Dakwah identik dengan seruan kepada dua hal; mengajak manusia kepada yang ma’ruf (ta’at kepada Allah) atau mencegah mereka dari perbuatan mungkar (ma’siat kepada Allah). Artinya seorang da’i yang menyeru kepada Allah adalah menyeru manusia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran dalam rangka beribadah kepadaNya.
Bahkan realisasi dari amalan ini merupakan karakteristik generasi pilihan Allah SWT, sebagaimana banyak termaktub dalam Al Qur’an ataupun hadis-hadis Rasulullah SAW. Lebih dari itu, Allah menyatakan bahwa kebinasaan (terlaknatnya) sebuah kaum karena meninggalkan amalan ini dan acuh terhadap kemungkaran yang terjadi di tengah masyarakat. Allah SWT berfirman:
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79)
“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas (78) Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu (79)” (QS. Al Ma’idah: 78-79).
Wahbah Az Zuhaili berkata mengutip perkataan Ibnu ‘Uthayyah:
قال ابن عطية: والإجماع منعقد على أن النهي عن المنكر فرض لمن أطاقه، وأمن الضرر على نفسه وعلى المسلمين فإن خاف فينكر بقلبه، ويهجر ذا المنكر ولا يخالطه
“Ibnu ‘Uthayyah berkata: Telah menjadi ijma’ bahwa hukum mencegah kemungkaran adalah wajib bagi yang mampu tanpa mendatangkan kemudharatan atas dirinya dan kaum muslimin, jika hal tersebut dikhawatirkan terjadi maka cukuplah ia mengingkarinya dengan hati serta menjauhinya.”
[1] Lalu bagaimanakah jika ammar ma’ruf dan nahi mungkar ini diterapkan dalam masalah-masalah khilafiyyah di mana para ulama sejak dahulu telah berbeda pendapat? Dalam arti seseorang menyeru orang lain yang berbeda pandangan untuk mengikuti mazhabnya seakan ia telah beramar ma’ruf, atau menyerunya meninggalkan mazhabnya seakan ia telah mengajak orang lain meninggalkan kemungkaran.
Seperti seseorang yang berpandangan bahwa qunut dalam shalat shubuh adalah bid’ah lalu melarang orang lain melakukannya, atau mewajibkan orang yang tidak memandang membaca basmalah sebelum al fatihah dalam shalat sebagai rukun shalat, atau mencela orang yang melakukan tawassul, dll dengan alasan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Seakan mazhab yang berbeda dengannya adalah kemungkaran yang mesti dilarang.
Untuk menjawab pertanyaan di atas setidaknya kita perlu mengetahui bahwa masalah khilafiyyah terklasifikasikan menjadi empat hal. Di mana keempat hal tersebut harus disikapi dengan sikap yang sesuai:
[2] Pertama: Masalah yang terkait dengan dasar-dasar agama Islam (ushuluddin) yang berdasarkan dalil-dalil qathi’ (ayat-ayat al Qur’an, hadis-hadis Nabi SAW yang tidak mengandung kemungkinan ta’wil atau naskh, serta ijma’ qath’i). Seperti keyakinan atas eksistensi Allah SWT dan keesaannya, eksistensi malaikat, rasul, kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW dan bahwasannya Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul, serta adanya hari kebangkitan (kiamat).
Untuk masalah ini ulama telah sepakat bahwa masalah-masalah seperti bukanlah ranah khilafiyyah dalam arti seseorang yang benar dalam meyakininya maka ia telah mendapat hidayah dari Allah sedangkan bagi yang mengkufurinya maka dihukumi sebagai orang kafir. Dalam arti lain, dakwah pun mendapatkan porsinya dalam masalah ini. Tentunya dengan syarat-syarat atau fiqih dakwah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para ulama yang kompeten.
Kedua: Sebagian masalah ushuluddin yang mana ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kekufuran orang-orang yang salah dalam ijtihadnya. Seperti kalangan mu’tazilah yang meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhluq atau meyakini bahwa ahli surga kelak tidak dapat melihat zat Allah SWT.
Dalam masalah ini pada dasarnya dakwahpun mendapatkan porsinya, hanya saja mereka yang mengingkari atau menolak untuk meyakini kebenaran tidak dihukumi sebagaimana pertama.
Ketiga: Masalah furu’iyyah yang telah diketahui kepastian hukumnya secara dharuri seperti kewajiban shalat 5 waktu, zakat, puasa, haji, haramnya zina, homoseksual, riba, minuman keras, dll.
Dalam masalah ini ulamapun sepakat bahwa yang mengingkarinya dihukumi kafir dan tidak berlaku khilafiyyah atasnya. Dalam arti lain nahi mungkarpun berlaku bagi para pengingkarnya.
Keempat: Masalah furu’iyyah yang disimpulkan hukumnya dari proses ijtihadiyyah yang berdasarkan dalil. Serta memungkinkan terjadinya khilafiyyah diantara ulama. Seperti detail-detail tatacara ibadah, melafazkan niat, membaca basmalah dengan jahr atau sirr, mengerak-gerakkan telunjuk saat tasyahhud, maulid nabi, mencukur jenggot, cadar, isbal dll.
Maka dalam masalah ini cukuplah kita menempatkannya sebagai khilafiyyah yang tidak diletakkan dalam ranah amar ma’ruf nahi mungkar. Di mana pandangan yang berbeda tidak selayaknya diingkari sebagaimana mengingkari sebuah kemungkaran atau maksiat.
Bahkan masyarakat perlu diajarkan bagaimana etika dalam memandang khilafiyyah di kalangan ulama tentunya masalah-masalah khilafiyyah yang ulama rabbani (seperti 4 imam mazhab) telah berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Setidaknya berikut beberapa etika atau akhlaq islami dalam menyikapi sebuah perbedaan:
Hendaklah menyikapi perbedaan tersebut dengan niatan ikhlas karena Allah SWT dan jauh dari hawa nafsu.
Meyakini bahwa mustahil manusia memiliki kesamaan pandangan dalam setiap masalah.
Menjauhi fanatisme (ta’ashshub atau taqlid buta) kepada individu, mazhab, atau jama’ah.
Berperasangka baik (husnu zhan) kepada orang yang berbeda pendapat dengan kita.
Tidak mencela pribadi dan pendapat orang yang berbeda.
Membangun kesadaran bersama bahwa tugas kita sebagai manusia adalah menghamba kepada Allah SWT melalui syariat Nabi Muhammad SAW walaupun dalam memahami perintah Allah dan Rasulnya memungkinkan terjadi khilafiyyah dan multi tafsir.
Wallahua’lam bi ash shawab
Isnan Ansory, M. Ag
yy/nabawia.com
[1] Wahbah Az Zuhaili, At Tafsir Al Munir fi Al Aqidah wa Asy Syari’ah wa Al Manhaj, 6/280
[2] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/293-294