Salah satu masalah dalam komunikasi, baik lisan maupun tulisan, adalah adanya perbedaan pemahaman yang seharusnya kita tangkap secara obyektif dari apa yang kita dengar atau kita baca, dengan pemahaman kita sebelumnya tentang hal tersebut, sehingga tidak jarang ada seseorang, misalkan si B menyatakan bahwa si A memiliki pemahaman “x” dari apa yang si B baca atau dengar dari si A, padahal kesimpulan “x” tersebut sebenarnya bukanlah pemahaman si A, namun kesimpulan si B atas si A dari metode penarikan kesimpulan si B sendiri. Banyak hal yang mempengaruhi kenapa pemahaman seseorang bisa berbeda padahal yang dibaca/didengar objeknya sama. Diantaranya adalah:
1) Keluasan pemahaman pembaca yang berbeda-beda tingkatnya.
2) Kemampuan mengaitkan dan menggabungkan berbagai macam informasi, serta alur berpikir dalam penarikan kesimpulan.
3) Adanya persepsi awal yg sangat dominan terhadap sesuatu yg dibaca/didengar (bisa negatif bisa positif).
4) Kemampuan pembaca untuk memilah tema (semesta pembicaraan) apa sebenarnya yang dibaca/didengar, sehingga tidak jarang bisa terjadi dua hal yang terkesan bertentangan padahal itu menyangkut dua tema yang berbeda.
5) Keseriusan, kecermatan dan kecepatan berfikir yang berbeda-beda.
Penulis buku al-Gharrah al-Imaniyah, ketika membantah pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I tentang qadha’ dan qadar, ketika menyatakan:
1) Keluasan pemahaman pembaca yang berbeda-beda tingkatnya.
2) Kemampuan mengaitkan dan menggabungkan berbagai macam informasi, serta alur berpikir dalam penarikan kesimpulan.
3) Adanya persepsi awal yg sangat dominan terhadap sesuatu yg dibaca/didengar (bisa negatif bisa positif).
4) Kemampuan pembaca untuk memilah tema (semesta pembicaraan) apa sebenarnya yang dibaca/didengar, sehingga tidak jarang bisa terjadi dua hal yang terkesan bertentangan padahal itu menyangkut dua tema yang berbeda.
5) Keseriusan, kecermatan dan kecepatan berfikir yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, ketika seorang wanita mengadukan kepada ‘Umar bin Khattab r.a perihal suaminya yang shalat tahajjud sepanjang malam dan puasa siang harinya, ‘Umar, walapuan sangat cerdas, namun karena kurang cermat, beliau malah memuji suami wanita tersebut, hingga ada shahabat lain yang menyampaikan bahwa wanita tersebut bukan sedang memuji suaminya, namun sedang mengadukan suaminya yang tidak memberikan “nafkah” kepadanya. Tulisan berikut dan setelahnya memberikan beberapa contoh kesalahpahaman dalam membaca beberapa kitab karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, namun sayangnya kesalahpahaman (bahasa kasarnya fitnah) ini banyak dicopy paste para blogger, termasuk yang mengatasnamakan suatu pesantren atau kelompok Islam, sehingga memang perlu diluruskan.
Penulis buku al-Gharrah al-Imaniyah, ketika membantah pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I tentang qadha’ dan qadar, ketika menyatakan:
وهذه الأفعال، أي أفعال الإنسان، لا دخل لها بالقضاء ولادخل للقضاء بها، لأن الإنسان هو الذي قام بها بإرادته واختياره وعلى ذلك فإن الأفعال الإختيارية لاتدخل تحت القضاء
Perbuatan-perbuatan ini —maksudnya perbuatan manusia— tidak termasuk dalam kategori qadha’, dan qadha’ pun tidak mempunyai ruang di sana, karena manusialah yang melakukannya dengan kehendak dan pilihannya. Karena itu, perbuatan yang bisa dipilih tidak termasuk dalam wilayah qadha’. ang diikuti dengan kutipan berikutnya dari kitab Nidzam al-Islam, yang menyatakan:
فتعليق المثوبة أو العقوبة بالهدي والضلال يدل على أن الهداية والضلال هما من فعل العبد وليسا من الله
Maka, dikaitkannya pahala dan dosa dengan petunjuk dan kesesatan, membuktikan bahwa petunjuk dan kesesatan tersebut merupakan buah dari perbuatan manusia, bukan dari Allah, dengan menyatakan:
الرد: هذا الكلام مخالف للقرآن والحديث وصريح العقل، إلخ
Sanggahan: Peryataan ini bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits dan logika yang jelas, dan seterusnya
Penjelasan:
Pertama, dari aspek penukilan, sengaja atau tidak, penulis buku tersebut hanya mengutip sebagian dari penjelasan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian langsung memvonis sesat dan seolah-olah beliau berpandangan seperti Mu’tazilah. Padahal, konteks kalimat tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat sebelum dan setelahnya, yang secara utuh justru memberikan pemahaman yang jernih dan cemerlang tentang qadha’ dan qadar, demikian halnya dengan hidayah dan dhalalah.
Kedua, dari aspek kesalahan penulis buku al-Gharrah dalam menjelaskan masalah qadha’ dan qadar, yang justru mencampuradukkan dengan masalah qadar. Dia dan para pengikutnya tidak bisa membedakan antara qadar, yang berupa ilmu Allah yang bersifat azali dan bahwasanya segala sesuatu itu telah tertulis di Lauh al-Mahfuzh dan bahwa kewajiban seorang Muslim adalah mengimani qadar, baik buruknya dari Allah Swt. Mereka tidak membedakan lagi antara (qadar) ini dengan istilah qadha’ dan qadar yang telah diterjemahkan dari filsafat Yunani; yang dalam istilah Yunani terkait dengan perbuatan dan karakteristik sesuatu (benda); yang tidak ada kaitannya dengan manusia, karena ia bersifat (jabran) memaksa. Karena itu, perbuatan yang bersifat paksaan dan karakteristik benda tersebut tidak ada hubungannya dengan manusia. Manusia juga tidak akan ditanya tentang perkara tersebut. Itu juga bukanlah topik yang menyangkut ganjaran (pahala) dan siksaan. Itu adalah fenomena yang ada pada wilayah qadha’ dan qadar menurut terminologi istilah. Adapun ganjaran dan siksa yang menimpa manusia, itu karena perbuatan-perbuatannya yang dijalankan berdasarkan pilihannya. Jika manusia mendapatkan petunjuk untuk beriman, maka ia memperoleh keridhaan Allah dan mendapatkan pahala. Namun jika manusia itu tersesat dan memilih kekufuran, dia mendapatkan murka dan sanksi dari Allah. Perbuatan-perbuatan yang bersifat pilihan, maupun yang bersifat paksaan, serta sifat-sifat khas pada benda dan segala sesuatu, semuanya itu tidak keluar dari qadar Allah; sebab qadar itu adalah ilmu Allah dan (seluruhnya) tertulis di Lauh al-Mahfuzh yang mencakup segala sesuatu.
Ini jelas berbeda dengan istilah qadha’ dan qadar yang diterjemahkan pada masa Abbasiyah dan yang terkait dengan perbuatan-perbuatan paksaan (af’âl jabariyah), juga dengan sifat-sifat khas pada benda. Begitu pula mereka mencampuradukkan antara pelaksanaan perbuatan dengan penciptaannya. Sebagian mereka mengatakan bahwa siapa saja yang mengatakan seseorang yang menjalankan perbuatannya berdasarkan pilihannya, berarti orang itu telah menciptakan perbuatannya sendiri. Padahal tidak ada seorang Muslim pun yang mengatakan, bahwa dia menciptakan sesuatu. Allah Swt-lah satu-satunya yang menciptakan sesuatu dan mewujudkannya dari (sebelumnya) tidak ada. Ini berbeda dengan orang yang menjalankan perbuatan apapun berdasarkan pilihannya, seperti memperoleh petunjuk atau kesesatan. Karena itu, mereka mencampuradukkan antara penciptaan perbuatan dengan pelaksanaan perbuatan, lalu masyarakat menyibukkan diri dengan perkara yang di masa Rasulullah saw sendiri tidak pernah bergolak, bahkan di masa sahabat sekalipun. Mereka mengacaukan benak banyak orang dan menyibukkan diri pada masalah yang sebenarnya telah berakhir sejak ratusan tahun yang lalu.
Cukuplah kiranya seorang Muslim mengetahui dua perkara penting, yaitu: mengetahui bahwa qadar adalah ilmu Allah seraya beriman tentang baik dan buruknya, kemudian mengetahui bahwa perbuatan-perbuatan yang dalam lingkup pilihannya sendiri (af’âl ikhtiyariyah) itulah yang menjadi topik (diperolehnya) ganjaran pahala atau dosa; dan perbuatan-perbuatan yang tidak tercakup pada perbuatan pilihan (af’âl ikhtiyariyah) tidak akan dihisab oleh Allah. Sedangkan istilah qadha’ dan qadar itu berkaitan dengan perbuatan yang tercakup dalam perbuatan yang dipaksa (af’al jabariyyah), serta menyangkut sifat-sifat khas pada benda yang tidak ada kaitannya dengan manusia, dan manusia tidak akan ditanya tentang perkara-perkara tersebut, bahkan tidak ada kaitannya dengan masalah ganjaran dan sanksi.
Sumber: Bantahan Terhadap Kitab Al Gharral Al Imaniyyah
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !