GuidePedia

0
Melalui paper A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia itulah Om Ben memulai kampanyenya yang tiada henti perihal amnesia masa silam...

Benedict Anderson ko'it kemarin. Beberapa hari sebelumnya, dalam baku omong dengan sejarawan Andi Achdian, lempeng saja ia nyap-nyap: "Saya sendiri hampir 80 tahun dan sebentar lagi mampus."

Sudah banyak seratan mengenai karya-karya Om Ben, baik yang berbaju obituari maupun yang dibikin jauh sebelum clegukan penghabisan pada malam hari yang anyep di Malang itu. Dalam percobaan kali ini, beta coba ringkas ulang beberapa biji urusan yang dibikin Om Ben dalam usahanya memahami Indonesia.

Hanya beberapa, lebih persisnya: tiga bidji doang!

Indonesia itu barang anyar, bukan warisan Homo Erectus van Sangiran

Imagined Community, buku yang bikin Om Ben jadi pesohor di kolong langit ilmu sosial, dengan gamblang menjelaskan bangsa bukan meteor yang dilempar Jagat Dewa Batara dari singgasananya yang tentrem di Kahyangan.

Bangsa, tak terkecuali Indonesia, bukan warisan para moyang yang dulu melata di lembah Bengawan Solo atau merangkak di goa-goa Flores sono. Tidak juga berasal dari 5 ribu tahun silam yang embuh dengan sempoa macam apa dulu Muhammad Yamin menghitungnya. Konsep mengenai bangsa atau nasion adalah bikinan yang umurnya paling banter baru dua ratusan tahun.

Untuk kasus di mari, Indonesia bahkan baru ditemukan sekitar seratus tahun lalu, kira-kira pada awal abad-20. Itu pun rentan dan kagak sekuat botol plastik Teh Pucuk yang baru akan terurai oleh tanah antara 500 s.d 1000 tahun.

Karena, menurut Om Ben, bangsa adalah hasil imajinasi para anggotanya, warga bangsa, yang tidak seluruhnya saling kenal, bertemu dan bertatap muka. Kendati demikian, di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah imajinasi tentang kebersamaan.

Imajinasi itu ditatah berkat teknologi mesin cetak yang memungkinkan peredaran tulisan-tulisan yang, bukan hanya memasarkan bahasa yang akhirnya menjadi bahasa nasional, memunculkan titik-titik persamaan yang dari sanalah imajinasi tentang kebersamaan itu muncul di kepala orang-orang yang tak saling kenal itu. Rasa hayat sebagai sebuah bangsa pun tersemai.

Dua hal itu, bangsa sebagai temuan baru dan produk imajinasi yang sebenarnya rentan, mestinya bikin kita awas. Sebagai temuan yang belum bangkotan amat, setidaknya masih ABG ketimbang Inggris atau Amrikiya, tak perlulah sampai senewen dan sinting beneran memuja negara-bangsa.

Ngotot boleh, loh, ya, apalagi kalau dalam pertandingan bola melawan Malaysia. Tapi ya jangan sampai sinting beneran sampai tega betul menyembelih saudara sendiri macam yang pernah dibikin Orde Ba(r)u di Aceh, Timor Timur, dan Papua.

Umpama kelakuan brutal ala Amangkurat I yang dengan selownya menjagal ribuan ulama, yang diulang dengan bedil oleh Soeharto, dipraktikkan lagi kelak di kemudian hari, ya jangan sewot dong kalau orang-orang di berbagai daerah pada brontak lagi.

Malu dikitlah pada penjajah yang dimaki-maki sebagai bar-bar, yang doyan exploitation de l'homme par l'homme, namun kelakuan sama dipraktikkan seraya menepuk-nepuk dada atas nama nasionalisme.

Kelakuan brengsek macam itu cuma akan membuat imajinasi rakyat yang ditindas terhadap Indonesia menjadi kacau berantakan. Alih-alih merasa bangga, yang ada malah mual, muak, muntah, dan pengen boker tiap kali mendengar Indonesia Raya dinyanyikan.

Indonesia juga bukan agama, misalnya Islam yang sudah berumur lebih dari satu milenium, yang dari sonolah 12 turunan leluhur kita sudah ber-KTP NKRI. Sukarno dan Hatta bukan Muhammad atawa Isa maupun Sidharta apalagi Musa. Dan UUD atau Pancasila juga bukan ayat yang ditiupkan dari langit ketujuh.

Biasa sajalah - dalam arti: kowe-kowe semua bisa berperan yang sama haibatnya dengan Sukarno dan Hatta dalam urusan ke-Indonesia-an. Mungkin bukan dalam urusan menciptakan Indonesia, karena proses awal itu sudah jadi sejarah, melainkan dalam mengisinya dengan sebaik-baiknya, dengan semampu dan sesanggup-sanggupnya.

Di situlah pentingnya rasa malu. "Mustahil menjadi nasionalis yang sebenarnya tanpa pernah merasa malu," kata Om Ben. Ben hendak mengatakan bahwa keganasan nasionalisme, yang dalam sejarah dunia sudah meminta tumbal banyak sekali, bisa dijinakkan melalui rasa malu.

Bukan rasa malunya yang penting, namun menyadari bahwa negara--dengan segenap aparatus ideologi dan birokrasinya--juga sering melakukan hal brengsek: dari mulai tindakan opresif demi mempertahankan persatuan dan kesatuan hingga korupsi yang membikin rakyatnya menderita.

Kowe sudi gitu ngotot dan pertaruhkan biji yang cuma dua demi nasionalisme, sementara papa-papa di Senayan sana pada indehoy arisan saham perusahaan yang puluhan tahun mengeruk isi perut bumi Papua, sementara warga setempatnya kelaparan dan dipaksa ngurusin limbah serta dipaksa menonton hutan dan gunungnya dipermak jadi liang-liang raksasa?

Karena imajinatif itulah, sudah barang tentu, mustahil imajinasi tentang Indonesia akan sama bentuk dan penghayatannya antara orang Bandung, Aceh, Batam, Bali, Ambon dan Manokrawi. Imajinasi tentang Indonesia di tempat yang satu dengan yang lain, yang dipisahkan laut dan dipertajam oleh perbedaan sejarah, peradatan, agama dan bahasa, juga ketimpangan ekonomi, niscaya mengandung selisih, dan karenanya tidak akan pernah bulat 100%.

Memaksakan imajinasi tentang Indonesia agar bulat 100% cuma akan membikin katong samua terobsesi pada sesuatu yang musykil. Sebab obsesi terhadap Indonesia yang rapi, mulus, dan utuh hanya mungkin dilihat pada pasukan rumah-rumah adat yang baris berbaris di Taman Mini.

Menyadari itu bisa bikin membuat kita lolos dari obsesi menambal segala keretakan dalam imajinasi tentang Indonesia melalui operasi plastik yang mengerahkan rupa-rupa "alat bedah" yang pasti tajam dan bikin nyeri, macam sangkur dan senapan.

Indonesia, menjadi jelas, bukanlah "kata benda" melainkan "kata kerja": ia proyek yang belum sudah, proyek yang harus mesti tetap dikerjakan, terus-menerus, itu pun jika ingin Indonesia masih ada di tahun-tahun mendatang. Di antara tegangan antara Indonesia sebagai "kata kerja" dan "kata benda", imajinasi (juga proyek sejarah) bernama Indonesia harus terus dirawat dan dikerjakan sembari mengimbuhinya dengan sebuah kata yang luar biasa indah: keadilan.

Hanya dengan keadilan maka menjadi Indonesia bukanlah sebuah kesia-siaan.

Ben Anderson (2001)© Rully Kesuma /Tempo

Jangan mau dibikin pikun sejarah!

Situ mungkin sudah bosan membaca debat kusir soal peristiwa 1 Oktober 1965. Tapi pada tahun-tahun pertama, sangat sedikit orang yang mencoba membantah klaim genk Soeharto bahwa PKI-lah yang total-setotal-totalnya mesti bertanggungjawab.

Pada Januari 1966, tak sampai setengah tahun dari peristiwa, Om Ben dan Ruth McVey menerbitkan paper berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia. Paper itu meragukan klaim Soeharto dan bahkan mengajukan teori bahwa PKI atau Sukarno tidak terlibat dalam penculikan dan pembantaian para perwira tinggi Angkatan Darat di Lubang Buaya.

Mereka mencoba menjelaskan bahwa kudeta itu tak lain dari masalah internal tentara yang tujuannya menggeser perwira-perwira tinggi.

Paper itu penting, mula-mula, bukan karena teori yang dipaparkannya. Di tahun-tahun berikutnya, apalagi pasca 1998, sudah sangat banyak teks yang mencoba mendiskusikan dengan lebih detail, jadi bukan sekadar preliminary, peristiwa 1 Oktober 1965. Paper itu penting betul karena menjadi trompet yang sejak dini memberi peringatan: "Inga'! Inga'! Bahaya laten propaganda."

Peristiwa 1 Oktober 1965 terbukti menjadi pondasi utama tegaknya Orde Ba(r)u. Propaganda tentang kekejian PKI dan Gerwani di Lubang Buaya disebarluaskan secara massif, dengan duit nyaris tak terbatas, dengan segala perkakas yang dimungkinkan, untuk membabat alas demi berdirinya tahta Soeharto.

Propaganda itu akhirnya bukan hanya untuk menjatuhkan Sukarno dan menghabisi PKI, namun dipakai untuk menggebuki semua orang, siapa pun itu, yang dianggap mengganggu stabilitas negara - yang berarti stabilitas Soeharto.

Buku-buku sejarah menjadi dongeng hitam yang mengerikan kalau sudah bicara PKI. Dusta pun halal. Foto-foto eksekusi orang PKI dalam peristiwa Madiun 1948, dalam buku pelajaran sejarah justru dipampangkan dengan narasi: inilah korban PKI. Meneer Harry Poeze berhasil membuktikan bahwa foto itu justru adalah foto eksekusi orang-orang PKI, bukan sebaliknya.

Bahwa PKI ada juga melakukan pembunuhan di Madiun, itu betul. Namun jelas ngawur kalau pelajaran sejarah justru diisi dengan data yang keliru, yang sengaja dikelirukan, dan sialnya itu kekeliruan yang berdampak serius bagi ingatan kolektif bangsa ini, dan bukan sekadar kekeliruan iseng-iseng usil ABG SMP yang ngumpetin softex teman ceweknya.

Berdasarkan laporan visum et repertum yang otentik terhadap jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat pula, Om Ben pada 1987 bisa membuktikan bahwa soal silet menyilet atau cungkil mencungkil di Lubang Buaya itu cuma apus-apusan doang. Visum itu dilakukan oleh lima orang, baik itu ahli dari militer maupun sipil, dua di antaranya adalah Brigjen Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Soetomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK-UI).

Laporan visum membuktikan, tidak ada bekas sayatan di tubuh para jenderal. Tidak ada peler yang disilet maupun biji yang disodet-sodet atau biji mata yang dicungkil-cungkil. Propaganda tentang silet-menyilet inilah yang membangunkan emosi ribuan orang untuk melakukan aksi pembalasan yang berakhir dengan pembantaian ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI. Aksi yang dirancang tentara dan disponsori Amrikiya.

Juga tidak terbukti kalau mbakyu, teteh atau nona maupun mama dan simbok Gerwani, pada dini hari 1 Oktober 1965 itu, dengan penuh syahwat bikin pesta pora perkenthuan massal, njoget ngibing telenji, goal-geol pamer jembut sekalian bawuk di depan para kamerad, apalagi sampai nyepong para jenderal. Kagak ada itu pejuh yang muncrat di Lubang Buaya, yang tumpah adalah darah enam perwira tinggi Angkatan Darat yang diculik.

Propaganda soal Gerwani yang binal, tak ubahnya lonthe-lonthe, atau tante girang jika sudah berlaki, yang menjadi justifikasi yang membuat ribuan anggota Gerwani ditangkap, dipenjara, dan banyak di antaranya diperkosa atau dipaksa menjadi pelayan yang harus selalu lapan anam ngangkang kapan pun para aparat - entah itu soldadu maupun penjaga di penjara-- sedang ngaceng.

Melalui paper A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia itulah Om Ben memulai kampanyenya yang tiada henti perihal amnesia masa silam, pikun masa lalu, dan busung sejarah yang diidap bangsa Indonesia, yang untuk sebagian terbesar bisa diarahkan biang keladinya kepada mesin propaganda Orde Ba(r)u yang canggih, kompleks, dan berkelanjutan sampai hari ini.

Beta tidak berkaok-kaok bahwa Om Ben satu-satunya orang yang peduli dengan isu ini. Banyak sekali orang yang peduli, apalagi hari gini, namun bisalah dibilang kalau Om Ben salah seorang yang paling awal sudah mendeteksi proyek mesum amnesia sejarah yang sedang disiapkan oleh rezim militer pimpinan Babe Pembangunan itu.


Benedict (Ben) Anderson (kiri) bersama Pramoedya Ananta Toer dalam acara diskusi nasionalisme kini dan esok memperingati HUT TEMPO ke-28, di Flores Room Hotel Borobudur, Jakarta (4/3/1999)© Rully Kesuma /Tempo

Bahaya laten EYD dan doktrin kesopanan berbahasa

Barang sebentar setelah membaca esai Om Ben di Majalah Tempo, kalau tidak salah di edisi Desember 2001, yang sepenuhnya ditulis dalam Edjaan Soewandi, beta bikin riset kecil-kecilan melibatkan hanya tiga responden yang semuanya konco dhewek. Beta minta konco-konco itu membaca dua versi novelet "Soerabaija" karya Idroes, versi pertama yang berasal edjaan Soewandi dan satunya lagi versi Ejaan yang Disempurnakan (EYD).

Hasilnya kira-kira begini: (1) versi pertama dibaca sangat lambat, kalau beta tidak salah ingat, butuh waktu dua kali lipat dari waktu membaca versi kedua dan (2) salah seorang konco bahkan tak tahan membaca sampai kelar. Semuanya mengeluhkan kesulitan membaca teks lama. Harus sabar, kadang bahkan mesti seperti mengeja.

Dalam esai yang pasti menjengkelkan Beringin Fanaticus Erectus, Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant, Om Ben mengatakan bahwa motif sebenarnya dari peresmian EYD pada 1972-1973 adalah untuk memisahkan dengan jelas fase Orde Ba(r)u dengan yang sebelumnya, termasuk membedakan jelas bacaan-bacaannya. Juga untuk menandai mana bacaan modern dan mana bacaan yang merupakan sisa-sisa dan remah-remah Sukarnoisme, zaman revolusi atau masa kolonial. Teks-teks lama dicurigai karena tidak steril ideologi pembangunanisme dan anak-anak muda kemudian dengan gampang diyakinkan bahwa teks-teks lama itu butut, kapiran, nggak asyik, dan cuma bikin repot doang.

Melalui praktik itulah sejarah hanya bisa diakses melalui buku-buku pelajaran yang ditulis dalam EYD, dan dengan demikian isinya pasti sudah terkendali karena sudah lolos preksa dari virus-virus zaman baheula yang berbahaya. Kata Om Ben, kata "revolusi" pelan-pelan digantikan oleh "perang kemerdekaan" dengan para soldadu sebagai hero(in) bagi bangsa.

Sementara pemberontakan PKI yang berani, namun nekat, terhadap penjajah Belanda pada 1926-1927, malah dimasukkan sebagai bukti bahwa PKI memang birahinya brontak melulu dan bikin kacau doang - yang ujung-ujungnya untuk memperkuat kesundalan PKI pada peristiwa 1965.

Mungkin karena itulah Om Ben setengah mampus, hampir setengah abad, cari tahu siapa penulis Tjamboek Berdoeri. Butuh waktu hampir 40 tahun baginya untuk ngeh bahwa Tjamboek Berdoeri adalah Kwee Thiam Tjin. Dengan penuh semangat, dalam berbagai madah, Om Ben memujikan Kwee Thiam Tjin sebagai prosais terbesar Indonesia di abad -20, setara dengan Pramoedya.

Beta belum sepakat betul soal Kwee Thiam Tjin ini. Namun beta setuju nian jikalau membaca teks-teks penting dari zaman revolusi itu, yang sebagian ditulis dalam Edjaan van Ophuisen dan sebagian dalam Soewandi, memang asyik. Membaca prosa-prosa Idroes, atau prosa-prosa Pramoedya yang ditulis pada 10 tahun pertama kemerdekaan, juga laporan-laporan jurnalistik Mas Marco, itu memperkaya rasa bahasa.

Rasanya segar, seperti keluar dari kepengapan berbahasa yang ngebekep sekian lama. Ada kata-kata aneh yang meloncat seperti molotov, frase-frase yang bikin kaget, dan keterus-terangan yang belum sempat dibikin busuk oleh baksil eufemisme.

Butuh riset yang lebih serius, mungkin, untuk membuktikan hipotesis Om Ben kalau EYD telah membikin anak-anak muda menjadi malas membaca teks-teks lama, dan dengan demikian membaca sejarah bangsa dalam dokumen aslinya, yang berdampak pada amnesia sejarah.

Namun, gampang dibuktikan, sebagaimana sudah beta sebutkan di atas, EYD memang membikin banyak orang harus bekerja keras untuk membaca teks-teks lama. Padahal untuk membaca semangat zaman, nyeruput logika berbahasanya, merasai gelora dan percikan apinya, hanya bisa dicecap dengan syadap jika dibaca dalam versi aslinya, bukan dengan membaca versi EYD.

Namun, yang lebih gampang lagi dibuktikan, EYD kemudian memuluskan jalan bagi birokratisasi bahasa yang membikin bahasa Indonesia rasanya kelewat disibukkan dengan tata bahasa - semacam bersitungkin ngurusi "di" sebagai kata depan ataukah sebagai awalan.

Jika membaca uraian-uraian para munsyi tata bahasa, dan kepingin mempraktikkannya dengan sepenuh jiwa, beta merasa sendiri sebagai perkara sulit dan pelik. Ada aja salahnya. Borok kok, ya, kayak ada di tiap kalimat.

Tata bahasa memang penting, namun bisa bikin tepar keasyik-masyukan dalam berbahasa. Bahasa Indonesia, yang akarnya berasal dari Melayu-Pasar yang dinamis dan sepong sana-sini berbagai pengaruh bahasa asing, ujug-ujug jadi fundamentalis yang kaku di tangan para arkeolog bahasa yang terobsesi mengorek-ngorek khasanah lama untuk mencari padanan bagi kata-kata asing yang kadung populer.

Beta bisa mengerti kalau usaha itu lahir untuk merawat bahasa Indonesia agar tidak makin banyak kosa kata yang ko'it di tangan perkembangan zaman. Namun, jika obsesif, itu lain perkara: bahasa Indonesia justru akan menjadi ko'it karena tak lagi dinamis sebagaimana di awal pertumbuhannya yang masih orok.

Dalam esai obituari untuk Soeharto itu, Om Ben ada ngomong soal bahasa Indonesia yang dibekep pengaruh EYD sebagai "membosankennja bukan kepalang, kaku, tanpa mutu apalagi bersipat dusta en pura2".

Aspek terakhir itu, "dusta en pura2", hampir jelas merujuk kelakuan penghalusan bahasa, alias eufemisme, yang dalam praktik politik bahasa sering dipakai untuk memalsukan kenyataan dan meninabobokan orang-orang. Frase "kekurangan pangan" sebagai pengganti "kelaparan", "penyesuaian tarif" sebagai pengganti "kenaikan harga", "masyarakat pra-sejahtera" sebagai pengganti "rakyat miskin".

Belum lagi penjinakan kata yang dianggap berbahaya, seperti "buruh" diganti "karyawan" dan/atau "tenaga kerja". Pancaran api pergerakan yang dikandung kata "buruh" membuat nomenklatur institusi pun berubah dari "Menteri Perburuhan" di masa awal kemerdekaan hingga era Sukarno menjadi "Menteri Tenaga Kerja", misalnya.

Bahasa yang dipaksa sopan en santun inilah yang bisa bikin para juru bicara EYD, yang belakangan sibuk betul mengorek-ngorek khasanah kosa kata arkais untuk menandingi bersiroboknya kata-kata asing, akan sungkan menulis kata "peler" sebagai padanan "penis". Apalagi menuliskan kata "itil" sebagai padanan "clitoris".

zen rs

Esais, pendiri dan penyunting di panditfootball.com


Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top