
Memasuki wilayah ende, bis akan berjalan persis di pinggir pantai yang memiliki bebatuan berwarna hijau tua. Dari kejauhan, pulau ende juga nampak begitu anggun di sebrang lautan.
Tak perlu bingung bagaimana memberi jatah pada preman – preman itu, karena begitu mobil mampir di terminal, maka akan ada banyak orang yang masuk ke mobil dan meminta jatah itu, dan jangan kaget jika mendengar adu argumen antara “si Preman” dan para penumpang lokal yang menolak memberi uang pada para preman (Kalau saya jadi orang lokal, saja juga pasti akan menolak, toh ini bukan sesuatu yang resmi). Saya sama sekali tak mengerti kenapa ada sistem seperti ini, dan hal ini membuat suasana tak begitu nyaman, sehingga menciptakan kesan pertama kota Ende yang buruk bagi saya. Lepas dari cengkraman para preman,mobil bis yang kami tumpangi menurunkan kami di sebuah pertigaan yang entah apa namanya (di pertigaan ini tertulis petunjuk arah ke Maumere dan ke IPI), setelah sebelumnya kami membayar tarif bis sebesar 40k / orang. Pak supir berkata kalau kami bisa menunggu bis yang akan ke Maumere (bis ini akan melewati Moni) di sini. Karena perut sudah sangat keroncongan , kami berjalan menyusuri jalan raya ke arah Maumere sembari berharap menemukan penjual nasi.
Kami terus berjalan sampai kami melewati sebuah pagar bertuliskan “Terminal Wolowona” yang sepertinya sudah berganti menjadi sebuah pasar tradisional, karena di terminal ini sudah tak ada mobil lagi melainkan lapak – lapak pedagang. Meski pun ini adalah kawasan pasar tradisonal, tapi kami cukup kesulitan menemukan warung makan, jika ada pun pasti sedang tutup. Kami terus berjalan sembari berharap bis ke Maumere akan segera lewat. Sampai ahirnya kami di serbu oleh beberapa bapak – bapak yang berlarian ke arah kami, mereka bertanya kemana tujuan kami. Begitu mengetahui tujuan kami adalah Moni, mereka langsung menawarkan harga 40k/ orang untuk mengantarkan kami sampai ke moni. Setelah tawar menawar, ahirnya kami sepakat di harga 25k/ orang (seharusnya bisa lebih murah 5k/ orang). Kami di suruh menunggu sebentar di sebuah pangkalan mobil travel (mobil – mobil ini khusus mobil travel yang ke arah timur ; Mumere dan Larantuka ) sembari menunggu penumpang lain.
![]() |
Penginapan Sao Ria |
Sontak kami menoleh,di dekat persimpangan ini terdapat penginapan mewah (baca; mahal) yaitu Kelimutu Eco Lodge yang di kelola oleh pemerintah. Setelah berkendara selam kurang lebih 1 jam, kami di turunkan di sebuah rumah makan bernama Nusa Bunga (kami yang meminta di turunkan di sini pada pak supir). Pemilik rumah makan Nusa Bunga ini memiliki sebuah penginapan yang harganya sesuai dengan kantong kami (nama penginapannya juga Nusa Bunga). Sayang, hari itu semua kamar di penginapan Nusa Bunga sedang penuh. Tapi untunglah mba – mba penjaga rumah makan Nusa Bunga memberitahu kami kalau di sebelah rumah makan ini juga ada sebuah penginapan, namanya Home stay Jhon (Sao Ria). Si mba penjaga rumah makan mengantarkan kami pada pemilik penginapan, om jhon namanya. Walau penginapan ini terlihat sangat kumuh dan usang, tapi tak apa lah, toh kami hanya menginap semalam saja dan harga yang di tawarkan cukup murah, 60k / malam untuk 2 orang dengan fasilitas dua buah tempat tidur dan kamar mandi di dalam.

Si mba menayakan apakah kami akan ke danau Kelimutu, dan apakah kami sudah memiliki kendaraan (ojek) yang akan mengantarkan kami ke sana. Setelah mengetahu kalau kami belum mempunyai kendaraan ke sana, si mba menawarkan untuk mencarikan ojek / motor untuk kami pakai. Si mba pun mengenalkan sodaranya pada kami, dia ini yang akan menyewakan motornya untuk kami. Sempat terjadi penawaran yang cukup alot sebelum ahirnya kami deal di harga 80k (sudah termasuk bensin). Dari rumah makan, kami menjelajah sudut kota moni yang lain dengan berjalan kaki. Sampai ahirnya kami bertemu dengan hamparan sawah dan kebun sayur. Di sana saya melihat seorang nenek renta sedang mengambil air untuk menyirami kubis – kubis yang dia tanam. Merasa tak tega (ke inget nenek saya), saya berinisiatif membantu si nenek untuk mengambil air, sampai ahirnya anaknya datang untuk membantu si nenek. Dari kebun sayur, kami kembali ke penginapan dan beristirahat lebih awal, karena besok sebelum subuh saya harus sudah berangkat ke kelimutu.
Saat hendra sibuk mencermati jalanan yang akan di lalui motor, saya juga sibuk dan terkesima melihat taburan bintang yang begitu memukai . Subuh itu langit begitu cerah, tak ada awan setitikpun, hal ini semakin memperjelas penglihatan saya akan ribuan bintang yang bertaburan di pekatnya malam Flores. Dari kejauhan saya melihat kerlap – kerlip lampu di moni yang sudah nampak begitu jauh.
Setelah menempuh perjalanan yang bisa di bilang exstrim selama kurang lebih 30 menit, kami sampai di pos pintu masuk menuju kelimutu. Subuh itu baru kami berdua saja wisatawan yang tiba di pos, bapak penjaga pos menyarankan kami menunggu wisatawan lain untuk menuju kelimutu (tempat parkir yang jaraknya masih sekitar 2-3 KM lagi dari pos masuk ini). Setelah membayar tiket masuk seharga 2,5k / orang dan mengisi daftar kunjungan , kami putuskan untuk melaju ke kelimutu dan tak menunggu wisatawan lain (Ngapain coba nungguin orang lain,heheh. Tapi saya tahu niat bapak itu baik, mungkin dia takut kami kenapa –kenapa).
![]() |
Jalan menuju puncak kelimutu (gambar di ambil pas pulang) |
Tak begitu lama, bermunculan lah para wisatawan lain yang hampir semuanya adalah wisatawan asing. Udara di sini sangat dingin, jadi jangan lupa membawa jaket tebal dan meminum obat masuk angin sebelum naik biar badan hangat. Dari parkiran, kami berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah tertata rapi. Danau pertama yang kami temui adalah Danau Tiwu Ata Polo, matahari belum muncul saat saya sampai di tepi danau. Saya tak terlalu lama di danau ini karena belum ada yang bisa di lihat (semua serba hitam), nanti saja saya melihatnya pas perjalanan pulang.
Tujuan saya selanjutnya adalah puncak tertinggi di sini (Puncak gunung Kelimutu), di mana ada bangunan berupa sebuah tugu yang menyajikan pemandangan ke semua danau yang ada di Kelimutu. Semburat cahaya jingga berpadu cantik dengan langit gelap subuh itu. Sadar waktu semakin siang, saya semakin mempercepat langkah menuju puncak Kelimutu. Jalana yang kami lewati sudah berupa jalanan beton dengan beberapa puluh anak tangga. Semakin lama, langkah kaki semakin berat dan napas mulai menderu – deru (maklumlah sudah lama tak pernah tracking lagi,hehe). Tepat sebelum matahari muncul, saya sudah duduk manis di undakan tangga tugu sembari menyaksikan momen – momen yang selalu di tunggu para wisatawan (Sunrise).
![]() |
Sunrise |
Pagi itu perasaan senang bercampur rasa haru dan sukur menggelayut di benak saya. Bagaimana tidak, karena saya bisa menginjakan kaki di sebuah mahakarya tuhan yang luar biasa ini. Tak henti – hentinya saya mengucap rasa sukur bisa mengunjungi tempat yang sudah lama saya impikan ini. Matahari mulai meninggi, beberapa wisatawan mulai turun dan meninggalkan tempat ini, sementara saya dan hendra masih betah berlama – lama di sini. Berbagai sudut keindahan danau sudah saya potret tapi tetap saja rasanya tak puas, ingin rasanya tetap di sini sampai matahari terbenam, namun apa boleh buat siang ini kami harus ke Ende dan keadaan di sini pun tidak memungkinkan, karena jika sudah siang akan turun kabut dan menutup permukaan danau. Dengan rasa sedikit tak rela, saya mulai turun meninggalkan puncak, warna Danau Tiwu Ata Polo yang tadi subuh tak terlihat, kini nampak begitu indah dengan warnanya yang menarik. Sesampainya di parkiran, kami langsung tancap gas kembali ke desa moni. Terimakasih tuhan untuk pagi yang begitu luar biasa ini di tempat yang begitu luas biasa juga.
![]() |
Narsis dikit ora nopo-nopo yo, hehe |
![]() |
Tiwu Ata Polo |
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !