Jakarta - Prasasti Sangguran semestinya masih tetap berdiri di Desa Sangguran yang kini berganti nama menjadi Dusun Kajang, Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, sekitar lima kilometer dari Kota Batu, Jawa Timur. Prasasti yang dibuat atas perintah Raja Mataram, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga, pada 850 saka atau 928 masehi, itu berisi: penetapan Desa Sangguran sebagai sima atau daerah perdikan. Prasasti itu juga mengaskan, bahwa siapa saja yang mencabut atau memindahkan tanda tapal batas desa ini akan mendapat kutukan.
Kutukan yang tertulis pada baris ke-28 sampai ke-39 di bagianverso (belakang) Prasasti Sangguran itu berbunyi:
"Demikin pula jika ada orang yang mencabut sang hyang watu sima, maka ia akan terkena karmanya, bunuhlah ia olehmuHyang, ia harus dibunuh, agar tidak dapat kembali di belakang, agar tidak dapat melihat ke samping, dibenturkan dari depan, dari sisi kiri, pangkas mulutnya, belah kepalanya, sobek perutnya, renggut ususnya, keluarkan jeroanya, keduk hatiny, makan dagingnya, minum darahnya, lalu laksanakan (dan) akhirnya habiskanlah jiwanya. Jika berjalan ke hutan akan dimakan harimau, akan dipatuk ular, (akan) diputar-putarkan oleh Dewamanyu, jika berjalan di tegalan akan disambar petir, disobek-sobek oleh raksasa, dimakan oleh Wunggal/wuil.
Dengarkanlah olehmu para Hyang, (hyang) Kusika, Garga, Metri, Kurusya, Patanjala, penjaga mata angin di utara, penjaga mata angin di selatan, penjaga mata angin di barat dan timur, lemparkan ke angkasa, cabik-cabik sampai hancur oleh hyang semua, jatuhkan ke samudera luas, tenggelamkan di bendungan, tangkap oleh sang Kalamtryu (?), cabik-cabik oleh tangiran, (dan) disambar buaya. Begitulah matinya orang yang jahat, melebur (kedudukan) desa perdikan di Sangguran. Malapetaka dari dewatagrasta .... pulangkan ke neraka, dan jatuhkan di neraka maharorawa. digodog oleh pasukan Yama, dipukuli olehsang Kingkara. Tujuh kali akan dirusak oleh arca ..... (bapaknya) sangLara Sajiwakala. Setiap jenis kejahatan hasilnya adalah penderitaan, Jika dilahirkan kembali (akan menjadi) hilang pikirannya. Begitulah nasibnya orang yang merusak sima di Sangguran.
Nyatanya, sudah lebih dari 200 tahun, Prasasti itu berada di halaman belakang rumah keluarga Lord Minto VII, Gilbert Timothy George Lariston Elliot-Murray-Kynynmound di Hawick, Roxburghshire, Skotlandia, lebih dari 12 ribu kilometer dari tempat semestinya. Apalagi kondisinya kini sangat memprihatinkan. Permukaan balok batu berukuran tinggi 160 sentimeter, lebar 122 sentimeter, dan tebal 32,5 sentimeter, itu tertutup lumut dan mengalami pelapukan karena harus menghadapi cuaca ekstrem Skotlandia tanpa pelindung dan perawatan dari profesional sama sekali.
Sejak Lord Minto I yang menjabat Gubernur Jenderal India memilikinya, Prasasti Sangguran dikenal juga dengan nama Batu Minto. Lord Minto I yang bernama lengkap Sir Gilbert Elliot Murray-Kynynmound mendapatkannya sebagai hadiah dari Letnan Gubernur Jenderal Jawa Sir Thomas Stamford Raffles. Pada Juni 1813, Kapal Matilda yang membawa Batu Minto dari Surabaya, lego jangkar di Pelabuhan Kolkata, India. Lord Minto sangat senang, seperti terungkap dari suratnya kepada Raffles yang menyebut Batu Minto pesaing dari alas patung Peter Yang Agung di St. Petersburg, Rusia. Dia ingin menempatkan batu Jawa itu di puncak bukit Minto Craigs di sebelah utara Sungai Tevoit.
Meski keinginan membawanya ke Skotlandia tercapai, Lord Minto tidak pernah melihat lagi Batu Minto. Enam bulan setelah menerima batu itu, Lord Minto dicopot dari jabatannya sebagai Gubernur Jenderal, tanpa diketahui sebab-musababnya. Dia pulang ke Inggris dalam keadaan tidak sehat sehingga wafat di Stevenage pada 21 Juni 1814 dalam perjalanannya menuju Skotlandia. Apakah pencopotan jabatan dan kematian Lord Minto ada kaitannya dengan kutukan tugu tapal batas Desa Sangguran itu?
Menurut Sejarawan asal Inggris Peter Carey, keluarga Lord Minto mempunyai masalah finansial. Itulah sebabnya, ketika Tim arkeolog dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata berupaya memulangkan batu Jawa itu ke Indonesia pada 2006, pihak keluarga Minto meminta kompensasi yang tinggi. Negosiasi menjadi kompleks dan rumit sehingga berakhir dengan kegagalan.
Nasib Raffles pun setali tiga uang. Setelah pemberlakuan Konvensi London, pada Agustus 1814, Raffles ditarik pulang ke Inggris dan digantikan oleh John Fendall. Meski ia kembali lagi ke Hindia Timur pada 1818 sebagai Gubernur Bengkulu, pada 1823 ia kembali dipulangkan. Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45 pada 5 Juli 1826. Sampai sekarang, posisi pasti dari makamnya di Hendon, Inggris tidak pernah bisa ditentukan.
Hal serupa juga terjadi pada Bupati Malang yang bertanggung jawab atas pemindahan tugu tapal batas Desa Sangguran itu, Kiai Tumenggung Kartanegara alias Kiai Ranggalawe. Ia diyakini mulai memerintah sekitar 1770 dan wafat pada 1820. Namun, memori penduduk terhadap Kiai Ranggalawe seperti terhapus. Terbukti bahwa situs makam sang bupati tidak pernah diketahui keberadaannya.
lanjutin di sini !
Follow @wisbenbae
Post a Comment Blogger Facebook