Maleo senkawor dikenal sebagai burung pecinta yang sangat setia pada pasangannya.
Pasangan burung maleo yang sedang menaruh telurnya di dalam pasir pantai (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)
Pulau Sulawesi memiliki harta karun yang tak ternilai harganya. Maleo senkawor (Macrocephalon maleo), burung endemik Sulawesi ini dulunya dapat ditemui hampir di seluruh wilayah Pulau Sulawesi. Namun saat ini maleo hanya bisa ditemui di beberapa wilayah saja.
Dilansir dari Kompas.com, berdasarkan catatan Birdlife International saat ini hanya tersisa 8.000 - 14.000 individu Maleo dewasa yang ada di alam. Itupun dengan kecenderungan populasi yang menurun. Tak heran jika oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN), Maleo dimasukkan dalam kategori terancam punah.
Salah satu daerah yang masih bisa dijumpai maleo bertelur adalah di nesting ground(tempat bertelur) Libuun, Desa Taima, Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Lokasi untuk bertelur ini sejak 2006 dimonitor oleh lembaga nirlaba, Alliance for Tompotika Conservation (AlTO).
Tim dari AlTO secara bahu-membahu dengan orang desa mengawasi tempat bertelur dan memastikan bahwa burung maleo dewasa bisa bertelur tanpa gangguan dan telur-telurnya tetap aman dari pengambilan. Selain itu AlTO juga memastikan agar anak maleo bisa menetas secara alami tanpa campur tangan manusia.
Pecinta yang Setia
Kisah hidup burung Maleo sangat unik. Maleo dikenal sebagai burung pecinta yang sangat setia pada pasangannya. Mereka utamanya hidup di dalam hutan asli Sulawesi, namun ketika si betina sudah siap untuk bertelur, pasangan Maleo itu berjalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya ke tempat bertelur komunal. Tempat itu biasanya terletak di pesisir pantai, atau di dekat mata air panas di dalam hutan.
Sesampainya di sana, secara bergantian sepasang Maleo akan membongkar pasir hingga berbentuk lubang besar dengan kedalaman 50-100 cm. Maleo betina kemudian akan diam di dalam lubang untuk bertelur, sementara sang jantan akan mengawasi situasi sekitar.
Setelah betina bertelur, pasangan ini kemudian akan kembali menutupi lubang tersebut, lalu membuat beberapa lubang tipuan. Lubang tipuan tersebut sengaja mereka buat untuk mengelabui predator seperti biawak dan anjing.
Kemudian, mereka pulang lagi ke hutan, sementara telur yang bobotnya setara dengan 4-5 kali bobot telur ayam itu akan tertimbun di dalam pasir bersuhu 32-35 derajat celcius selama sekitar 60 - 85 hari. Begitu menetas, anak maleo menggali selama 1-2 hari ke atas untuk mengirup udara segar di alam bebas.
Dalam proses menerobos ke atas itu, anak Maleo bisa mati karena kehabisan tenaga atau tersangkut akar pohon.
Setelah dekat dengan permukaan, anak Maleo akan berputar dengan posisi kepala berada di atas. Lalu secara perlahan-lahan dia menyembulkan dirinya ke permukaan, mengambil nafas dan mengumpulkan tenaga lalu terbang ke arah hutan untuk hidup secara mandiri tanpa bantuan induknya.
Upaya petangkaran maleo di wilayah Sulawesi Tengah (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)
Kini, lewat pendampingan masyarakat serta penyadaran akan pentingnya maleo tetap ada di habitatnya, populasi maleo yang sempat turun sangat dratis sebelum AlTO datang kini sudah menunjukkan peningkatan populasi yang sangat siginifikan.
Tanpa kerjasama pihak-pihak konservasi dengan masyarakat sekitar maka si burung cantik dari Sulawesi ini suatu saat tentu benar-benar hanya tinggal kisah.
(Lutfi Fauziah/Sumber: Kompas.com, National Geographic Indonesia)
Post a Comment Blogger Facebook