Perempuan cantik memang selalu lebih menarik. Begitu juga cerita putri cantik Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Shafa Sabila Fadli.
Oleh Ndari Sudjianto
Perempuan cantik memang selalu lebih menarik. Begitu juga cerita putri cantik Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Shafa Sabila Fadli. Ia membuat gempar jagad maya setelah bocornya surat berkop Sekretariat Jenderal DPR berisi permintaan fasilitas untuknya.
Isi surat tersebut adalah meminta KBRI Washington DC memfasilitasi kunjungan Shafa di New York. KBRI juga diminta koordinasi sama KJRI agar memberikan “penjemputan dan pendampingan” untuk Shafa. Entahlah, penjemputan dan pendampingan apa yang dimaksud. Bahasa birokrasi memang punya banyak sayap.
Kabar ini sontak menimbulkan keramaian. Sindiran, sumpah serapah, bertebaran mulai dari media sosial hingga obrolan ala warung kopi. Namanya orang Indonesia. Ngobrol ngalor-ngidul, ujung-ujungnya masalah yang lain-lain. Mulai dari foto seksi Shafa Fadli Zon, sampai meme yang membandingkan antara anak Fadli Zon dan anaknya Jokowi, Gibran Rakabuming.
Soal baju seksi, sebenarnya terserah Shafa juga pakai baju apa, meski ujung-ujungnya, bapaknya yang bakal kena. Ihwal meme Mas Gibran, rasanya ya kurang tepat. Gibran kos di Singapura sebelum jadi anaknya presiden. Mungkin sebaiknya gambar meme diganti Kaesang yang saat ini ngekos di kamar biasa-biasa saja meski anak presiden.
But anyway, saya nulis tidak untuk komentar soal bajunya Shafa atau memenya Gibran. Saya cuma heran, orang Indonesia kok begitu latah dan mudah sekali dialihkan perhatiannya. Satu orang bicara tentang A, yang lain ngikut. Topik berganti tentang B, yang lain juga ngikut, padahal ada bahasan yang lebih penting.
Misalnya sama-sama tentang surat, ada lho surat yang lebih urgent kita bicarakan daripada suratnya Setjend DPR RI. Apa itu? Salah satunya surat jaminan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Nusron Wahid untuk Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Gus Nusron pasang badan agar Ralina (baca Ralino) bisa pulang dan berlebaran bersama keluarga. Ralina ini ABK korban kecelakaan kerja di Taiwan. Dia harus dioperasi ganti dan sambung saluran pencernaan dari tenggorokan hingga usus karena rusak parah.
Namun masalahnya bukan itu. Ralina dua kali operasi dan sudah selesai perawatan sejak tiga pekan yang lalu. Dia tertahan di RSCM karena PT yang memberangkatkan tidak mau bertanggung jawab dan klaim asuransi juga limit. Tagihan di RSCM Rp 106 juta, BNP2TKI bayar Rp 50 juta, asuransi Rp 10 juta, sisanya sedang diupayakan sama Migrant Care dan BNP2TKI.
Lah, selama ini kita di mana? Sudah tiga pekan Ralina ketahan tapi kita sibuk ngurusin yang lain. Kalau Mbak Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, tak pasang foto surat di facebook, pasti saya sendiri juga tidak tahu. Berita di media massa soal Ralina juga relatif sepi. Mungkin yang jelata kurang menarik bila dibandingkan yang jelita. Coba kita ikut ngobrol soal Ralina dan suratnya Gus Nusron di facebook, siapa tahu ada dermawan-dermawan yang mau nyumbang, media-media itu juga mau meliput.
Tapi sejatinya, kabar jelita mengalahkan jelata ini tak cuma kali ini saja. Banyak perbandingan serupa di waktu lalu. Misalnya tahun 2009, model cantik Manohara Odelia Pinot kabarnya disiksa dan disekap suaminya, Pangeran Kelantan Malaysia. Kasus ini lantas menjadi ramai di pemberitaan tanah air, jauh lebih ramai dibandingkan kasus-kasus mbak-mbak jelata yang disiksa saat bekerja di Malaysia.
Padahal di waktu yang berdekatan, mbak TKW yang bernama Siti Hajar disiksa majikannya sampai luka parah. Michele, majikan Hajar, menyiram dengan air panas, menyiksa dengan martil dan gunting hingga menyebabkan cacat permanen. Meski kisah Manohara ikut mendongkrak kasus Siti Hajar, tapi rasanya obrolan di media sosial lebih banyak membahas perempuan yang pertama ketimbang yang kedua. Penyebabnya sekali lagi, Siti Hajar tak sejelita Manohara. Atau kalau mau dibalik, Manohara tak sejelata Siti Hajar.
Mengutip perkataan Hatta Rajasa, itulah bedanya jelita dan jelata.
Post a Comment Blogger Facebook