
Keturunan asli nenek moyang orang Ethiopia—disebut orang-orang Oromo—percaya bahwa kopi memiliki asal-usul, yang bisa ditelusuri dari sebuah cerita rakyat tentang penggembala bernama Khaldi.
Alkisah, sang pengembala mengamati kawanan kambing gembalaannya yang tetap terjaga bahkan ketika matahari terbenam setelah memakan sejenis kacang-kacangan.
Ia pun mencoba memasak dan memakan kacang-kacangan tersebut, hingga Khaldi pun merasakan pengaruh pada tubuhnya untuk tetap terjaga.

Pendapat lain mengungkapkan bahwa kopi ditemukan oleh Sheik Omar. Pendapat ini mengacu pada sumber manuskrip Abd-Al-Kadir yang mengisahkan tentang Sheik Omar yang memiliki kemampaun untuk menyembuhkan orang sakit melalui doa, suatu hari Sheik Omar mengasingkan diri dari Mekah ke sebuah gua di tengah gurun pasir sekitar daerah Ousab.

Agar rasanya lebih baik, ia pun mencoba membakar kacang-kacangan tersebut dan mengubahnya menjadi lebih keras.
Untuk melunakkannya lagi, Omar mencoba mendidikannya dengan air. Hasilnya, kacang-kacangan tersebut berubah menjadi cairan coklat yang harum dan memiliki keawetan tersendiri untuk berhari-hari.
Berita penemuan Sheik Omar ini menyebar hingga Mekah, dan ditelusuri kembali melalui sebuah penelitian. Kopi pun dikenal di dunia Arab melalui Mesir dan Yaman (Souza, 2008: 8).

Kebenaran informasi tersebut belum bisa dipastikan, namun menurut Brian Cowen dalam bukunya yang berjudul The Social Life of Coffee (2005), catatan tertua tentang kopi berasal dari William Bidulph tahun 1660 yang menulis surat dari Aleppo.
Ia adalah orang Inggris pertama yang menuliskan tentang kopi. William menuliskan bahwa:

Pada abad ke-16, kopi sudah mencapai daerah Timur Tengah, Persia, Turki, dan Afrika Utara. Biji kopi pertama kali diekspor dari Ethiopia ke Yaman.
Pedagang-pedagang Yaman, membawa kopi ke kampung halamannya, dan mengembangkan kembali tanaman kopi.
Adapun kopi pertama kali dibawa keluar dari Timur Tengah pada 1670 oleh Sufi Baba Budan, dari Yaman ke India. Setelah itu kopi menyebar ke Itali dan seluruh Eropa, kemudian ke Indonesia, dan Amerika Selatan.
Legitimasi dan pengakuan terhadap citarasa kopi dari Timur Tengah di daratan Eropa, menurut Brian Cowen, dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut “Virtuoso”, yaitu kelompok elite yang memiliki kepedulian pada sastra, dan kebudayaan dari zaman Reinanssance (Jurnal Wacana, 2006: 237).
Kelompok Virtuoso ini juga membawa eksotisme dari dunia Timur seperti Arab dan Afrika. Kelompok Virtuoso identik dengan para intelektual dan pecinta kebudayaan. Kata Virtuoso sendiri berasal dari bahasa Itali, yang artinya seseorang yang memiliki kemampuan intelektual menonjol dalam bidang seni, menyanyi, atau memainkan alat musik (Merriam-Websters online).

Penerimaan terhadap kopi menjadi semakin meluas ketika Paus Clement VIII pada 1600 menetapkan kopi sebagai minuman umat Kristen (http://en.wikipedia.org/wiki/Coffe).
Setelah komoditi kopi diterima luas di Eropa, kopi mulai menjadi komoditi penting dan memiliki nilai jual yang tinggi. Kopi pun secara perlahan menjadi bagian dari imprealisme dan kolonialisme lama, juga menjadi bagian penting dalam menopang ekonomi negara penguasa daerah koloni.
Pada kondisi yang demikian, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang mulai memasuki Indonesia pada pertengahan abad ke-16, menjadi gambaran yang cocok sebagai sebuah organisasi dagang yang mampu mengoptimalkan komoditi kopi.
Menurut William H Ukers dalam New York: Tea and Coffee Trade Journal (12 Februari 2010), disebutkan bahwa VOC atau The Dutch East India Company merupakan pengimpor kopi pertama dalam skala besar.
Setelah mendapatkan komoditi kopi, VOC membudidayakan kopi di Jawa dan Sri Langka. Adapun ekspor kopi pertama dari Jawa ke Belanda, pertama kali terjadi pada 1711.

Jika pada 1711 VOC sudah mampu menyetorkan komoditi kopi ke Belanda, berarti kopi sudah mulai masuk ke Indonesia sebelum tahun 1711. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa kopi sampai di Indonesia sekitar abad ke-15 (Ensiklopedi Indonesi no 9: 127).
Adapun menurut Creutzberg dan van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (1987), dikemukakan bahwa kopi dibawa ke Hindia-Belanda pada 1669, namun bibit kopi pertama ini punah karena kiriman kopi yang dikirim, terkena bencana banjir di Batavia.
Kiriman kopi selanjutnya tiba pada 1699 dan menjadi sumber bagi segala kopi yang tumbuh di Jawa dan di bagian-bagian lain kepulauan Nusantara sampai abad ke-21 (Creutzberg dan Van Laanen, 1987: 157).
Mengenai kedatangan biji kopi ke Hindia-Belanda ini, dilakukan dengan cara diselundupkan oleh seorang pria bernama Pieter van de Brooke, pedagang berkebangsaan Belanda dari pusat perdagangan kopi yang saat itu terletak di Mocha (Yaman).
Ia membawanya ke Amsterdam Botanical Garden untuk diteliti lebih lanjut. VOC lalu mengembangkannya di Sri Lanka dan India, sebelum membawanya ke Hindia-Belanda dan mendapat sukses besar karena kecocokan dengan iklim tropis (Teggia dan Hanusz, 2009).

Dalam pembudidayaan kopi di Priangan, para petani harus membuka hutan, menanam kopi, memelihara kebun kopi, hingga kopi tersebut panen.
Sistem ini mengabaikan kepentingan petani dalam menghasilkan padi sebagai makanan pokok (Ali, 1975: 68). Terlepas dari penderitaan yang menimpa petani, VOC mendapat keuntungan besar di pasar internasional.
Selama 10 tahun, eksport meningkat menjadi 60 ton per tahun. Indonesia adalah tempat pertama kali kopi dibudidayakan secara luas di luar Arab dan Ethiopia. Hingga akhirnya, VOC mampu memonopoli perdagangan kopi dari tahun 1725 sampai 1780.
Inilah awal mula dikenalnya nama Java Coffee atau kopi Jawa di mata internasional. Pembudidayaan kopi di Indonesia pun terus berlanjut, meski VOC mengalami kebangkrutan pada 1799. Ketika Pemerintah Hindia-Belanda memegang kekuasaan pada awal abad ke-19, kopi tetap menjadi komoditi penting yang dipertahankan.

Pada masa itu, peraturan penanaman kopi tidak seketat pada masa-masa VOC. Pembudidayaan kopi terus berlanjut hingga masa pemerintahan Hindia-Belanda memberlakukan politik pintu terbuka, yaitu sebuah kebijakan yang mengijinkan pemodal asing menanamkan modalnya di Hindia-Belanda.
Pada 1830, berlakulah sistem tanam baru yang dinamakan Culturstelsel atau Sistem Tanam Paksa. Pada periode Tanam Paksa, tanaman kopi yang dipertahankan sebagai cara utama menanam atas perintah yang berwajib, diperluas sampai ke seluruh Jawa (terutama Jawa Tengah dan Timur, yang meliputi Semarang, Sala, Kedu, Besuki, dan Malang) dan juga di pulau-pulau lain, seperti di Palembang, Sumatera Barat, Sumatera Timur, dan Lampung (Kanisius, 1988: 19).
Pada 1833, pemerintah (Hindia Belanda) menetapkan monopoli atas perdagangan kopi di Jawa. Pada tahun tersebut, panen kopi yang dihasilkan rakyat wajib diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, adapun kelebihan hasil panen dan hasil yang terkena pajak hanya dijual kepada pemerintah dengan harga yang ditentukan sendiri oleh pemerintah.
Peraturan tersebut memberatkan petani pribumi karena lahan yang harus ditanami mencapai setengah sampai seperlima dari lahan milik petani, bahkan kadang melebihi kapasitas lahan (Dahlan, 2006: 12).

Komoditi kopi pun sempat mengalami penurunan ketika pada 1880-an terjadi hama atau penyakit daun kopi.
Penyakit daun yang dimaksud dikenal dengan nama Hemiliea vastatrix. Penyakit daun tersebut dapat menjalar ke mana-mana. Hama tersebut menyerang pada perkebunan di daratan rendah.
Sementara tanaman kopi di daratan tinggi, terutama di ketinggian 1.000-1.700 meter dapat bertahan, seperti kopi yang ditanam di Pegunungan Ijen Jawa Timur.
Untuk mengatasi kerusakan akibat penyakit tersebut, pada 1875 didatangkan jenis Liberika yang berasal dari Afrika Barat, yang pada awalnya diduga dapat bertahan terhadap hama Hemiliea vastatrix, namun pada kenyataannya tidak mampu bertahan.

Karena terjadi tanaman campuran dari kedua jenis itu, maka menghasilkan tanaman kopi jenis baru, dan muncul hibrida-hibrida baru.
Ternyata hibrida ini lebih resisten terhadap Hemiliea vastatrix. Agar hama Hemiliea vastatrix dapat ditangkal dengan optimal, maka didatangkan kembali biji kopi lain, yaitu biji kopi jenis Robusta (dikenal pula sebagai kopi Canephora). Biji kopi ini ternyata mampu bertahan dari hama Hemiliea vastatrix, meskipun tidak sampai 100% (Kanisius, 1988: 20)
Setelah masa penurunan akibat hama penyakit daun, secara sistematis penanaman kopi atas perintah yang berwajib, dalam hal ini pemerintah, makin dikendorkan. Walaupun demikian, penanaman kopi saat itu sudah menyebar luas ke pulau-pulau di luar Jawa.

Pemerintah Hindia-Belanda sempat mencoba membudidayakan kopi melalui sejenis tanam paksa di luar pulau Jawa, namun usaha tersebut tidak berhasil.
Memasuki awal abad ke-20, pemerintah Hindia-Belanda akhirnya melepaskan usaha penanaman paksa kopi di pulau-pulau selain Jawa, dari titik inilah di daerah seperti Sumetera, perkebunan-perkebunan rakyat mulai berkembang pesat.
Kondisi perkembangan kopi pun menjadi berbalik; di Pulau Jawa hanya beberapa distrik di Jawa Barat dan Timur yang mempertahankan penanaman kopi sesudah tanam paksa dihapuskan, sementara itu di Sumatera , perkebunan kopi justru tumbuh pesat (Creutzberg dan van Laanen, 1987:159).
SUMBER :
http://www.blackapollopress.com/coffee/
Cowan, Brian. 2005.
The Social Life of Coffee; The Emergence of British Coffehouse.London: Yale University
Creutzberg , Pieter dan J.T.M. van Laanen. 1987.
Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.
Kartodirdjo, Sartono. 1992.
Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1984.
Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Teggia, Gabriella dan Mark Hanusz. 2003.
A Cup of Java. Singapur; Equinox.
Ukers, William H. 1922.
“The Introduction of Coffee into Holland”. All About Coffee. New York: Tea and Coffee Trade Journal. 12 Februari 2010.
Wacana; Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Budaya. Vol 8 no 2, Oktober 2006.
Universitas Indonesia.
Weinberg, Bennett Alan; Bealer, Bonnie K. 2001.The world of caffeine : the science and culture of the world’s most popular drug. New York: Routledge.
Dapatkan Wisbenbae versi Android,GRATIS di SINI !
Lihat yg lebih 'seru' di sini !
Follow @wisbenbae