GuidePedia

0

Salah seorang adik Sultan, GBPH Yudhaningrat, mengatakan, perubahan nama berikut gelar Sultan Hamengku Buwono X menjadi Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh menjadi pertanda berakhirnya dinasti Hamengku Buwono yang berdiri sejak ditekennya perjanjian Giyanti. 

Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 tersebut berisi pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua bagian. 

Yakni, Mataram lama yang dipimpin Susuhunan Paku Buwono III mendapat daerah di sisi timur dan memimpin Kasunanan Surakarta. 

Separo lainnya di sisi barat menjadi wilayah Pangeran Mangkubumi yang selanjutnya bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Dia memimpin dinasti baru Hamengku Buwono dengan pusat kerajaan di Jogjakarta. 

''Kalau namanya ganti dan gelarnya berubah, ya berarti dinasti Hamengku Buwono berakhir. Bukan sampai sepuluh, tapi sembilan setengah. Sebab, sebelum ganti nama, Sultan pernah pakai nama Hamengku Buwono X,'' ungkap GBPH Yudhaningrat, Jumat (8/5). 

Gusti Yudha, panggilan GBPH Yudhaningrat, memang tidak ikut hadir dalam pertemuan antara kakaknya tersebut dengan sejumlah elemen masyarakat. Namun, pria yang sehari-hari menjabat Assekprov Administrasi Umum Setprov DIJ itu memantau melalui stasiun televisi swasta nasional yang menyiarkan acara tersebut secara langsung. 

Dia menerangkan, kakaknya itu menjadi sultan dan bergelar Hamengku Buwono melalui proses panjang. Sebelum menggantikan ayahnya, mendiang HB IX, Sultan lahir dengan nama kecil Bendoro Raden Mas (BRM) Herdjuno Darpito. Setelah dewasa, namanya menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi. 

Berdasar musyawarah keluarga HB IX, Mangkubumi ditetapkan sebagai putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram. 

Penobatan dilakukan empat menit sebelum dikukuhkan sebagai Sultan Hamengku Buwono X di bangsal Manguntur Tangkil Sitihinggil Keraton Jogja, 7 Maret 1989. 

''Saya waktu itu mendapat bagian sebagai pangeran yang melaporkan kesiapan penobatan sebagai sultan,'' kenang Yudhaningrat. 

Penobatan sebagai putra mahkota dilanjutkan pengangkatan sebagai sultan. Gelar lengkapnya adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Kini gelar itu ditanggalkan Sultan. Dia mengaku mendapat dawuh (perintah) dari Allah melalui leluhurnya untuk mengganti nama dan gelarnya dengan gelar baru, Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya Ing Mataram Senopati Ing Ngalogo Langgenging Bawono Langgeng Ing Tata Panatagama. 

''Kalau berganti nama dan gelar, berarti dinasti Hamengku Buwono sengaja akan diakhiri sendiri oleh Ngarsa Dalem,'' ungkap Gusti Yudha menyesalkan. 

Gejala itu, lanjut dia, makin kuat dengan dinobatkannya putri sulung kakaknya tersebut dengan gelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Gelar tersebut mengisyaratkan putri mahkota yang akan melanjutkan takhta keraton. 

Apalagi dalam keterangannya Sultan menyebutkan bahwa GKR Pembayun berhak duduk di Watugilang saat pisowanan di bangsal Sitihinggil. 

''Watugilang hanya untuk putra mahkota. Ini artinya tanda takhta keraton diserahkan kepada GKR Pembayun makin jelas,'' ungkapnya.
Sumber

lanjutin di sini !

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top