Ramdhania El Hida - detikFinance
Jakarta - Melihat ketergantungan Malaysia kepada Indonesia secara ekonomi, sudah sepatutnya negeri jiran itu bersikap baik kepada Indonesia Indonesia.
Ekonom InterCafe IPB Imam Sugema menilai jika memang Indonesia dan Malaysia harus memutuskan hubungan kerja, pihak Malaysia yang akan merugi.
"Mestinya Malaysia lebih baik-baikin kita. Kalau kita loyo-loyo sebetulnya kita nggak tahu posisi kita," tegasnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (30/8/2010) malam.
Dari sisi investasi, ujar Imam, Malaysia telah menanamkan investasinya di berbagai bidang seperti perbankan dan perkebunan kelapa sawit. Jika hubungan kedua negara tetangga ini terputus maka pihak Malaysia tidak bisa mengambil kembali investasi yang sudah tertanam di Indonesia.
"Secara kepentingan investasi, investasi Malaysia lumayan besar di Indonesia. Terus kalau benar kita gontok-gontokan, uang yang sudah tertanam, mau bagaimana?" ujarnya.
Dari sisi tenaga kerja, lanjut Imam, selama ini, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang membuat Malaysia memiliki daya saing. Jika tidak ada TKI yang murah maka perusahaan Malaysia akan mati. Pasalnya, orang-orang Malaysia bukanlah buruh kasar yang bisa dipekerjakan sebagai buruh kasar.
"Perusahaan Malaysia pasti mati,kebun-kebunnya nggak ada yang ngurus. Berhenti semua tuh proyek, kan orang Malaysia bukan buruh kasar," ujarnya.
Selain itu, Imam menyatakan TKI di Malaysia jumlahnya sangat banyak. Ada sekitar 2 juta lebih TKI di Malaysia. Angka itu merupakan sepersepuluh dibandingkan rakyat Malaysia.
"Jadi setiap 10 orang Malaysia ada 1 orang Indonesia. Ini bagaimana ngusirnya? Akan sulit," ujarnya.
Untuk rencana travel advisory, Imam menilai justru Malaysia yang akan menjerit dari kebijakan yang ditetapkan pemerintahannya.
"Itu (travel advisory) siapa yang akan rugi. Maskapai yang menghubungkan Malaysia-Indonesia itu kan dari Malaysia. Dari situ saja sudah rugi. Belum lagi pariwisata,lebih besar mana, banyakan orang Indonesia yang ke sana dibanding mereka ke sini. Padahal tempat pariwisata di Malaysia juga biasa saja," ujarnya.
Sedangkan dari sisi ekspor, Imam menyatakan barang-barang ekspor Indonesia ke Malaysia merupakan raw materials yang pasarnya sangat luas. Artinya, jika Indonesia kehilangan Malaysia sebagai pasar ekspor maka masih banyak negara lain yang mau menerima barang ekspor Indonesia.
"Ekspor itu banyakan raw materials, seperti batubara, sawit, masih banyak donk pasarnya. China, India masih mau nampung. Pasar Cina dan India kira-kira 50 kali lipat dibandingkan pasar Malaysia. Nggak jadi masalah ekspor impor," ujarnya.
Selain itu, lanjut Imam, hubungan dagang Malaysia juga kebanyakan dengan negara di luar ASEAN. Begitupun dengan Indonesia.
"Kalau dari sisi perdagangan, kedua negara tidak saling bergantung. Selain jenis produknya hampir sama, hubungan dagangnya juga kebanyakan di luar," jelasnya.
Dari kepentingan-kepentingan tersebut, Imam menegaskan Menteri Luar Negeri Malaysia telah berlaku kurang cerdas dengan menghina media di Indonesia yang menyulut api amarah rakyat Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan yang dilakukan Pemerintah Indonesia.
"Pemerintahan kita itu pemerintahan yang santun,mengedepankan ngomong-ngomong secara di balik layar. Itulah namanya yang demokrasi modern. Bukan ngomong di media, gak ada gunanya. Menlu Malaysia saya rasa kurang cerdas. Mereka kan semi otoriter. Mereka belum kenal demokrasi. Boleh saja bilang negara makmur tapi civil society,nihil lha," tegasnya.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Imam menyarankan perlunya kedewasaan para pejabat kedua negara.
"Nggak perlu dibuat panas oleh pejabat di kedua negara. Kalau media dan masyarakat wajar, ini kan negara demokratis, yang perlu dewasa pejabat di kementerian luar negeri," ujarnya.
Imam menyatakan Indonesia juga berperan secara berwibawa. Pemimpin Indonesia itu harus memiliki style yang bisa dihormati yaitu penuh dengan inisiatif.
"Indonesia harus berperan secara berwibawa. Kita gak punya pemimpin yang penting untuk bisa dihormati, dan itu menyangkut style untuk kepemimpinan. Style-nya penuh inisiatif. Negara Indonesia ini merupakan negara terpenting di ASEAN, oleh karena itu pemimpinnya harus memosisikan diri sebagai yang terpenting," papar Imam.
blm perang senjata aja diperkirakan kita udah menang....apalagi perang beneran.... mdh2an cerita di atas teori yang sangat pasti... tinggal di praktekin aja...
Post a Comment Blogger Facebook