TAK! Tok! Tek! Tuk! Bunyi berkelotakan itu menjadi irama khas ketika kita blusukan ke terowongan buatan tentara Korea Utara tersebut. Suara itu berasal dari benturan helm kita ke langit-langit terowongan militer tersebut. Ruangan memanjang di dalam tanah itu memang tidak tinggi, sekitar 150-170 cm dan lebar 11,5 meter. Akibatnya, para penelusur yang berpostur melebihi tinggi itu harus terbungkuk-bungkuk menghindari benturan yang kerap terjadi. Saya harus berjalan seperti udang, kata turis kulit hitam asal Amerika Serikat yang posturnya seperti rata-rata pemain basket. Namun, seperti turis lain, mereka tetap berupaya menuntaskan perjalanan sampai ujung. Meski hawanya dingin ber-AC, keringat mereka berleleran. Napas terengah-engah. Banyak turis yang memijit-mijit pinggangnya karena kecapekan.
Terowongan di kawasan barat demilitarized zone (DMZ) Korea Selatan-Korea Utara itu diperkirakan sepanjang 3,5 km. Namun, yang bisa ditelusuri dari arah Korsel hanya sekitar 1,6 km. Yang 435 meter bagian dalam dan mendatar dibiarkan apa adanya, seperti saat digali. Tetap berdinding batu bertonjolan. Ada sisa-sisa bekas hunjaman dan pahatan bor tangan. Terowongan itu diperkirakan dibuat dengan cara manual sesenti demi sesenti. Penelusuran harus berhenti di batas wilayah Korut di dalam terowongan tersebut. Tandanya berupa batas beton tebal tiga lapis dengan disisakan jendela kurang dari satu meter persegi untuk mengintip ke bagian Korut.
Semasa terowongan itu baru ditemukan, tentara Korsel berjaga dengan menempatkan burung kenari di ujung terowongan. Burung itu akan berkicau ribut kalau ada serbuan senjata kimia (dari Korut), kata pemandu. Kini terowongan tersebut dilengkapi banyak CCTV (closed circuit television). Burung kenari pun tidak perlu bertaruh nyawa lagi. Dari permukaan tanah, terowongan itu turun hingga kedalaman 73 meter. Pengunjung harus menelusuri jalur menurun sekitar 11 derajat sepanjang 1,2 km.
Memang, pintu masuk terowongan sudah diperbesar. Dinding dan lantainya dibeton halus, menyambut rezeki wisatawan. Ada fasilitas kereta tanpa atap sepanjang jalur terowongan 1,2 km itu. Tapi, banyak yang memilih berjalan ngos-ngosan dan mandi keringat daripada diangkut kereta. Sekeluar dari terowongan, dalam keadaan kuyup keringat, para turis digiring untuk menyaksikan video layar lebar selayang pandang perang saudara Korea. Video pendek itu menceritakan betapa brutalnya Korut. Beberapa kali mereka memicu insiden dengan menembaki Korsel dan menimbulkan korban. Malahan, Korsel terlihat mengalah menghadapi ulah negara beribu kota Pyongyang yang memiliki senjata nuklir tersebut.
Terowongan infiltrasi Korut itu ditemukan mulai 1974. Total ada empat terowongan. Terowongan ketiga yang saya kunjungi ditemukan pada 1978. Diperkirakan, lewat terowongan itu, bisa dikerahkan 30 ribu tentara bersenjata ringan dalam sejam. Terowongan tersebut ditemukan berkat informasi dari pembelot Korut. Terowongan kemudian dicari dengan cara mengebor dalam-dalam seperti mencari sumber minyak. Secara berkala, disuntikkan air ke lubang itu. Kalau airnya muncrat kembali, berarti tidak ada terowongan. Kalau airnya hilang, berarti di situ ada lubang yang menembus terowongan. Sisa-sisa lubang bor air itu hingga kini masih terlihat di langit-langit terowongan. Sampai sekarang belum diketahui persis jumlah terowongan yang digali Korut. Ada dugaan sekitar 20 terowongan.
Ketika ditemukan, dinding terowongan dilumuri jelaga hingga hitam pekat. Rupanya, itu ditujukan untuk menyiasati, kalau ketahuan musuh, terowongan tersebut disebut sebagai sisa tambang batu bara. Padahal, setelah dibersihkan, dindingnya berupa batu granit. Setelah Perang Korea 1950-1953 yang menewaskan 2,5 juta jiwa, kedua Korea secara teknis memang masih berperang. Dalam suasana gencatan senjata inilah Korut diam-diam membangun terowongan untuk serangan dadakan ke Korsel.
Ketidakpercayaan Korsel kepada Korut makin menjadi karena tentara Korut juga melakukan puluhan kali penyusupan (tak lewat terowongan). Termasuk penyusupan 31 tentara komando Korut yang gagal membunuh Presiden Park Chung-hee pada 1973. Zona demiliterisasi, sekitar 60 km utara Seoul, itu jadi penanda adanya gencatan senjata antara kedua pihak. Panjangnya 250 km, dengan lebar sekitar 4 km, membelah kedua Korea. Lucunya, meski disebut zona demiliterisasi, tempat itu justru merupakan salah satu tempat yang paling banyak dijaga tentara. Lebih lucu, di tengah penjagaan ketat tersebut, para turis justru diundang untuk membanjiri kawasan DMZ.
Panitia acara United Nations Public Service Forum and Awards di Seoul yang mengundang saya dan utusan dari berbagai negara lain juga menawarkan wisata ke wilayah perang itu. Suasana militer mulai terasa ketika bus yang mengangkut rombongan saya melewati tol Jayuro (Jalan Kebebasan) menuju DMZ. Di kiri jalan ada persawahan, ditanami padi menghijau. Ada pula Sungai Han yang memisahkan Korut-Korsel. Tepi tol itu diberi pagar berduri sepanjang jalan. Ada pos-pos tentara di jarak tertentu. Para petani Korsel yang akan menggarap sawah harus punya pas khusus yang dikeluarkan militer Korsel. Mereka hanya boleh menggarap sawah saat siang, kata pemandu dalam tur yang berlangsung pada 25 Juni lalu itu.
Meski jalan tol tersebut diniatkan sebagai bagian dari mimpi unifikasi, Korsel tetap waspada. Ada semacam gerbang dengan blok beton di atas jalan raya lima jalur itu. Bila Korut menyerbu lewat Jalan Kebebasan tersebut, kaki gerbang itu tinggal diledakkan. Blok beton pun jatuh melintang, menghadang jalan dan menghambat laju tentara Korut. Setelah sampai di checkpoint DMZ, seorang tentara Korsel dengan sopan naik ke bus saya. Kepada pemandu, dia meneliti daftar paspor penumpang. Orang asing memang wajib membawa paspor untuk masuk di objek wisata sejarah itu. Lalu, bus dibiarkan melewati gerbang yang dijaga banyak polisi militer. Jalannya harus berbelak-belok karena bus menelusuri jalur yang dibuat zig-zag dengan aneka barikade beton dan kawat berduri.
Bus lalu melewati Jembatan Tongil atau Jembatan Reunifikasi yang melintang di atas Sungai Imjin. Air sungainya saat itu sedikit. Dasar sungai terlihat berlumpur. Di kiri kanan jembatan itu terpacak banyak bendera Korsel. Di jembatan tersebut sesekali melintas mobil orang Korsel yang pulang dari wilayah Korut. Kebanyakan pelintas batas dari Korsel adalah para pebisnis. Korsel berusaha melunakkan kekerasan hati Korut dengan menularkan keberhasilan industrialisasinya. Yakni, membantu membuat kawasan industri di Kaesong, wilayah Korut yang berbatasan dengan Korsel. Para pebisnis Korsel diizinkan pergi ke sana dan hanya boleh beraktivitas di sekitar zona industri tersebut.
Namun, sebaliknya, tak semudah itu orang Korut pergi ke selatan. Setelah jembatan, ada jalan berkelok-kelok menuju pos pengamatan Dora. Di kiri-kanan jalan yang berhutan dan berbukit-bukit itu banyak pagar kawat anyaman. Banyak tanda segi tiga merah bertulisan huruf Korea yang menggantung di pagar. Segi tiga merah tersebut merupakan peringatan bahwa masih sangat banyak ranjau darat yang ditanam Korut di hutan perbukitan, sisa perang dulu. Kawasan itu dihuni banyak kijang (reindeer). Kadang kijang itu menginjak ranjau dan meledak, kata si pemandu.
Selain perbukitan, banyak hamparan sawah. Banyak greenhouse di sawah-sawah tersebut. Mereka adalah para petani ginseng. Tanaman obat dari Korea itu terkenal manja. Tidak bisa hidup subur dan berkualitas baik di suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin. Menurut pemandu, kawasan perang tersebut adalah penghasil ginseng terbaik. Mereka bertani dengan mendirikan greenhouse, bangunan melengkung beratap plastik transparan. Dengan begitu, musim salju pun tak merusak ginseng. Setelah perjalanan 20 menit dari checkpoint, sampailah di pos pengamatan Dora Station. Itu juga merupakan kawasan perbukitan.
Nuansa gedungnya loreng militer. Plang atapnya bertulisan End of Separation, Begin of Unification. Itu mimpi panjang Korsel, akhir pemisahan, awal penyatuan (dengan Korut). Ada logo PBB dan bendera Korsel di kiri-kanan tulisan. Tentara Korsel juga tampak di sana-sini. Namun, tidak terasa suasana militer. Antusiasme turis yang datang berbus-bus lebih terasa. Di sebelah gedung tersebut ada pos pengamatan. Ratusan turis mengantre teropong yang bisa dipakai dengan memasukkan koin 500 won (Rp 5.000) untuk mengintip ke arah Korut.
Kontras terasa. Kalau di DMZ kawasan Korsel banyak bangunan modern dan fasilitas umum, di kawasan Korut hanya hamparan semak dan hutan. Dalam jarak dekat, tidak banyak aktivitas. Kawasan yang terlihat menonjol adalah kompleks industri Kaesong yang terlihat lamat-lamat. Saya tidak berhasil menemukan seorang pun di wilayah Korut ketika mengintip teropong. Namun, rekan saya, Yanuar Nugroho, pejabat UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan), yang mengintip teropong di sebelah mengatakan melihat orang Korut. Saya lihat dua orang di persawahan, ujarnya.
DMZ kawasan Korut memang sepi, tidak seperti DMZ Korsel yang ramai oleh turis yang penasaran. Tapal batas itu seakan menggambarkan karakter Korsel dan Korut. Korsel berhasil menjual kawasan DMZ menjadi lokasi wisata yang ramai. Tak terbayangkan kawasan perang tersebut diubah menjadi sumber uang. Wisata perang itu menggoda sekitar 160 ribu turis tahun lalu. Sementara itu, Korut masih terkungkung dalam ketegangannya sendiri. Rezim Pyongyang yang kerap brutal itulah yang membuat Korea Selatan terganggu mimpi buruk dalam kemakmurannya. (*/c5/ari)
Post a Comment Blogger Facebook