GuidePedia

0

DULU makam Rangkah dikenal punya citra yang sangat jelek. Selain menjadi areal seks bebas, berbagai tindak kriminal kerap terjadi di daerah itu. Lalu, datanglah Husin, pria kelahiran 30 Juni 1956. Besok, umurnya persis 58 tahun. Husin adalah seorang residivis. Umur 13 tahun, pada 1969, dia sudah menjadi narapidana. Delapan kali dia mencicipi bui lantaran berbagai kasus yang mendera. Terakhir, dia keluar dari penjara pada 1996. Itu terjadi setelah Husin mendekam di penjara selama 9,5 tahun di Nusakambangan. Husin yang residivis dan makam Rangkah yang angker lantaran aksi kriminal. Klop, bukan? 
Tapi, Husin yang kini hadir dengan kiprah luar biasa di Makam Rangkah itu tidak tampil sebagai mantan narapidana. Status tersebut sudah dia buang jauh-jauh. Masa lalu yang kelam tersebut telah ditinggal selamanya. Kini tangan Husin menjelma sebagai tangan emas di Makam Rangkah. Dari tangannya, telah lahir sebuah ruangan bersahaja berukuran 7 x 4 meter. Terasa lapang meski ada dua rak buku berimpitan serta sebuah etalase mungil di beberapa sudutnya. Ya, itulah Taman Baca Masyarakat (TBM) alias perpustakaan yang menyembul di sela-sela nisan makam tersebut. Pemandangan pun menjadi sedikit surealis. Perpustakaan sederhana itu punya 700 buku. Mayoritas adalah buku pelajaran dan buku bergambar. Pengunjungnya pun tidak melimpah. Sekitar 25 orang tiap hari menyambangi TBM tersebut. Karena ruangan perpustakaan itu terbatas, beberapa orang membaca dengan bersandar di batu-batu nisan di sekitar ruang baca mini tersebut. Sedikit kontras dengan beberapa perpustakaan dengan suasana cozy yang bertebaran di beberapa penjuru kota. 
Pendirian perpustakaan itu pun tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kiprah Husin. Selepas dari penjara, Husin memang memutuskan berubah. Sisi negatifnya dibuang jauh-jauh untuk memberikan kesempatan bagi sisi positif untuk berkembang. Secara berani, dia berusaha mengubah pergaulan beraroma mabuk-mabukan anak-anak muda di kawasan tersebut. Husin juga berusaha masuk ke kalangan ibu-ibu untuk membentuk kelompok pengajian. Bapak empat anak itu juga mulai menjanjikan sebuah seragam pengajian untuk para ibu tersebut. Sebagai mantan residivis, usaha Husin beberapa kali menemui hambatan. Susah betul merangkul kepercayaan warga Rangkah. Warga yang tidak suka kerap mengompori warga lainnya agar tidak begitu saja percaya kepada mantan napi tersebut. Meski begitu, semangat Husin pantang kendur. Janji seragam pengajian itu baru tertunaikan setelah Yulyani, mantan anggota DPRD Surabaya, mengisi pengajian di areal makam tersebut pada 2009. 
Setelah berhasil membangun kepercayaan warga, Husin ingin memajukan anak-anak yang tinggal di lingkungan makam itu. Mereka bukannya tidak pandai, hanya fasilitaslah yang dibutuhkan anak-anak tersebut. Secercah harapan itu muncul saat sejumlah mahasiswa mengadakan kuliah kerja nyata. Selain mengajarkan cara hidup sehat, para mahasiswa tersebut menyumbangkan beberapa buku untuk anak-anak Rangkah. Husin yang menjadi ketua RT pun berusaha mendirikan sebuah perpustakaan mini. Ketika itu dia hanya mempunyai 50 buku. Perpustakaan itu pun tanpa rak. Karena itu, koleksinya hanya disimpan di sebuah kardus. Mereka yang ingin membaca pun harus duduk-duduk di batu nisan. Tapi, kegigihan Husin tidak mandek. Dia tetap mengumpulkan buku-buku dari mahasiswa maupun dari yayasan-yayasan. "Saya nggak apa-apa kalau disuruh minta-minta buku. Yang penting anak-anak kami di sini tidak ketinggalan ilmu pengetahuan yang seharusnya didapatkan mereka," ungkap Husin. 
Usaha itu dilakukan secara rutin. Bak pengemis yang mengais-ngais meminta-minta. Selama 1,5 tahun Husin berusaha melengkapi koleksi perpustakaannya. Sedikit demi sedikit bangunan semipermanen pun berdiri. Bangunan itu dibuat dari kayu dengan papan-papan membujur sebagai alasnya. Kiprah tersebut sampai juga ke kuping Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Selama enam bulan Risma terus-menerus memberikan bantuan. Yakni, 2 lemari setinggi 1,5 meter dan meja. Perpustakaan yang hanya terdiri atas panggung papan itu pun diberi atap. Dengan demikian, pengunjung dan koleksinya sama-sama terlindungi. Akhirnya, Januari lalu wali kota meresmikan perpustakaan unik tersebut. Kepedulian Risma itu begitu membekas. Pada beberapa kesempatan, Husin selalu menyinggung bantuan wali kota tersebut. "Saya senang, ternyata wali kota benar-benar mau peduli terhadap rakyat miskin, pemulung, yang tinggal di kawasan makam Rangkah ini, "ungkapnya. 
Sebanyak 50 buku pada awal berdirinya perpustakaan itu kini sudah beranak pinak menjadi 700 buku. Anak-anak pun kian gemar membaca dan giat mewarnai. Seorang petugas dari Pemkot Surabaya juga membantu menjadi penjaga saat jam kerja. Sebab, perpustakaan tersebut memang buka 24 jam. "Siapa pun dan jam berapa pun. Jika ingin membaca buku, silakan. Saya nggak akan melarang", ucap Husin. "Sebab, perpustakaan tersebut didirikan memang untuk warga sekitar, tidak terbatas usia. Mau baca siang, boleh. Malam sembari menikmati malam di kuburan, juga tidak dilarang. Asalkan, habis membaca dikembalikan ke tempatnya saja," kata Husin. 
Banyak yang tidak tahu bahwa mantan napi itu sudah punya beberapa penghargaan. Misalnya, penghargaan dari Save Our Street Child Surabaya dan Surabaya Sampoerna Foundation Scholarship. Itu semua diperoleh Husin lantaran kiprahnya membangun perpustakaan di tengah makam tersebut. Kini Husin berharap semakin banyak orang yang peduli terhadap perpustakaan itu. Sebab, buku adalah aset ilmu yang berguna bagi masa depan. Ia masih bisa mengunjungi anak-anak di kemudian hari melalui lembar-lembar isinya. (Indiani Kusuma Wardhani/c5/dos) 
 Sumber 

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top