Namanya mitos tentu tidak benar. Tapi berkat kelihaian pabrik rokok, mitos itu seakan menjadi kebenaran.
Petani Tembakau Hancur
Gerakan pengendalian rokok seringkali dibenturkan dengan nasib para petani tembakau dan buruh pabrik. Rokok dilarang, petani tembakau hancur dan buruh pabrik pun menganggur. Kira-kira begitu provokasinya. Bahkan ada sebuah iklan yang berlebihan. Dibuat oleh Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia, dalam iklan itu disebut-sebut bahwa rokok tempat bergantung 20 juta orang di Indonesia.
Benarkah angka 20 juta itu? Sungguh itu berlebihan. Jika ditelusuri, pekerja yang tersangkut dengan rokok tak lebih dari 2 juta orang. Begitu tertulis dalam buku Ekonomi Tembakau yang diterbitkan Lembaga Demografi UI (Universitas Indonesia).
Abdillah Ihsan, salah satu penulis buku tersebut mengatakan, jumlah buruh pabrik rokok menurut BPS sekitar 362 ribu orang (2006). Sedangkan jumlah petani tembakau, masih menurut BPS, sekitar 582 ribu orang atau 0,7 persen dibanding seluruh tenaga kerja Indonesia. Jika ditambah petani cengkeh, jumlah pekerja di sektor tembakau tak lebih dari 2 juta orang.
Di sisi lain, posisi tawar petani sangat rendah. Itu bisa dibuktikan dari harga tembakau. Harga ditentukan para cukong dan pabrik, bukan petani. Padahal kebutuhan tembakau nasional jauh di atas produksi. Tahun 2010, produksi tembakau hanya 80 ribu ton, sedangkan kebutuhan pabrik rokok 240 ribu ton. Angka ini mestinya membuat daya tawar petani tinggi. Tapi nyatanya tidak. Di mana-mana kita dengar petani tak berdaya.
Dunia Olahraga Loyo
Bahwa industri rokok mensponsori olahraga, seni budaya dan pendidikan, itu kenyataan tak terbantahkan. Miliaran rupiah mereka gelontorkan untuk kegiatan-kegiatan di atas. Tapi, apakah lantas jadi loyo, jika rokok dibatasi?
Tentu saja tidak. Semua akan aman saja. Piala Sepakbola Negara-negara Asia Tenggara (Piala AFF) tahun 2010 di Jakarta, berjalan meriah tanpa sponsor rokok. Puluhan bahkan ratusan perusahaan, mulai dari perusahaan makanan, infrastruktur, tambang, perbankan, otomatif, dan telekomunikasi siap menggantikan rokok sebagai penyandang dana.
Merokok Hak Individu
Merokok adalah hak individu, mengapa harus dilarang? Begitu mereka bilang.
Hak individu, dalam konteks sosial, tidak berdiri sendiri. Dia bakal menjadi monster jika dibiarkan liar. Pelbagai penelitian menyimpulkan asap rokok mengandung 4.000 senyawa kimia, dengan 250 zat diduga karsinogenik yang membahayakan manusia.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada 5,4 juta jiwa melayang setiap tahun (atau 10 orang per menit) gara-gara rokok. Di Indonesia angka kematian akibat rokok mencapai hampir 500 ribu per tahun (data 2008) atau 49 orang per jam.
Intervensi Asing
Konvensi Internasional mengenai Pengendalian Tembakau digagas pertamakali oleh negara berkembang. Justru negara-negara maju yang memiliki industri rokok raksasa seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang pada awalnya menolak inisiatif ini. Jika konsumsi rokok dikendalikan, pabrik rokok asing justru tidak akan masuk ke Indonesia. Philips Morris membeli HM Sampoerna karena melihat pasar yang potensial di Indonesia: penduduknya banyak, aturannya longgar.
Tembakau Tanaman Khas Indonesia
Oleh industri rokok, tembakau sering dikaitkan dengan nasionalisme karena tembakau dan merokok merupakan warisan budaya luhur.
Tembakau merupakan tanaman tropis, tapi bukan asli Nusantara, melainkan Amerika Latin. Tembakau dikembangkan secara komersial di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda melalui Cornelis de Houtman yang menanam kebun tembakau di Banten pada tahun 1596.
Tiga abad kemudian, kebiasaan merokok dengan tembakau mulai muncul seiring meluasnya budidaya tembakau.
Regulasi = Mematikan Industri Rokok
Pernyataan ini seperti menjadi mantra kalangan industri. “Banyaknya peraturan membuat penjualan rokok merosot,” kata Muhaimin Moefti, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia, dimuat dalam laman Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (www.amti.or.id).
Hakim Sorimuda, mantan anggota DPR yang juga aktivis anti rokok menilai, pendapat bahwa industri bakal ambruk kalau regulasi diterapkan adalah kekhawatiran berlebihan. Itu asumsi yang simplistik, tidak logis dan menyesatkan. “Itu mitos yang digembar-gemborkan industri (rokok),” kata Hakim, dikutip dari Bongkah Raksasa Kebohongan, buku yang menyorot kedigdayaan industri rokok di Indonesia.
Rokok merupakan produk non elastis, yang tingkat penjualannya hampir-hampir tak terpengaruh harga dan regulasi. Mereka yang sudah mencandu tidak akan begitu saja berhenti merokok hanya karena harganya tinggi. Itu sebabnya, produksi rokok di Indonesia terus meroket meski cukai dinaikkan. “Tidak ada riwayat konsumsi rokok turun hanya karena regulasi,” kata Hakim. Pengendalian rokok yang superketat di Thailand, misalnya, hanya sanggup menurunkan 1% jumlah perokok per tahun.
Pilihan Orang Dewasa
Kalau Anda bijak, dengan sendirinya Anda bisa memilih mana yang baik untuk diri Anda. Merokok atau tidak sepenuhnya pilihan individu. Tak ada yang memaksa. Ini pilihan bebas.
Butet Kartaredjasa, seniman terkenal dari Yogyakarta, menangkap samangat pilihan bebas itu. Dia lebih menekankan pendidikan ketimbang regulasi rokok. “Yang diperlukan adalah peningkatan pendidikan. Kalau masyarakatnya sudah pintar, mereka bisa menyeleksi sendiri mana yang baik buat dirinya,” kata Butet.
Argumen seperti itu lazim kita dengar. Padahal semaju apa pun pendidikan di sebuah negara, pastilah ada banyak lapisan yang tak berdaya (kaum miskin, bayi, balita, remaja, dan orang tua), yang berisiko menjadi perokok pasif, dan tak kuasa menolak gempuran agresivitas iklan industri rokok. Akankah mereka dibiarkan tak terlindungi, seperti halnya bayi yang tak bisa meninggalkan ruangan yang dipenuhi asap rokok?
Lagipula, menunggu kualitas pendidikan membaik di negeri ini merupakan sebuah ajakan yang tidak jelas ujungnya. Entah kapan pendidikan berkualitas yang dimaksud Bung Butet bisa tercapai.*
Post a Comment Blogger Facebook