Freeport McMoran Indonesia telah melakukan kejahatan multidimensional. Kejahatan lingkungan, kejahatan kemanusiaan, kejahatan ekonomi, kejahatan hukum dan kejahatan politik dilakukan serentak oleh perusahaan pertambangan yang termasuk dalam kategori industri hitam ini.
Dalam berbagai kesempatan WALHI dan JATAM telah berulangkali meniup peluit peringatan agar Pemerintah Indonesia segera melakukan langkah kongkrit untuk menghentikan kejahatan serba aspek itu demi menegakkan kedaulatan ekonomi, hukum dan politik Indonesia. Namun hasilnya sebegitu jauh sungguh mengecewakan.
Bahkan kesan yang kita peroleh adalah protes dan jeritan anak-anak bangsa di Papua dan di tempat lain seperti Jakarta dianggap oleh Pemerintah yang berkuasa saat ini sebagai gangguan dan ribut-ribut belaka tanpa makna. Kesan cukup kuat menunjukkan Pemerintah melindungi berbagai kejahatan Freeport itu sambil seolah mengatakan: “JANGAN KHAWATIR FREEPORT, TERUS SAJA SILAHKAN MENGURAS SDA KAMI DI PAPUA, KAMI AKAN TETAP MELINDUNGI ANDA”.
Di rumah rakyat Indonesia siang ini, kita mencoba meniup peluit (whistle-blowing) sekeras-kerasnya dengan harapan para anggota DPR RI dan Pemerintah Susilo mendengar peringatan dan “teriakan” kita bahwa telah terjadi penjajahan ekonomi dan politik oleh Freeport terhadap Indonesia.
Penjajahan yang begitu telak dan kasat mata itu seharusnya segera dihentikan. Namun ada kemungkinan, sekeras-kerasnya peluit dibunyikan, jika yang kita hadapi adalah orang-orang pekak dan tuli, maka si peniup peluit bisa-bisa lelah sendiri.
Kasus Freeport bukanlah satu-satunya. Ada berlusin-lusin kontrak karya pertambangan lainnya antara Indonesia dengan berbagai korporasi asing yang tidak masuk akal sehat. Mengapa? Karena hampir semua kontrak karya pertambangan itu merupakan pengulangan praktek penjajahan. Korporasi asing mendapat keuntungan yang terlalu besar, sementara pihak Indonesia hanya mendapat royalti ala kadarnya dan memikul beban dan destruksi lingkungan yang mustahil dapat dipulihkan.
Mungkinkah kita mengembalikan sebuah gunung kecil yang sudah lenyap dihajar Freeport dan berubah jadi “danau” buruk dan melelehkan salju di puncak Gunung Jaya Wijaya yang merupakan salah satu keajaiban alam? Keajaiban alam itu kini tinggal kenangan. Keserakahan Freeport adalah tipikal korporasi internasional yang bergerak di bidang pertambangan. Exxon mobil adalah penjarah SDA negara-negara berkembang yang tidak kalah serakah.
Kita mengetahui, Pemerintah Susilo telah memberikan operatorship minyak Blok Cepu sepenuhnya kepada Exxon. Juga Exxon diberi hak untuk mengeksploitasi minyak kita sampai tahun 2036. Di salah satu gedung di kompleks MPR/DPR RI ini Persatuan Ahli Geologi Indonesia pernah memprotes keras keputusan Pemerintah itu karena mereka merasa terhina, dianggap tidak mampu mengeksploitasi SDA milik kita sendiri. Sayang, protes itu dianggap angin lalu. Tidak kalah gila adalah bagaimana Indonesia mendapat 0% takkala Exxon menguras gas alam kita di Natuna.
Pertambangan gas alam yang dikerjakan Exxon di wilayah Natuna itu sangat ganjil. Produksi gas alam itu dibawa ke wilayah Singapura lewat pipa bawah laut, dijualkan oleh agen-agen Exxon di negara Singa itu, tanpa sedikit pun kita pernah tahu, berapa volume gas alam kita yang dijarah dan berapa nilai kerugian kita untuk masa puluhan tahun. Menurut Paul Krugman, Exxon adalah musuh planet bumi. Dimana-mana Exxon menghancurkan lingkungan hidup demi maksimalisasi profit yang dikejar. Exxon menjadi musuh planet bumi karena telah menyogok para ilmuwan yang meragukan adanya global warming. Implikasinya adalah bahwa Exxon dengan jaringan pertambangannya yang terbesar di muka bumi tidak punya andil dalam global warming.
Krugman menunjukkan bahwa bukan hanya Exxon sebagai korporasi yang serakah, tetapi juga para direksinya. Lee Raymond, mantan CEO Exxon, selama bekerja 13 tahun mendapat gaji $ 686 juta atau sekitar 6 triliun dan 174 milyar rupiah. Lumayan bukan? Kembali ke Freeport. Freeport melanjutkan penjajahan dan penghinaannya pada Indonesia ketika Freeport meng-akuisisi Phelps Dodge Corp, perusahaan pertambangan emas saingannya senilai $ 25,9 milyar. Bayangkan, hampir 26 milyar dolar. Dari jumlah pembayaran yang senilai sekitar 234 triliun rupiah itu, yang 70% dibayar tunai dan sisanya diselesaikan lewat pinjaman Bank.
Cerita Prof. Dr. M. Amien Rais, saya diberitahu seorang lobbyist Partai Demokrat Amerika, sesungguhnya tindakan Freeport itu keliru karena cadangan SDA kita di perut bumi Papua dijadiakan kolateral atau jaminan kredit bank. Harusnya, kata dia, Indonesia merasa terhina karena tidak dilibatkan sama sekali dalam akuisisi Phelps Dodge tersebut. Saya katakan bagaimana Indonesia merasa terhina, wong faham saja tidak. Tetapi saya yakin Presiden Susilo (mantan menteri pertambangan RI) dan Menteri Purnomo tentu faham dan sangat faham dengan apa yang terjadi.
Sikap Indonesia terhadap korporasi asing agaknya memang berbeda dibandingkan dengan negara-negara lain. Saya yakin negara-negara petro-dollar di Timur Tengah menjadi kaya karena pemerintah di Kawasan itu tidak bodoh-bodoh amat. Bahwa korporasi minyak dan pertambangan dari Amerika, Inggris, Belanda, Prancis dll diundang untuk melakukan kegiatan pertambangan itu sudah pasti. Akan tetapi dalam production-sharing dan profit-sharing, negara-negara Timur Tengah itu cukup cerdas dan berani meminta bagian yang lebih masuk akal, dibanding Indonesia. Indonesia nampak selalu tunduk, merunduk, bahkan tiarap berhadapan dengan korporasi asing yang dalam 24 jam sehari – semalam ideologi mereka adalah maksimalisasi keuntungan dengan segala cara.
Pemerintah Susilo tidak boleh lupa bila keserakahan dan keganasan berbagai korporasi asing seperti Freeport tersebut dibiarkan, apalagi dilindungi, hakekatnya Pemerintah Susilo sudah melakukan kejahatan terhadap rakyatnya sendiri. Dengan kata lain, Pemerintah telah melakukan State-Corporate Crime, yakni kejahatan korporasi yang dibiarkan atau bahkan difasilitasi oleh negara. Kebijakan ekonomi dan kebijakan pertambangan Pemerintah Susilo nampaknya belum berubah dari kebijakan-kebijakan sebelum reformasi.
Malah dalam kasus Blok Cepu, kebijakan yang diambil hanyalah meneruskan kebiasaan buruk masa lalu, yakni mensubordinasikan kepentingan bangsa sendiri dibawah kepentingan korporasi asing. Tentu pernyataan saya ini akan dibantah, tetapi fakta selalu berbicara tentang dirinya sendiri. Bayangkan, kontrak karya II antara Indonesia dengan Freeport baru berakhir pada 2041. Di tahun itu angkatan saya, Jusuf Kalla, Susilo B. Yudhoyono, dan seanteronya sudah berpindah ke alam baka. Bisakah kita tenang di alam baka jika generasi cucu kita merasa kecewa berat karena kita biarkan terus kekuatan korporatokrasi menguras ludes SDA kita di daratan, lautan dan perut bumi Indonesia?
Sehingga kita mewariskan kemelaratan, kekecewaan dan kehancuran ekologi pada cucu dan cicit kita? Saya tetap yakin bangsa Indonesia bisa jadi bangsa besar di masa datang. Tetapi proyeksi Indonesia menjadi salah satu dari 5 raksasa ekonomi dunia di th 2030 dengan dasar keadaan kita sekarang yang makin terpuruk, kiranya masih jauh panggang dari api. Disamping itu tentu dapat meninabobokkan bangsa yang sedang resah dan gelisah menghadapi kehidupan yang tetap saja sulit.
Kemerosotan dalambanyak hal adalah prestasi Pemerintahan Susilo. Kiranya peringatan seorang ekonom terkenal, Ravi Brata, bagus untuk dicamkan oleh Pemerintah Susilo dan para Anggota DPR kita yang mudah lupa diri.
Professor Brata mengatakan: “Setiap jenis korupsi adalah buruk, tetapi korupsi kebijakan ekonomi mungkin adalah yang paling bejat. Kejahatan seperti itu terjadi bilamana para anggota DPR bukan saja memperkaya diri sendiri, tetapi juga menolak perbaikan hidup bagi masyarakat yang tertindas, yakni bagi mereka yang memiliki kekuatan tawar yang kecil dan merupakan bagian terlemah dalam masyarakat” (Any kind of corruption is bad; but the corruption of economic policy is perhaps the worst. Such malfeasance occurs when lawmakers not only enrich themselves but also deny just rewards to the downtrodden, that is, to those who have little bargaining power and are the weakest sections of society) Kalau saya boleh menambahkan, DPR RI kita sekarang ini telah, sedang dan akan meloloskan bersama pembuatan berbagai Undang-Undang di bidang kehutanan, pelayaran, penanaman modal asing, pengolahan air, energi dan listrik, yang sebenarnya, sekali lagi, semuanya lebih menguntungkan pihak asing daripada rakyat sendiri. Luar biasa.
Kemarin kita dikagetkan dengan kemungkinan lolosnya RUU Penanaman Modal yang kental kepentingan asing. Memang sulit membuktikan bahwa ada tekanan – rayuan – sogokan dari korporasi asing pada sementara anggota DPR kita. Namun dengan adanya penolakan terhadap usulan penanganan dugaan kejahatan korporasi dari DPR RI itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Eksekutif dan Legislatif kita hakikatnya telah menjadikan Indonesia for Sale. Bayangkan, para pemodal asing dibolehkan memiliki hak guna usaha sampai 70, 80, dan 95 tahun. Indonesia seperti negara yang kesurupan atau kesetanan. Tanah, sebagai aset termahal, dapat diserahkan ke kapitalis asing sampai mendekati satu abad.
Demikian juga hutan-hutan kita juga sedang dipindah tangankan ke pemodal asing untuk kurun waktu 75 tahun sampai satu abad. Indonesia for Sale!!. Kita perlu belajar dari negara-negara lain seperti Venezuela dan Bolivia. Kedua negara ini berhasil keluar dari cengkeraman korporatokrasi internasional. Mereka berhasil melakukan negosiaisi ulang atas seluruh perjanjian pertambangan dengan pihak asing yang semula merugikan bangsa sendiri. Rakyat Venezuela mulai menikmati hasil SDA nya secara lebih besar sejak sekitar 4 tahun lalu, sedangkan rakyat Bolivia merasakan hal yang sama sejak akhir tahun 2006.
Ternyata keduanya berhasil melakukan negosiasi seluruh kontrak pertambangan dengan korporasi asing. Tidak betul bahwa renegosiasi kontrak pertambangan adalah tabu. Malaysia dan Iran, bahkan negara-negara penghasil minyak, gas dan mineral di Timur Tengah pada umumnya tidak menjadi bangsa pecundang. Setahu saya, sulit dicari sebuah bangsa yang lupa diri dan lupa harga, martabat dan kehormatan diri seperti halnya bangsa Indonesia. Yang kita alami sesungguhnya adalah sebuah malapetaka kebodohan, rasa rendah diri yang berlebihan (inferiority complex) dan sekaligus rasa tidak percaya diri.
Namun masih ada secercah harapan, asalkan beberapa hal di bawah ini dapat dipenuhi. Pertama, pimpinan nasional atau pemerintah hendaknya berjiwa pemberani, memiliki moral courage untuk membela kepentingan bangsa sendiri berhadapan dengan kepentingan korporasi internasional. Indonesia harus berdiri sejajar dan sama tinggi dengan negara manapun juga. Indonesia adalah negara merdeka berdaulat penuh.
Kini makin terbukti, negara-negara yang menjauhi A.S. dan berusaha menegakkan kemandirian justru semakin berhasil dan mengalami kemajuan cepat. Anehnya, Indonesia dibawah Presiden Susilo semakin merapatkan diri dengan Paman Sam. Kedua, diperlukan kekompakan antara Eksekutif dan Legislatif untuk memukul balik setiap usaha hegemoni korporasi asing dalam menguasai Indonesia. Yang terlihat sekarang kedua lembaga demokrasi kita justru semakin mendekat dan mengunggulkan kepentingan korporasi asing daripada kepentingan bangsa sendiri. Ketiga, komponen-komponen bangsa seperti TNI, Polri, kaum intelektual, media massa, tokoh-tokoh muda dan tokoh-tokoh informal seharusnya memadukan kekuatan untuk mempertahankan kedaulatan kita dalam arti luas dari penerobosan kepentingan korporasi asing.
Sayang sampai sekarang belum terlihat penggalangan visi dan penyamaan posisi dalam menghadapi invasi politik, ekonomi dan budaya sebagai akibat proses globalisasi yang tidak terelakkan. Yang terlihat adalah baik DPR maupun Pemerintah berlomba membuka pintu rekolonisasi ekonomi Indonesia. Dengan stock kepemimpinan nasional yang sedang berkuasa sekarang ini dan dengan gaya dan semangat kerja seperti sekarang, jawaban atas pertanyaan Beranikah INDONESIA MENGHENTIKAN “PENJAJAHAN” FREEPORT? barangkali sudah jelas. Jawaban itu adalah tidak berani. Sama sekali tidak berani. Namun, saya harap saya keliru. Wallahu a’lam.
Catatan: Harian The New York Times edisi 27 Desember 2005 pernah memuat laporan panjang, 3 halaman penuh tentang kegiatan Freeport dengan Judul “Below a Mountain of Wealth, a River of Waste”. Disitu digambarkan betapa sementara perwira tinggi TNI dan Polri telah masuk dalam daftar penerima honorarium khusus. Juga untuk beaya pengadaan infrastruktur militer telah dikeluarkan dana sebanyak 35 juta dollar. Termasuk 70 Land Rover dan Land Cruiser yang diperbaharui setiap tahun. Seorang tokoh CIA dan dua mantan perwira militer AS juga digunakan. Melihat jaringan intelligence, polisi dan militer antara AS dan Indonesia di Freeport, agaknya tidak mudah untuk mengatakan NO pada Freeport.
Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menyatakan, keuntungan yang didapat PT. Freeport Indonesia dari hasil tambangnya di Papua mencapai Rp 4.000 triliun. Hal ini dihitung dari hasil laporan cadangan mineral PT. Freeport Indonesia di tahun 2010.
“Cadangan mineral PT. Freeport Indonesia berdasarkan laporan tahunannya di tahun 2010, cadangan emas sebesar 55 juta ons, tembaga 56,6 pounds dan perak 180,8 juta ons di tambang Grasberg. Maka dengan harga mineral terutama emas yang terus naik, cadangan ini berpotensi menghasilkan USD 500 milyar atau sekitar Rp. 4000 triliun,” jelasnya.
Sebab itu, dirinya menilai perbuatan dengan memsukan unsur pembayaran pajak PPH untuk membesar-besarkan penerimaan Negara adalah tindakan yang tidak fair alias tidak adil.
Padahal menurutnya, pembayaran pajak memang sudah menjadi kewajiban perusahaan tambang sebagai biaya operasional perusahaan sebelum memperhitungkan keuntungan.
“Disebutkan setelah beroperasi lebih empat dasawarsa, total kontribusi PT. Freeport Indonesia hingga Juni 2011 sebesar 12,8 miliar. Jumlah tersebut terdiri atas royalti USD 1,3 miliar, deviden USD 1,2 miliar, PPh badan USD 7,9 miliar, PPH karyawan dan pajak lainnya USD 2,4 miliar. Tentu saja ini tidak relevan,” tegasnya di Jakarta.
Atas dasar hal itulah, dirinya mendesak PT. Freeport Indonesia harus mau renegosiasi dan mematuhi seluruh UU Nomor 4 Tahun 2009, tanpa kecuali. Jika PT. Freeport Indonesia tidak mau menjalankannya, maka perusahaan tambang asal Amerika tersebut dapat dikatakan telah melakukan pembangkangan atas undang-undang dan dapat ditindak lanjuti dengan pemutusan kontrak karya.
Selain itu dirinya juga mendesak agar pemerintah Indonesia juga mencabut PP No. 20 Tahun 1994 tentang kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA). Begitu juga dengan surat keputusan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Nomor 415/A.6/1997 yang antara lain berisi ketentuan membebaskan PT. Freeport Indonesia dari kewajiban divestasi.
Terlebih lagi penerbitan surat tersebut ditandatangani oleh Kepala BKPM yang jabatannya lebih rendah daripada Presiden, mengingat bahwa kontrak karya PT. Freeport Indonesia yang menandatangani adalah Presiden, sehingga tidak ada alasan BKPM untuk mengeluarkan surat yang bertentangan dengan kontrak karya yang ditandatangani Presiden.
Dimana dengan mencabut PP tersebut, lanjutnya, PT. Freeport Indonesia tidak dapat berkelit soal kewajibannya untuk melakukan divestasi saham seperti yang berlaku pada PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT). “Maka itu, kedepan pemerintah pusat dan derah harus membentuk konsorsium untuk memiliki saham PT. Freeport Indonesia dan menjadi pengendali mulai saat ini hingga 10 tahun yang akan datang,” pungkasnya. (Subandi, pengamat politik, berbagai sumber)
KEJAHATAN KORPORASI
John Perkins adalah penulis asal Amerika Serikat yang mengungkapkan kejahatan korporatokrasi yaitu jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara-cara korupsi, kolusi, dan nepotisme dari Negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.
Cara kerja mereka mirip mafia karena menggunakan semua cara, termasuk pembunuhan untuk mencapai tujuan. Ia mengungkapkan bandit-bandit ekonomilah yang melenyapkan Presiden Panama Omar Torrijos dan Presiden Ekuador Jaime Roldos. “Kita melakukan pekerjaan kotor. Tak ada yang tahu apa yang kamu lakukan, termasuk istri kamu. Kamu ikut atau tidak?, kalau mau dilarang keluar sampai mati,” kata bos Perkins yang suatu hari raib ibarat hantu.
Ikon korporatokrasi yang nyata Wapres Amerika Serikat Dick Cheney. Ia mantan CEO Halliburton—kontraktor terbesar di dunia—dan sampai kini menjadi penasihat bisnis MNC itu.
Cheney penganjur serbuan ke Irak yang dipalsukan lewat senjata pemusnah massal. Kini Halliburton bersama MNC lainnya menikmati keuntungan dari ladang minyak Irak.
Tugas pertama Perkins membuat laporan-laporan fiktif untuk IMF dan World Bank agar mengucurkan utang luar negeri kepada Negara-negara Dunia Ketiga.
Tugas kedua Perkins adalah membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera utang yang menggunung, Negara pengutang dijadikan kuda yang dikendalikan kusir. Negara pengutang ditekan agar, misalnya, mendukung Pemerintah AS dalam voting di Dewan Keamanan PBB. Bisa juga Negara pengutang dipaksa menyewakan lokasi untuk pangkalan militer AS. Sering terjadi korporatokrasi memaksa negeri pengutang menjual ladang-ladang minyak mereka kepada MNC (multinational corporation) milik Negara-negara barat.
Bos Perkins, Charlie Illingworth mengingatkan Perkins bahwa Presiden AS Richard M Nixon menginginkan KEKAYAAN ALAM INDONESIA DIPERAS SAMPAI KERING. Di mata Nixon, Indonesia ibarat Real Estate terbesar di Dunia yang tidak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet dan China. Perkins pun dinyatakan lulus sebagai bandit ekonomi andal berkat kariernya yang sukses di Indonesia.