Sekitar 50 tahun lalu suatu negeri pulau kecil mulai diembargo oleh negeri terkaya di dunia yang hanya berbatas laut dengannya. Negeri pulau kecil ini adalah Cuba dan yang memimpin embargo adalah salah satu tetangga terdekatnya yaitu Amerika Serikat.
Setelah hampir setengah abad negeri yang diembargo itu hidup dalam segala keterbatasan, kini negeri yang memimpin embargo itu dan juga negeri-negeri lain mulai berbalik mengambil pelajaran darinya.
Hampir tiga dekade sejak diembargo, untuk memenuhi kebutuhan negerinya Cuba menggantungkan diri pada perdagangan bersubsidi dari negeri-negeri blok timur dibawah pimpinan USSR. Tetapi USSR sendiri runtuh pada tahun 1991, yang membuat kondisi Cuba tambah runyam.
Paska keruntuhan USSR, ekonomi Cuba ikut mengkerut sampai 35 % . Sejalan dengan pengkerutan ekonomi yang luar biasa ini, kelaparan meluas di seluruh negeri. Konsumsi rata-rata penduduk turun sekitar 1/3 nya dari rata-rata 3,052 kalori/hari sebelum keruntuhan USSR menjadi tinggal 2,099 kalori/hari pasca keruntuhan. Padahal jumlah kalori minimum agar orang tidak sampai kelaparan adalah 2,100 – 2,300 kalori/hari, maka saat itu boleh dibilang secara nasional Cuba menjadi negeri yang kelaparan.
Mengapa tiga dekade Cuba bisa survive tetapi tiba-tiba kelaparan bersamaan dengan runtuhnya USSR? Inilah pelajaran pertamanya yaitu karena Cuba terlalu bergantung pada impor – kususnya impor minyak dari USSR dan negeri-negeri blok timur lainnya. Saat itu impor minyak Cuba turun dari 14 juta ton /tahun menjadi tinggal sekitar 4 juta ton/tahun.
Dampak dari penurunan supply minyak ini, giliran listrik mati bisa mencapai 16 jam per hari. Transportasi tidak bisa berjalan, mesin-mesin produksi dan pertanian berhenti karena semua tidak mendapatkan bahan bakarnya secara cukup.
Hampir tiga dekade sejak diembargo, untuk memenuhi kebutuhan negerinya Cuba menggantungkan diri pada perdagangan bersubsidi dari negeri-negeri blok timur dibawah pimpinan USSR. Tetapi USSR sendiri runtuh pada tahun 1991, yang membuat kondisi Cuba tambah runyam.
Paska keruntuhan USSR, ekonomi Cuba ikut mengkerut sampai 35 % . Sejalan dengan pengkerutan ekonomi yang luar biasa ini, kelaparan meluas di seluruh negeri. Konsumsi rata-rata penduduk turun sekitar 1/3 nya dari rata-rata 3,052 kalori/hari sebelum keruntuhan USSR menjadi tinggal 2,099 kalori/hari pasca keruntuhan. Padahal jumlah kalori minimum agar orang tidak sampai kelaparan adalah 2,100 – 2,300 kalori/hari, maka saat itu boleh dibilang secara nasional Cuba menjadi negeri yang kelaparan.
Mengapa tiga dekade Cuba bisa survive tetapi tiba-tiba kelaparan bersamaan dengan runtuhnya USSR? Inilah pelajaran pertamanya yaitu karena Cuba terlalu bergantung pada impor – kususnya impor minyak dari USSR dan negeri-negeri blok timur lainnya. Saat itu impor minyak Cuba turun dari 14 juta ton /tahun menjadi tinggal sekitar 4 juta ton/tahun.
Dampak dari penurunan supply minyak ini, giliran listrik mati bisa mencapai 16 jam per hari. Transportasi tidak bisa berjalan, mesin-mesin produksi dan pertanian berhenti karena semua tidak mendapatkan bahan bakarnya secara cukup.
Tetapi dari sinilah pelajaran kedua muncul, yaitu janji Allah bahwa semua makhluk hidup mendapatkan jatah rezekinya (QS 11:6) – tidak terkecuali penduduk di negeri yang tidak mengenal Tuhan sekalipun seperti Cuba ini. Setelah tiga dekade bergantung pada import bersubsidi dari negeri komunis, satu dekade import dan subsidinya negeri se blok menghilang, maka satu dekade terakhir bukti bahwa rezeki tersedia cukup bagi semua makhluk itu begitu jelas nampak pada mereka.
Keterbatasan bahan bakar minyak membuat penduduk negeri itu meninggalkan mobil dan menggunakan kendaraan umum, jutaan sepeda menjadi kendaraan baru bagi masyarakat, dan kendaraan-kendaraan pejabat pemerintah menjadi tumpangan bagi rakyat yang memerlukannya.
Lebih dari itu Cuba bangkit dengan pertaniannya yang bagi negeri-negeri lain yang maju sekalipun masih berupa teori. Tidak kurang dari 80 % produk pertanian negeri itu kini organik, dihasilkan melalui apa yang disebut permaculture dan community farm.
Permaculture intinya adalah ecological design dan ecological engineering yang mengembangkan sistem pertanian yang self-sustainable meniru ekosistem di alam, untuk menopang kehidupan penghuni bumi ini secara berkelanjutan.
Ada tiga hal yang menjadi titik perhatian dari permaculture yaitu memelihara apa yang ada di alam, menjaga manusia yang tinggal di dalamnya dan menyeimbangkan populasi dengan ketersediaan konsumsi.
Kini banyak orang-orang dari negeri maju belajar dari Cuba yang tidak lagi kelaparan, tingkat konsumsi mereka telah meningkat ke angka 2,600-an kalori/hari – jauh di atas kebutuhan minimal agar orang tidak kelaparan. Bukan hanya tidak kelaparan, dengan permaculture, community farm dan bahan pangan organic-nya yang luar biasa – mereka kini memiliki variasi bahan pangan yang lebih banyak dan lebih sehat dibandingkan dengan negara-negara lain yang maju sekalipun.
Ketika bahan bakar, pupuk dan produk-produk industri tidak lagi bisa mereka peroleh, mereka kembali mengandalkan alam dan berhasil. Bisa jadi benar saran pengusaha tua dari Singapore yang pernah saya tulis di situs ini, yaitu agar Indonesia meng-embargo diri untuk bisa mandiri – karena Cuba telah membuktikannya.
Pelajaran ke tiga yang bisa diambil dari Cuba adalah ketika krisis terjadi, pemerintah dan rakyat bahu membahu mengatasinya secara bersama – seperti yang tercermin dari contoh kecil para pejabat yang mau memberi tumpangan kendaraan pada rakyat yang membutuhkannya.
Maka pada kesempatan ini saya menghimbau khususnya bagi para wakil rakyat yang suka ‘studi banding’ ke manca negara; perbanyaklah studi banding ke negeri seperti Cuba, dan kurangi studi banding ke negeri-negeri seperti Jerman, Perancis, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya.
Mengapa demikian? Negeri berkembang seperti kita ini ibarat petani dari desa. Kalau kita ke kota besar seperti Jakarta, maka kita banyak terkagum-kagum tetapi tidak banyak manfaat yang bisa kita bawa dan terapkan di desa kita. Sebaliknya bila petani dari desa ini studi banding ke petani lain yang sukses dengan karyanya, maka langsung bisa kita contoh dan terapkan di desa kita.
Belajarlah dari negeri dengan jumlah penduduknya sekitar 11 juta di areal luas lahan sekitar 110,000 km2 - yang kini mampu memberikan pendapatan per capita penduduknya di angka sekitar US$ 9,900. Bandingkan ini dengan Indonesia yang memiliki 248 juta penduduk di luas areal sekitar 1,900,000 km2, pendapatan per capita penduduknya kurang dari separuh dari Cuba yaitu di kisaran US$ 4,700. Data ini diperoleh dari CIA yang bekerja ekstra keras memelototi seluk beluk yang terjadi di dua negeri ini – untuk alasan dan sudut pandang yang berbeda !.
Dari angka-angka ini lantas saya memang tidak sampai pada taraf seperti yang disarankan oleh pengusaha Singapore tersebut di atas yaitu mendorong agar Indonesia meng-embargo diri, karena bagaimanapun perdagangan internasional akan bermanfaat bila dapat dijalankan secara adil. Namun bila kita diperlakukan secara tidak adil, ditekan sana – ditekan sini sampai-sampai kenaikan harga bahan bakar di negeri ini-pun konon karena tekanan asing, maka kita harus berani menyatakan tidak.
Kita harus berani menyatakan tidak untuk segala perlakuaan yang tidak adil dari negeri-negeri yang sok mendikte kita. Bila dampak dari sikap merdeka yang bebas dari tekanan asing ini terburuknya membuat kita diembargo sekalipun, kita tidak perlu khawatir sama sekali.
Siapa tahu kita bisa lebih sehat karena tumbuh secara ‘organik’ dan siapa tahu pula pendapatan kita malah meningkat dua kalinya dari sekarang – menyamai Cuba. Wa Allahu A’lam.
Lebih dari itu Cuba bangkit dengan pertaniannya yang bagi negeri-negeri lain yang maju sekalipun masih berupa teori. Tidak kurang dari 80 % produk pertanian negeri itu kini organik, dihasilkan melalui apa yang disebut permaculture dan community farm.
Permaculture intinya adalah ecological design dan ecological engineering yang mengembangkan sistem pertanian yang self-sustainable meniru ekosistem di alam, untuk menopang kehidupan penghuni bumi ini secara berkelanjutan.
Ada tiga hal yang menjadi titik perhatian dari permaculture yaitu memelihara apa yang ada di alam, menjaga manusia yang tinggal di dalamnya dan menyeimbangkan populasi dengan ketersediaan konsumsi.
Kini banyak orang-orang dari negeri maju belajar dari Cuba yang tidak lagi kelaparan, tingkat konsumsi mereka telah meningkat ke angka 2,600-an kalori/hari – jauh di atas kebutuhan minimal agar orang tidak kelaparan. Bukan hanya tidak kelaparan, dengan permaculture, community farm dan bahan pangan organic-nya yang luar biasa – mereka kini memiliki variasi bahan pangan yang lebih banyak dan lebih sehat dibandingkan dengan negara-negara lain yang maju sekalipun.
Ketika bahan bakar, pupuk dan produk-produk industri tidak lagi bisa mereka peroleh, mereka kembali mengandalkan alam dan berhasil. Bisa jadi benar saran pengusaha tua dari Singapore yang pernah saya tulis di situs ini, yaitu agar Indonesia meng-embargo diri untuk bisa mandiri – karena Cuba telah membuktikannya.
Pelajaran ke tiga yang bisa diambil dari Cuba adalah ketika krisis terjadi, pemerintah dan rakyat bahu membahu mengatasinya secara bersama – seperti yang tercermin dari contoh kecil para pejabat yang mau memberi tumpangan kendaraan pada rakyat yang membutuhkannya.
Maka pada kesempatan ini saya menghimbau khususnya bagi para wakil rakyat yang suka ‘studi banding’ ke manca negara; perbanyaklah studi banding ke negeri seperti Cuba, dan kurangi studi banding ke negeri-negeri seperti Jerman, Perancis, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya.
Mengapa demikian? Negeri berkembang seperti kita ini ibarat petani dari desa. Kalau kita ke kota besar seperti Jakarta, maka kita banyak terkagum-kagum tetapi tidak banyak manfaat yang bisa kita bawa dan terapkan di desa kita. Sebaliknya bila petani dari desa ini studi banding ke petani lain yang sukses dengan karyanya, maka langsung bisa kita contoh dan terapkan di desa kita.
Belajarlah dari negeri dengan jumlah penduduknya sekitar 11 juta di areal luas lahan sekitar 110,000 km2 - yang kini mampu memberikan pendapatan per capita penduduknya di angka sekitar US$ 9,900. Bandingkan ini dengan Indonesia yang memiliki 248 juta penduduk di luas areal sekitar 1,900,000 km2, pendapatan per capita penduduknya kurang dari separuh dari Cuba yaitu di kisaran US$ 4,700. Data ini diperoleh dari CIA yang bekerja ekstra keras memelototi seluk beluk yang terjadi di dua negeri ini – untuk alasan dan sudut pandang yang berbeda !.
Dari angka-angka ini lantas saya memang tidak sampai pada taraf seperti yang disarankan oleh pengusaha Singapore tersebut di atas yaitu mendorong agar Indonesia meng-embargo diri, karena bagaimanapun perdagangan internasional akan bermanfaat bila dapat dijalankan secara adil. Namun bila kita diperlakukan secara tidak adil, ditekan sana – ditekan sini sampai-sampai kenaikan harga bahan bakar di negeri ini-pun konon karena tekanan asing, maka kita harus berani menyatakan tidak.
Kita harus berani menyatakan tidak untuk segala perlakuaan yang tidak adil dari negeri-negeri yang sok mendikte kita. Bila dampak dari sikap merdeka yang bebas dari tekanan asing ini terburuknya membuat kita diembargo sekalipun, kita tidak perlu khawatir sama sekali.
Siapa tahu kita bisa lebih sehat karena tumbuh secara ‘organik’ dan siapa tahu pula pendapatan kita malah meningkat dua kalinya dari sekarang – menyamai Cuba. Wa Allahu A’lam.
Oleh: Muhaimin Iqbal
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar, kolumnis di hidayatullah.com
hidayatullah.com.