Sejauh manakah personel Kepolisian di lapangan (atau di depan layar komputer) bisa membedakan antara hate speech, offensive speech, dan critical speech? Pertanyaan ini muncul setelah surat edaran mengenai ujaran kebencian diterbitkan. Meski ditujukan untuk melindungi masyarakat dari hasutan-hasutan untuk melakukan tindak kekerasan, muncul kekhawatiran bahwa aturan ini sangat mudah untuk dipolitisir bagi kepentingan kelompok tertentu. Derry Sumongko, seorang buron kasus korupsi, bahkan meminta pihak Kepolisian untuk menahan orang-orang yang gemar menghina para koruptor karena dapat dianggap sebagai hate speech. (photo/image courtesy mixednations.com)
JAKARTA, – Surat Edaran Anti Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang diterbitkan oleh pihak Kepolisian mendapatkan dukungan yang tak terduga. Derry Sumongko, tersangka kasus korupsi Bank Mongora Indonesia yang dianggap buron, secara terbuka menyambut baik langkah itu karena bisa melindungi diri dan teman-temannya dari hujatan masyarakat terhadap label mereka sebagai koruptor.
“Ini adalah kebijakan yang sudah saya tunggu sejak lama. Selama ini, saya dan teman-teman yang terkena kasus yang sama sering sekali dihujat sebagai koruptor. Mereka bilang, ‘koruptor anj*ng!’, ‘koruptor *mpas!’, ‘koruptor dihukum mati saja!’. Setiap hari, lho. Kami pastinya merasa terhina. Jelas-jelas mereka (masyarakat) penuh kebencian, dan menghasut negara supaya membunuh kami. Melalui surat edaran itu, kami bisa bernafas dengan lega karena kami terlindung dari hal-hal sedemikian,” ujar Derry kepada Aing melalui teleconference daricasa mewah miliknya di Valdemoro, Spanyol, kemarin (1/11).
Derry menganggap bahwa ia dan rekan-rekannya masuk ke dalam golongan buronan. Berdasarkan surat edaran tersebut, penghinaan yang dilakukan antara lain terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan dapat dikenakan sanksi. Dalam poin terakhir itulah Derry menggolongkan dirinya. Apalagi, hingga saat ini ia masih belum melepas kewarganegaraan Indonesia miliknya.
“Sebagai WNI saya berhak dan wajib dilindungi. Saya dan teman-teman buron korupsi ini berhak menjadi golongan tersendiri, dan harus dilindungi oleh kepolisian dari hinaan orang-orang yang membenci kami. Kalau ada yang mengolok-olok koruptor, harus ditangkap. Banyak yang begitu di Facebook dan Twitter. Lagipula pihak kepolisian Indonesia sekarang akan lebih banyak berada di depan layar komputer mengawasi medsos dibandingkan di jalanan, jadi harusnya bisa lebih mudah dong menyelidiki pembenci kami,” tambahnya.
Secara berkelakar, Derry menganggap urusan hidupnya dengan hukum kini telah lengkap. “Saya dulu kuliah hukum sebelum menjadi bankir. Saya belajar hukum, dan jadi tersangka oleh hukum juga. Sekarang saya jadi tersangka dan sekaligus dilindungi hukum melalui surat edaran ini. Hidup saya telah lengkap. Inilah kenapa saya senang jadi orang Indonesia. Buat orang-orang seperti saya ini, hukum di Indonesia itu benar-benar menguntungkan.”
Derry ditetapkan menjadi tersangka korupsi secara in absentia pada tahun 2005 setelah usaha miliknya, Bank Mongora Indonesia, meminta penyelamatan sebesar 2 trilyun rupiah dari pemerintah. Alih-alih membenahi bank itu, Derry membawa dana tersebut ke luar negeri dan tidak kembali ke Indonesia.
Hingga kini Derry masih berada di Spanyol dan bahkan telah membangun kembali kerajaan bisnisnya di negeri Iberia itu. Ia bahkan sempat mengajukan diri untuk menjadi Jaksa Agung. Tidak diketahui seberapa besar upaya pemerintah untuk menangkap dan membawanya kembali. Namun, di sisi lain, Derry mengaku tidak mengkhawatirkan status buron yang melekat pada dirinya. Ia menuding bahwa banyak rekan yang bertindak sepertinya namun masih bebas dan tidak tersentuh hukum hingga kini.
Menanggapi pemikiran sang buron, pakar komunikasi politik dari South East Asian Institute for Free Politics (SEAIFP) Hanandoyo Wiryanto mengatakan bahwa ini merupakan akibat dari penerbitan surat edaran yang terlalu terburu-buru tanpa memikirkan lebih jauh implikasi sosial-politiknya.
“Saya rasa ada oversight dalam penyusunan surat edaran itu. Betul, bahwa kita sebagai warga negara yang majemuk sama-sama tidak menyukai hate speech, dan mendambakan adu argumentasi serta perbedaan pendapat yang santun. Harus bisa dibedakan antara hate speech dan free speech. Namun, surat edaran tersebut dapat berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak yang saling tidak menyukai. Bisakah para petugas di lapangan secara objektif membedakan antara hate speech, offensive speech, dan critical speech? Offensive dan critical speech tidak selalu didasarkan pada rasa kebencian, tapi secara subjektif seseorang yang tersinggung, bermotif politis tertentu, atau terjebak pada political correctness, bisa saja menggolongkan itu masuk menjadi hate speech,” terang Hanan saat dimintai pendapatnya di kantor SEAIFP, Jakarta, pagi ini (2/11).
Ia mengakui setuju apabila kepolisian menindak mereka yang menghasut untuk menyakiti kelompok lain atau membatasi hak orang lain sebagai warga negara, karena tindakan itu sudah masuk ke dalam provokasi yang bersifat mengancam keselamatan jiwa dan pelanggaran atas hak orang lain. Namun, pemikiran yang berbentuk olok-olok remeh seperti meme, perbedaan pemahaman, atau kritik yang tajam dalam media apapun pada dasarnya merupakan bagian dari kebebasan berpikir dan berbicara dalam demokrasi dan tidak bisa dianggap sebagai ujaran kebencian ataupun makar.
“Justru itu menunjukkan adanya kepedulian terhadap kinerja pemerintah ataupun suatu isu tertentu, dan lebih baik dibandingkan masyarakat yang apatis secara politik. Seandainya ada kelompok atau pihak pemerintah yang menjadi bahan olok-olok seperti meme dan debat kusir, itu sebenarnya tidak perlu digubris. Justru adanya reaksi yang berlebihan akan menunjukkan kelemahan dan sikap kurang kerjaan, karena kok mau-maunya menghabiskan waktu dan tenaga untuk menanggapi hal yang remeh temeh. Hate speech tidak sama dengan free speech. Tapi, jangan jadikan hate speech sebagai tameng komplain terhadap free speech,” tutup Hanan. (SMG)
Post a Comment Blogger Facebook