapi juga karena gaya atau karakter kepemimpinan mereka yang sangat kuat.
Tetapi, siapa sangka mereka yang sangat jauh berbeda baik dari sisi karakter apalagi pemikirannya itu disatukan oleh sebuah ikatan yang kuat. Mereka sama-sama pernah nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor, Desa Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.Mereka sama-sama melalui proses pendidikan dan pembentukan pribadi dalam paradigma yang sama. Sama-sama pernah belajar Kitab Kuning (kitab klasik standar pesantren), ilmu umum kontemporer, dan menguasai bahasa Arab serta bahasa Inggris.
Herannya, kendati berbeda, tidak ada satu pun dari mereka yang mempermasalahkan perbedaan itu, apalagi merasa paling benar. Mereka pun tak pernah mencoba memperalat pondok untuk suatu kepentingan.
panggung gembira santri KMI kelas 6
"Karena itu, hingga detik ini Gontor tetap Gontor. Gontor tidak pernah jadi Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, ataupun Islam sekuler. Gontor juga tidak pernah masuk dalam partai mana pun," papar Wakil Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Ahmad Hidayatullah Zarkasyi.
Apa sebenarnya yang diajarkan di Gontor? Kurikulum seperti apa yang digunakan, metode apa yang diterapkan? Secara akademis, ada dua jenjang pendidikan yang diselenggarakan di Pondok Gontor, yaitu jenjang pendidikan menengah dengan nama Kulliyatul-Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dan jenjang perguruan tinggi dengan nama Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
Di jenjang pendidikan menengah selain ada KMI, juga ada pengasuhan santri yang membidangi kegiatan ekstrakurikuler dan kurikuler. Pengembangan sistem pengajaran KMI berlangsung independen, kurikulum disusun secara mandiri sesuai dengan program pondok. Misalnya, materi keterampilan, kesenian, dan olahraga tidak masuk dalam kurikulum, tetapi menjadi aktivitas ekstrakurikuler agar santri lebih bebas memilih dan mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan minat.
Pendidikan di Gontor dimulai pukul 05.00 saat salat subuh sampai pukul 22.00, yang terbagi dalam kegiatan pendidikan formal dari pukul 07.00 sampai 12.15 dan pengasuhan mulai pukul 13.00. Tiga pilar pendidikan, yakni sekolah (pendidikan formal), keluarga (santri dengan para guru dan pembimbing), serta masyarakat (lingkungan tempat mereka bermukim), dipenuhi seluruhnya dalam kehidupan pondok karena siswa juga menjadi santri yang menginap di pondok. Adapun guru, dosen, dan pengasuhnya adalah keluarga bagi santri.
Pendidikan formal yang diurus oleh KMI membagi siswanya dalam perjenjangan yang sudah diterapkan sejak tahun 1936. Ada dua program reguler dan intensif. Program reguler untuk lulusan sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah dengan masa belajar selama enam tahun ditempuh secara berurutan mulai kelas I-VI. Kelas I-III di KMI setingkat dengan pendidikan SMP/madrasah tsanawiyah (MTs) jika mengacu pada kurikulum nasional. Sementara kelas IV-VI setara dengan SMA/madrasah aliyah (MA).
Adapun program intensif di KMI untuk lulusan SMP/MTs ditempuh empat tahun. Kurikulum di KMI yang bersifat akademik dibagi beberapa bidang, yakni Bahasa Arab, Dirasah Islamiyah, Ilmu Keguruan dan Psikologi Pendidikan, Bahasa Inggris, Ilmu Pasti, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Keindonesiaan/Kewarganegaraan. Komposisi kurikulum masing-masing sudah ditetapkan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Bahasa Arab dan bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa pengantar pendidikan, kecuali mata pelajaran tertentu yang harus disampaikan dengan bahasa Indonesia. "Bahasa Arab dimaksudkan agar santri memiliki dasar kuat untuk belajar agama mengingat dasar-dasar hukum Islam ditulis dalam bahasa Arab. Bahasa Inggris merupakan alat untuk mempelajari pengetahuan umum," papar Ustadz Fadli, dosen di Pondok Gontor.
Sekarang Gontor menambah program pendidikan bahasa Mandarin sebagai bekal bagi siswanya kelak mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di China yang amat pesat.
Ilmu tanpa batas Pondok tidak pernah membatasi akses ilmu agama maupun ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh santri. Bahkan, selain disediakan kursus komputer, juga ada warung internet dan perpustakaan di lingkungan pondok yang buka setiap saat. Menghadapi realitas perubahan tersebut, pesantren berpedoman pada al-muhafazatu ala al-qadim al salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil inovasi baru yang lebih baik). Dengan kata lain, ada strategi proyeksi dan proteksi yang dimaksudkan untuk mempertahankan kualitas luhur para santri dengan cara melindunginya dari pengaruh negatif lingkungan.
Ustadz Makruf mengungkapkan salah satu strateginya, yaitu dengan menyibukkan murid mengerjakan tugas sehingga ketika mereka membuka internet, secara otomatis akan berkonsentrasi untuk ilmu pengetahuan.Informasi dari media massa juga dibatasi. Siswa kelas I-IV dilarang menonton televisi. Setelah dianggap cukup dewasa, yakni saat mereka duduk di bangku kelas V dan VI, mereka diizinkan menonton televisi. Itu pun jamnya sangat terbatas.
"Kami sengaja hanya memberikan hal-hal yang positif kepada para santri sampai dirasa mereka cukup dewasa berpikir baru, kemudian kami sodori hal-hal yang negatif, sebatas pengetahuan," papar Makruf.
Selain memberikan pendidikan agama dan ilmu pengetahuan, siswa diajarkan bersosialisasi dengan membentuk masyarakat sendiri, masyarakat pondok. Banyak organisasi di dalamnya, mulai dari ketua asrama, ketua kelas, ketua kelompok, organisasi intra maupun ekstra, sampai ketua regu pramuka.
Sedikitnya ada 1.500 jabatan ketua yang harus diisi para santri. Jabatan itu selalu berputar setiap pertengahan tahun atau setiap tahun. Dengan demikian, setiap santri pasti pernah menjadi pemimpin satu kali.
Setiap siswa wajib menjadi guru untuk kegiatan pengasuhan pada saat ia kelas V dan VI. Jika ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di ISID, mereka tidak akan dipungut biaya, tetapi diwajibkan mengajar kelas I-VI di luar jam kuliah. Ada pelatihan tambahan bagi guru dengan materi yang sesuai dengan standar pendidikan nasional.
praktik mengajar santri akhir KMI
Biaya pendidikan bagi siswa di KMI Rp 215.000 per bulan, terdiri dari Rp 115.000 untuk uang makan dan Rp 100.000 untuk biaya pendidikan. Pengasuh berharap biaya yang murah bisa dijangkau masyarakat dari berbagai golongan. Jika selama ini mahasiswa ISID masih terbatas pada alumni KMI Gontor, rencananya tahun akan dibuka universitas sehingga masyarakat umum bisa menuntut ilmu di sana.
[sumber;silviafrans90.blogspot.com]