Bersyukur, sebuah rumah di Jl. Peneleh VII No. 29-31 Surabaya itu dilestarikan. Kini, rumah itu dikenal sebagai rumah kos Bung Karno. Benar, itulah rumah peninggalan keluarga HOS Cokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Dalam sekian kali posting yang menuturkan riwayat rumah itu, tidak pernah lupa saya menyinggung pertemanan yang kental antara Sukarno, Musso, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo.
Tiga nama di tengah, belakangan kita kenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma menjadi imam Darul Islam, ekstrim kanan. Kedua kubu tadi lantas dicatat dalam sejarah perjalanan Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari riak revolusi.
Kembali ke rumah Peneleh VII, yang sempat dihuni sekitar 30 pemuda Indonesia, Sukarno adalah satu di antaranya. Periode 1915 – 1920, Bung Karno mondok di rumah itu, bersekolah di HBS (Hogere Burger School). Di pondokan itu, juga bercokol tokoh pemuda yang terbilang senior saat itu, Musso.
Muso sendiri saat itu menjabat aktivis Sarekat Islam pimpinan Cokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Tak ayal, Muso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, “Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.”
Oleh Bung Karno, kalimat Musso itu diulanginya dalam penuturan kepada Cindy Adams. Itu artinya, tidak sedikit pemahaman-pemahaman baru yang Bung Karno peroleh dari Musso. Musso sendiri empat tahun lebih tua dari Bung Karno yang kelahiran 1901. Adapun teman seperjuangan Musso antara lain Alimin, Semaun, dan Darsono.
Alam perjuangan menuju Indonesia merdeka itulah yang mengakibatkan pada akhirnya mereka terpisah. Muso misalnya, pernah ditangkap polisi Hindia Belanda sebagai aktivis politik (Sarekat Islam) dan dijebloskan ke penjara. Bung Karno hanya bisa memantau dari pekabaran yang ada. Nah, keluar dari penjara tahun 1920 itulah, Musso tidak lagi aktif di Sarekat Islam, dan menggabungkan diri ke Partai Komunis Indonesia.
Sejak itu, Bung Karno dan Musso berpisah. Musso dengan gerakan kirinya. Bung Karno dengan kuliah serta gerakan nasionalis yang ia kembangkan bersama teman-teman seide-seideologi. Pada saat itu, perjuangan menuju kemerdekaan, disokong oleh semua aliran. Yang kiri, yang kanan, yang tengah… semua, tanpa kecuali, memiliki andil memerangi penjajah. Karena itu, dalam banyak kesempatan, Bung Karno tegas menyebut, “Komunis pun berjasa untuk kemerdekaan Indonesia.”
Syahdan, hingga proklamasi 17 Agustus 1945, Sukarno-lah yang muncul ke tampuk pimpinan pergerakan serta didaulat menjadi Presiden pertama untuk Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Pasca proklamasi, bangsa ini langsung memasuki kancah revolusi fisik yang sebenarnya. Perang berkobar di seluruh penjuru negeri. Perang antara jiwa bergelora yang baru terbebas dari penjajahan, dengan tentara sekutu yang diboncengi Belanda, yang hendak menancapkan kembali kuku-kuku jajahannya di bumi pertiwi.
Dua sahabat, Musso – Sukarno, baru berjumpa sekitar 30 tahun kemudian, tepatnya pada 13 Agustus 1948 di Istana Negara. Banyak saksi sejarah yang melukiskan betapa mengharukannya pertemuan itu. Mereka berpelukan begitu hangat. Nyaris tanpa kata-kata, kecuali mata yang sembab dirundung haru. Dari pandangan mata kedua tokoh ini sudah tergambar, betapa tatapan mata mereka telah berbicara…. Betapa mereka melakukan dialog hebat melalui bola-bola mata keduanya.
Sejurus kemudian, manakala suasana sudah mencair, Bung Karno memecah keheningan dengan menceritakan hal-hal yang hebat tentang Musso. Katanya, “Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia jagi pencak (silat).” Selain itu, Bung Karno juga menceritakan hobi Musso bermain musik. Satu lagi yang khas, Musso selalu menyingsingkan lengan bajunya sebelum berpidato.
Itulah obrolan dua sahabat. Bagaimana dengan perbedaan ideologi keduanya? Tentu saja, Bung Karno menyinggung tentang perkembangan politik internasional. Bung Karno nyerocos berbicara tentang perkembangan komunisme di dunia, dan ini membuat Musso ternganga.
Demi melihat itu, Bung Karno cepat menjawab, “Saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak Cokroaminoto, dan Pak Musso.”
Usai pertemuan yang lebih bernuansa kangen-kangenan itu… keduanya langsung kembali kepada habitatnya. Sukarno sebagai Presiden dengan kesibukan mengatur sistem tata-negara yang masih begitu rentan… Muso dan PKI-nya tetap konsisten dengan visi dan misinya.
Yang terjadi setelah itu, sungguh mencengangkan. Persisnya tiga-puluh-tujuh hari setelah pertemuan Bung Karno dan Musso, pecahlah peristiwa monumental, Pemberontakan Madiun. Terjadilah perang statemen antara Musso dan Bung Karno. Mereka pun saling memaki di media. Puncak pernyataan Bung Karno yang terkenal waktu itu adalah, “Pilih Musso atau Sukarno”. Alhasil, pemberontakan Madiun berhasil ditumpas, dan para tokohnya dihukum.
Apa kata Bung Karno tentang Musso pada bukunya yang ditulis Cindy Adams? Ia tetap menghormati Musso sebagai salah seorang gurunya. “Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita, harus dihormati lebih dari orangtua.” (roso daras)
Post a Comment Blogger Facebook