Intinya, sebagian kecil Indonesia sempat bersatu padu di atas aspal Brebes. Indah bukan?
“Indah ndasmuu!”
Jadi, gimana lebarannya? Kejebak di Brebes berapa jam? Eaaaa…
Foto macet-macetanmu kala mudik belum kekinian dan instragamable kalau keterangan lokasinya bukan di sepanjang tol Brebes. Tentu perlu dimeriahkan dengan hestek #terjebakdiBrebes #lebihbaikterjebaknostalgia #mudik2016 #idulfitri1437H #Brebesmili #kapanmoveondariBrebes #moveondarikamuajabelom.
Brebes yang tadinya hanya dikenal lewat telur asin dan bawang merahnya mendadak merajai seluruh kanal berita online dan acara berita di semua stasiun televisi swasta. Mudik lebaran yang telah menjadi ciri khas warga Indonesia seperti hanya terpusat di aspal Brebes.
Kabarnya ada yang terjebak sampai 20 jam lebih di jalan tol baru itu. Ada yang menjadi pulang kampung selama-lamanya juga akibat kelelahan hebat. Ada pula komentar Pak Menteri yang memancing hujatan netizen, meski sesungguhnya netizen Indonesia sudah otomatis menghujat tanpa dipancing.
Sangarlah netizen Indonesia itu. Peka banget, nggak kayak kamu.
Dan tentu saja ada saya yang turut meramaikan jebakan Brebes selama 14 jam lamanya. Tapi selalu ada hikmah yang bisa diambil dari setiap peristiwa. Akibat terjebak di tol Brebes selama 14 jam itu, untuk pertama kalinya saya makan sahur dengan paket panas McD yang harganya empat puluh ribu sekian-sekian.
Brebes telah menjadikan santap sahur saya pagi itu naik kelas.
Saya, yang baru pertama kali bergabung dalam barisan pemudik asal Ibu Kota, dibuat terpana dengan pemandangan sepanjang jalan. Jadi, kalau saya terlihat ndeso dengan penggambaran kekaguman yang berlebihan ini, mohon dimaklumi.
Sebab ndeso adalah kekinian yang tertunda. Percayalah.
Sebelum memasuki tol Pejagan yang berlanjut ke jebakan Brebes itu, saya disuguhi pemandangan para pemudik yang mengendarai sepeda motor dengan barang bawaan yang tak sedikit dan penumpang yang melebihi anjuran.
Sempat terlintas di benak saya untuk mengadakan pelatihan pramuka bagi para calon pemudik yang mengendarai sepeda motor. Tentu mereka butuh skill tali-temali untuk menata barang bawaan sedemikian rupa sehingga aman sampai tempat tujuan meski melewati banyak rintangan seperti aspal yang nggronjal-nggronjal.
Baik pemudik, pemerintah, Brebes atau siapa saja sebenarnya tidak ada yang pantas disalahkan. Mencari kesalahan hanya akan menambah kadar kolesterol jahat dan menaikkan tensimu yang sudah terganggu pasca badai santan dan daging-dagingan.
Di luar berita-berita bertajuk ‘Siapa yang Salah dalam Tragedi Brebes’, saya ingin menyampaikan kekaguman yang luar biasa terhadap perwujudan Pancasila yang, jika Anda amati dengan serius, tiba-tiba hadir nyaris sempurna di atas aspal Brebes.
I: Ketuhanan yang Maha Esa
Siapa yang tidak menjadi ingat Tuhannya kala terjebak masalah? Bukankah Tuhan memang baru terasa betul keberadaannya ketika manusia tengah menghadapi kesulitan?
Tahu foto sekeluarga yang menunaikan shalat di tepian jalan tol? Orang-orang mendadak kagum dan tersentuh hatinya. Bayangkan, dalam kondisi macet total dan tidak bisa melakukan apa-apa selain berdiam diri, disuguhi pemandangan seperti itu tentu membuat mBrebes mili. Ini cuma salah satu contohnya.
II: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Jangan dipandang dari upaya saling serobot antar pengemudi atau harga bensin yang jadi melonjak tinggi sekali. Coba lihat sisi lainnya. Warga sekitar jadi tergerak untuk berjualan makanan, minuman, dan bahan bakar sebab mereka tahu para pemudik akan sangat membutuhkan itu dalam keadaan terjebak macet. Ada pula yang mendirikan kamar mandi dadakan meski tidak digoreng dalam bentuk bulat dan gurih-gurih enyoy.
Kemacetan menjadi ladang penghasilan bagi warga sekitaran tol yang dapat digunakan sebagai dana tambahan merayakan hari raya. Kemudian para pemudik yang sebagian besar adalah golongan menengah ke atas dan pasukan individualis Ibu Kota, menjadi sadar bahwa dalam keadaan terdesak, tenggang rasa dan gotong royong adalah jalan keluar terbaik.
Paling tidak, Brebes menyadarkan mereka bahwa manusia tetaplah makhluk sosial yang perlu hidup berdampingan dengan manusia lainnya.
III: Persatuan Indonesia
Bingung sebelah mana bentuk persatuannya?
Lha itu, segala macam merek mobil bersatu padu meramaikan tol Brebes. Segala merek air minum, makanan ringan, serta kluster industri lain bersatu padu melalui produk-produknya di atas aspal Brebes. Bahkan para pemudik yang sibuk mengolah kesabaran di dalam kendaraannya masing-masing, barangkali di hari biasa mereka adalah para pelaku bisnis yang terus bersaing sengit.
Barangkali juga ada teman yang mengelak kala ditagih utangnya tapi berpapasan di dalam tol Brebes. Atau bisa juga ada sepasang mantan kekasih terpisah kendaraan yang gagal mudik bersama. Eaaa…
Intinya, sebagian kecil Indonesia sempat bersatu padu di atas aspal Brebes. Indah bukan?
“Indah ndasmuu!”
IV: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Ingat kapan terakhir kali bermusyawarah sebelum memutuskan sesuatu bersama anggota keluargamu? Ingat kapan terakhir kali bersikap bijak dalam hidup rukun bertetangga? Brebes dapat mewujudkannya dalam sekejap.
Untuk pindah lajur saja sampeyan tanpa sengaja telah menerapkan rukun bertetangga dengan pengendara di sebelah. Walaupun sejujurnya karena nggak mau mobilnya lecet.
Cicilane durung lunas, ndes!
V: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kalau saja orang-orang itu sudi melihat dari sisi baiknya, kenaikan harga makanan, minuman, dan bahan bakar di sepanjang tol Brebes adalah wujud keadilan sosial: Para pemudik yang bermobil kelaparan, kehausan, dan kehabisan bahan bakar.
Menaiki mobil pribadi dipandang sebagai kemampuan finansial yang berlebih. Warga sekitar memandang fenomena ini sebagai peluang sekaligus rasa kasihan. Untuk dapat berjualan makanan dan bahan bakar, warga pun perlu menempuh perjalanan yang jauh dan repot mengingat truk-truk tanki bahan bakar pun kesulitan menjangkau SPBU.
Jerih payah warga membawakan makanan, minuman, dan bahan bakar rasanya adil diganjar dengan harga segitu. Malah mungkin tanpa upaya para warga itu, sampeyan gagal menuntaskan rindu di kampung yang ada halamannya. Lak cilaka, to! Lagi-lagi, dalam sekejap Brebes mampu mewujudkan keadilan sosial itu.
Mestinya Pak Wakapolri tidak perlu repot-repot meninjau langsung tol Brebes. Di rumah saja, Pak menikmati opor, sambel goreng ati, dan kue kering. Kirimkan saja Mbak Duta Pancasila yang goyangannya barangkali bisa sekaligus menghibur para pemudik.
Sebab di Brebes sesungguhnya tidak ada apa-apa, Pak. Hanya sedang mewujudkan Pancasila meski sekejap. Kurang nasionalis apa coba?
Post a Comment Blogger Facebook