Dari berbagai macam pandangan mengenai keberadaan PT Freeport Indonesia di Papua, Indonesia—salah satunya adalah desakan agar perusahaan tambang ini keluar atau mundur dalam proyek ekplorasinya disana.
Namun, ada sebuah catatan menarik dari George A. Maeley—seorang geologist dalam bukunya yang berjudul “GRASBERG, Mining The Richest & Most Remote Deposit of Copper & Gold in The World, In The Mountains of Irian Jaya, Indonesia”.
Dalam buku tersebut, ternyata tanpa diminta pun—ternyata Freeport sendiri pernah akan menghentikan diri dari kegiatan penambangannya, hal ini terjadi ketika mereka masih mengelola penambangan di Erstberg saja.
Penyebab rencana mundurnya Freeport ini berasal dari keenganan para pemodal awal Freeport yang dalam 7 hingga 10 tahun awal operasi penambangan hanya mampu mendapatkan keuntungan $15juta dari $300juta dana modal awalnya. Sangat kecil dari sudut bisnis manapun. Tak sampai 1% dari total investasinya.
Bahkan hingga saat belum ditemukannya tambang baru Grasberg, Freeport sendiri sudah dalam kondisi keuangan yang megap-megap. Pas-pasan saja.
Hal yang sebenarnya pernah diingatkan investor tambang pada saat tahun 1937 ketika Jean Jacquest Dozy—seorang ahli geologi sekaligus fotographer geologi pertama dunia memberikan laporannya mengenai penemuan bukit Ertsberg ini.
Saat itu, para investor mencibir dan mengatakan “Ertsberg bagaikan gunung emas di bulan”.
Ya, di bulan. Di luar angkasa. Bagaimana tidak dicibir, lokasi Ertsberg berada di ketinggian 4200-an meter tanpa ada jalan, tidak ada pelabuhan serta tidak ada pabrik. Hanya roket Apollo yang bisa mencapai ke sana (bulan).
Bahkan saat petinggi BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij)—tempat Dozy berkerja dan membiayai ekspedisinya bertanya “Apa yang akan anda lakukan dengan Erstberg (gunung bijih) ini?”.
J.J Dozy pun hanya bisa mengangkat bahu. Tidak mengerti juga.
Namun untunglah ada pak Ali Budiardjo—salah seorang tim delegasi Indonesia dalam Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville serta mantan Sekjen Pertahanan dan Direktur Pembangunan Nasional di era Pemerintahan Soekarno. Ali Budiardjo juga merupakan master bidang manajemen industri lulusan Massachutts Institute of Technology yang menjadi tim konsultan dan negosiator Freeport di tahun 1966.
Salah satu tugasnya melakukan reformasi budaya di PT Freeport Indonesia. Sedangkan langkah pertama yang dilakukannya adalah mengajarkan tatacara dan tatakrama ala Jawa yang halus dalam berbisnis kepada para pemodal khususnya yang merupakan orang Amerika.
Ali Budiardjo paham, orang Amerika tidak menyadari bahwa secara politis dan psikologis terdapat perbedaan antara Amerika dan Indonesia. Orang indonesia tidak bisa berbicara secara terbuka. Orang Indonesia diajar untuk tidak mempertanyakan, apalagi menentang pikiran orang tua atau para atasan mereka. Ali Budiarjo mengajarkan pula kepada orang-orang Amerika tersebut bagaimana menangkap pikiran orang Indonesia yang tersirat atau pun tersurat.
Bahkan dengan tegas, Ali Budiardjo juga mengatakan “Anda boleh saja berlaku sebagai orang Amerika, tetapi sebagai orang Amerika yang sopan, terutama kepada pejabat Pemerintah!”.
Dan ajaran ini terbukti bisa memperbaiki manajemen Freeport lewat sistem kontrak yang diinisiasinya yang berimbas pada perbaikan keuangan perusahaan. Sekaligus menjawab cibiran dari perusahaan tambang dunia lainnya yang mentertawakan kebodohan atas kenekadan Freeport Sulfhur (nama lama) yang terlalu berani berinvestasi 150% lebih mahal daripada pembukaan tambang serupa di Chili atau Amerika Selatan yang lebih mudah pembukaan lahannya.
Ya, untuk membuka lahan tambang Erstberg, setidaknya juga harus dibangun kota ‘satelit’ ditengah-tengah pantai Timika dan Erstberg yaitu Tembagapura yang berada di ketinggian 2000 meter sebagai titik temu pembuatan jalan dari atas dan bawah sekaligus pemukiman bagi karyawannya. Belum lagi infrastruktur yang lain. Hal itu tentu membutuhkan biaya yang besar.
Selanjutnya, Ali Budiarjo juga bertugas menemukan titik temu antara konsep “bagi hasil”–sesuai petunjuk pelaksanaan kontrak perminyakan asing ala Pemerintahan Soekarno dengan kondisi riil investor tambang.
Ya, konsep kontrak “bagi hasil” hanya menarik untuk bidang perminyakan yang dapat menghasilkan dengan cepat, tetapi tidak untuk pertambangan tembaga yang memerlukan modal awal yang besar dan lama hingga awal produksi.
Pemerintahan era Soeharto waktu itu pun sebenarnya menyadari hal ini. Namun tim pejabat Pemerintah Indonesia tidak memiliki kewenangan membuat kerangka kontrak yang baru. Kemudian tim pejabat memberikan tawaran kepada Freeport untuk membuat konsep yang sekiranya dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Ali Budiarjo pun akhirnya mengutus ahli hukumnya, Bob Duke untuk menterjemahkan konsep kontraknya dalam format hukum yang berbentuk dokuman yang dinamakannya “kontrak karya”.
Kontrak karya ini adalah jalan tengah antara model “konsesi” ala zaman kolonial Belanda dimana kontraktor asing mendapatkan hak penuh terhadap mineral dan tanah, dengan model kontrak bagi hasil dimana negara tuan rumah langsung mendapatkan hak atas peralatan dan prasarana dan dalam waktu singkat seluruh operasi menjadi milik negara.
Alasan Ali Budiarjo dalam pemilihan jenis kontrak karya ini disadarkan dari keyakinannya bahwa investasi ini akan akan bermanfaat bagi Indonesia. Apalagi saat itu, modal dalam negeri sangat sedikit dan sulit untuk berperan. Ditambah lagi, saat itu belum ada BUMN bidang pertambangan non migas.
Ketika tanggal 5 April 1967, saat penandatanganan Kontrak Karya pertama dilakukan antara pemerintah Indonesia dan Freeport selama 30 tahun pun tetap muncul berbagai masalah.
Ternyata pemerintah Indonesia tidak selembek yang kita perkirakan, saat itu seringkali pemerintah marah kepada Freeport perihal pasal-pasal dan persyaratan tertentu. Dalam buku catatan George A. Maeley pun sempat ditulis kalimat :
“Mereka datang kepada kami dan berkata: ‘Kita harus batalkan persyaratan ini..!’. Freeport sepakat, meskipun pemerintah meminta perubahan terhadap hal yang dapat menjadi masalah bagi Freeport. Pokoknya tidak ada sesuatu pun yang dipaksakan sepihak dan semua diselesaikan berdasarkan musyawarah mufakat yang saling menguntungkan. Hubungan yang benar-benar sangat baik”.
Atas kemampuan negosiasi inilah, akhirnya Ali Budiardjo dipercaya untuk menggambil alih pimpinan tertinggi PT Freeport Indonesia dari tangan direktur utama sebelumnya, Forbes Wilson di tahun 1974.
Walau pun ujian bagi Ali Budiarjo tidak berhenti, setelah sukses dengan konsep kontrak karyanya, industri tembaga dihamtam krisis ditahun awal beliau memimpin perusahaan tambang ini. Harga tembaga sempat anjok pada harga terendah. Era kabel tembaga mulai mendapat pesaing dengan munculnya bahan kabel lain seperti alumunium dan mulai munculnya teknologi kabel serat optik.
Saat itu, kembali investor dan kreditor tidak lagi yang bersedia membantu untuk membiayai perusahaan. Ali Budiarjo kembali menghadap pemerintah, dan nasib baik masih bersamanya. Pemerintah Indonesia menanyakan “apa yang dapat kami lakukan untuk membantu?”.
Freeport pun menyampaikan kesulitan keuangan yang dialaminya, meminta penangguhan pembayaran pajak dan royalti selama dua tahun tanpa bunga. Pemerintah Indonesia pun menyetujui. Dan selama dua tahun tersebut, harga tembaga mulai membaik akibat efek perang Vietnam yang membutuhkan banyak tembaga untuk peralatan perang sehingga Freeport bisa melunasi hutang pajak dan royaltinya.
Lalu kembali di tahun 1986, krisis kembali menimpa PT Freeport Indonesia. Saat itu, cadangan bijih tembaga Erstberg sudah sangat menipis. Produksinya tidak mencukupi lagi untuk operasional perusahaan. Manajemen sudah sangat risau.
Diujung usia pensiunnya, beliau tetap bersikeras perlunya mempertahankan keberadaan perusahaan, walau pun investor dan kreditor kembali mengancam keluar dari PT Freeport Indonesia.
Karena baginya, sangat berbahaya jika Freeport sebagai perusahaan investasi asing pertama ini kabur dari Indonesia, maka investor lain akan menyusul. Apalagi kondisi negara Indonesia yang sudah mulai menumpuk hutangnya. Butuh income untuk pendapatan negara dari kegiatan penambangan non migas.
Saat itu, ia mempunyai firasat, ya firasat bahwa akan ada cadangan bijih tembaga lain yang bisa melangsungkan roda perusahaan. Selama dua tahun, disebarlah pencarian lokasi tambang baru.
Benar firasat Ali Budiardjo, akhirnya ditemukan lokasi baru tambang tembaga baru yang jauh lebih besar. Bahkan dalam catatan George A. Maeley—lokasi baru ini bisa menghasikan tembaga dengan jumlah yang ‘eksponensial’. Bahkan sejak mulai berproduksi tahun 1991, setahun produksi di tambang baru ini bisa mengalahkan produksi Erstberg secara keseluruhan.
Lokasi ini adalah Gunung Rumput atau kita kenal sebagai “Grasberg”. Grasberg sendiri juga memberikan bonus hasil tambang lain, yaitu : emas (gold).
Atas segala ilmu, kontribusi dan firasat Ali Budiardjo inilah, akhirnya di lokasi tambang PT Freeport Indonesia di Papua, Indonesia—terdapat sebuah tunnel yang dinamakan “Terowongan Ali Budiardjo” sebagai penghormatan untuk beliau yang wafat pada tahun 1999.
sumber: hazmi srondol
Post a Comment Blogger Facebook