Soekarno sudah kuliah di Bandung pada hari ketika tentara Belanda menggedor rumah mertuanya di sebuah tengah malam buta medio September 1921, dan lalu menggiringnya ke dalam tahanan di bawah todongan bayonet. Ia waktu itu juga sudah membawa serta Siti Oetari, isterinya, anak pertama Tjokroaminoto, untuk tinggal bersamanya di rumah kos Haji Sanusi. Di rumah itu, Soekarno dan Oetari tidur di kamar terpisah. Menurut pengakuannya, ia memang lebih menganggap Oetari sebagai adik ketimbang isterinya. Itu sebabnya, seturut pengakuannya kepada Inggit Garnasih, isteri Haji Sanusi yang kemudian diperisterinya, ia belum pernah “menyentuh” gadis itu.
Soekarno sudah menduga bahwa cepat atau lambat Tjokro akan ditangkap Belanda. Namun tak urung, surat pemberitahuan yang mengabarkan penangkapan itu membuatnya terkejut juga.
Fragmen penangkapan Tjokro dan keputusan yang diambil Soekarno kemudian selalu berhasil membuat mata saya nanar. Soekarno sangat menghormati Tjokroaminoto, sama seperti halnya Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota itu juga sangat menyayangi anak didiknya itu.
Keluarga Tjokro saat itu memang sedang banyak dibelit persoalan, terutama keuangan. Dan lebih dari sekadar menantu, sebagai orang yang sedari awal memposisikan diri sebagai murid sekaligus anak pertama dari keluarga Tjokroaminoto, Soekarno merasa harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada keluarga tersebut.
Ia segera menitipkan Oetari, yang waktu itu juga bersekolah di Bandung, kepada induk semangnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya hingga batas waktu yang tak ditentukan, bahkan dengan kemungkinan tak akan bisa menyelesaikan studinya, hanya untuk mengurusi keluarga Tjokro di Surabaya.
Oetari memang harus ditinggalkannya di Bandung, karena gadis itu belum cukup dewasa untuk bisa membantu keluarganya. Membawanya serta hanya akan menambah beban saja.
Bagi Soekarno, membantu keluarga Tjokro adalah tanggung jawabnya, sekaligus bentuk dari praktik gotong royong yang juga diajarkan oleh gurunya itu. Sehingga, meskipun Tjokro dan keluarganya tidak memintanya, dan meskipun ia sendiri ditahan oleh Haji Sanusi dan kawan-kawannya untuk fokus saja menyelesaikan kuliah, Soekarno memilih untuk kembali ke Surabaya.
“Saya harus berbakti kepada orang yang saya puja,” ujarnya tegas. Duh…
Saat bertolak ke Surabaya, tak lupa ia membawa serta semua bukunya. Memang tak ada yang tahu hingga kapan ia harus berada di Surabaya. Bisa sebentar, bisa juga selama-lamanya. Di kota itu, untuk menopang kehidupan keluarga Tjokro, Soekarno muda kemudian bekerja di kantor jawatan kereta api.
Fragmen itu menunjukkan betapa dalamnya hubungan antara Soekarno dengan Tjokroaminoto. Dan Soekarno memang pantas memberikan penghormatan tersebut kepada Tjokro.
Pada 1919, ketika hujan abu vulkanik yang dahsyat sedang mengepung Blitar, Tjokro mengendarai mobilnya seorang diri dari Surabaya ke Blitar. Ia benar-benar mengabaikan keselamatannya sendiri dengan menerjang bencana, hanya untuk memastikan bahwa salah satu murid kesayangannya, yang juga anak semangnya, selamat dari bencana hari itu. Dan murid kesayangan itu tak lain adalah Soekarno. Begitu juga ketika Soekarno meneruskan kuliah di Bandung, adalah Tjokro yang meminta Haji Sanusi, seorang anggota Sarekat Islam, untuk mencarikan pondokan dan membantu Soekarno.
Setiap kali mengingat Tjokroaminoto, saya selalu teringat terhadap fragmen penghormatan Soekarno itu. Tjokro adalah seorang guru bangsa, dimana anak-anak bangsa kita yang cemerlang pada kuartal pertama abad ke-20, seperti Semaoen, Darsono, Moeso, Soekarno, Kartosuwirjo, serta Abikoesno, pernah belajar kepadanya.
Sebuah surat kesaksian yang ditulis oleh W. Wondoamisoeno tahun 1951 ini, yang merupakan saksi dekat keseharian Tjokroaminoto, mungkin bisa memberikan gambaran bagaimana sosok Guru Bangsa tersebut.
“Memang sesungguhnja sampai sekarang djuga belum ada di Indonesia seorang pemimpin jang pandai bitjara dan berkaliber besar seperti Ketua Tjokroaminoto.
Kalau orang mengatakan Bung Karno pandai bitjara, betul djuga, dan saja akui kepandaiannja berpidato. Tetapi belum seperti Tjokroaminoto.
Ketua Tjokro kalau bitjara tidak banjak agitasi. Bitjaranja lempang, lurus, tegas dan djitu. Alasan-alasannja mengandung dalil-dalil jang haq, sehingga sukar dibantah. Ketjuali daripada itu bitjaranja mengandung semangat perbawa yang menjala-njala. Mereka jang mendengar selalu terbakar hatinja. Pihak musuh tunduk, karena tepat dan benar. Apalagi kalau marah, tak ada seorangpun jang kuat menahan tantangannja. Semua diam, tak ada berkutik, badan gemetar, hati takut. Itulah jang saja katakan mengandung perbawa, jang artinja sakti. Seorang pemimpin jang berkarakter, berbudi luhur.
Demikianlah kalau berhadapan dengan pihak lawan, nampak mukanja seperti singa dengan mata kanannja tak berhentinja berkedjapan, tegak dan tertib segala gerak-geriknja, origineel, bukan bikin-bikinan.
Tetapi sebaliknja kalau berhadapan dengan kaum Kromo dan kawan-kawan sendiri, bukan main manisnja segala kata-kata dan tingkah lakunja jang ramah tamah. Semua orang senang dan ingin mendapat fatwanja. Laki-laki, perempuan, tua-muda, sama-sama tjinta lahir batin kepadanja sebagai orang tuanja sendiri atau dipandang sebagai guru besar, ditaati segala kata-katanja.”
Demikianlah.
Hari Kamis, 9 April 2015 kemarin, bersama beberapa kawan, saya menonton film “Guru Bangsa” yang dibesut Garin Nugroho. Sesuai tebakan kami, tak banyak yang menonton film itu di hari pertama pemutarannya. Bioskop tampak lengang, meskipun kami menontonnya di pusat keramaian Yogya.
Saya duduk menonton benar-benar untuk menikmati film tentang Tjokro itu. Ya, memang benar-benar untuk menikmati, tanpa tendensi apapun, sehingga sayapun tak akan berbagi catatan mengenai apa dan bagaimana film itu di sini.
Tjokro adalah orang besar yang karya-karyanya tak lagi mudah dijangkau oleh generasi terkini. Kecuali buku “Islam dan Socialisme” (1924), banyak dari kita tak lagi mengenal karangan-karangan Tjokro yang lain, padahal ia adalah salah satu pengarang yang produktif.
Selepas menonton film itu, saya benar-benar tak bisa membayangkan, jika banyak orang demikian enggan mencari tahu dan menonton film tentang Tjokro, bagaimana membayangkan akan ada orang yang tertarik dan mencoba menelusuri karya-karyanya?! Ah, barangkali itu tautologi yang keliru.
Jadi, Anak Muda, sudahkah engkau mengantri tiket film “Fast and Furious 7”?!
Post a Comment Blogger Facebook