SUATU pagi tiga tahun yang lalu, seorang gadis menelpon saya. Dia adalah sahabat saya sedari kecil. Parasnya cantik. Tapi bukan ini persoalannya. Dia menelpon saya dengan menangis. Kemudian bercerita pahitnya menjadi buruh. Dia menceritakan, tenaga dikuras tapi upah masih belum cukup menghidupi diri dan keluarga di rumah. Bukan cuma itu, katanya, waktu istirahat yang disediakan hanya bisa digunakan untuk makan. Sementara untuk sholat, seringkali waktu tak mengijinkan. Dalam batin saya berkata: ‘pahit sekali, tenaga habis-upah tak mencukupi, bahkan bertemu Tuhan saja susah’.
Cerita sahabat tadi hanya satu saja contoh sulitnya hidup di negeri ini. Banyak orang-orang di sekeliling saya yang mengeluhkan itu: masalah harga kebutuhan semakin mahal, tapi harga hasil kerja pertanian mereka semakin anjlok, biaya sekolah yang terancam tak terbayar, mencari kerjaan susah, panen terancam gagal, sampai pada hutang. Di tengah situasi ini, bagi mereka, negara tak pernah terasa pertolongannya. Malahan yang terjadi sebaliknya, negara sengaja membiarkan penderitaan ini terus berlanjut. Pemerintah dipandang hanya berceloteh, mencomot nama rakyat sana-sini, membenarkan kebijakan, namun hasilnya tak pernah terasa di bawah.
Belakangan ini, cerita kepahitan hidup di negeri ini justru semakin menjadi-jadi. Lihatlah, ketenteraman warga kampung Pulo dengan ekonomi, sosial dan budayanya harus digulung paksa. Di Papua, penyiksaan bahkan seolah menjadi hal yang lumrah. Di Urut Sewu, petani yang sudah manunggaling dengan tanahnya harus dipukul mundur dengan bayonet oleh tentara. Salim Kancil, petani yang berjuang untuk menyelamatkan alam di Lumajang, bahkan harus merenggang nyawa. Bisa jadi masih banyak kasus-kasus lain yang serupa tapi tak tersorot media.
Bukankah itu saja sudah cukup menjelaskan, betapa susah hidup di negara ini? Bertahan hidup memenuhi kebutuhan material sulit, sarana produksi bahkan direbut, sudah begitu ketika mempertanyakan dan menolak langsung dihajar. Tidak segan-segan, bukan hanya fisik yang dihajar tapi label pun disarangkan. Seolah-olah yang melawan adalah komunis, dan komunis adalah pemecah integrasi bangsa. Singkatnya, sudah sulit mendapatkan hidup, ketika menuntut segera dituduh menganggu stabilitas negara.
***
Namun, nampaknya, bagi sebagian kalangan ini belum menjadi fakta-fakta yang memuaskan dan menyadarkan. Ironinya ini juga terjadi pada gerakan, terutama gerakan pelajar: masih banyak anggota gerakan mahasiswa yang bilang buruh tak ditindas. Orang-orang seperti ini melihat ketertindasan sebagai suatu realitas yang harus mengaktual dan bisa dilihat secara kasat mata. Bagi aktivis-aktivis ini, buruh yang makan di McD dan KFC serta membeli Samsung adalah buruh yang sejahtera, dengan demikian tidak pantas disebut tertindas. Apalagi jika sepeda motor kendaraan si buruh lebih mewah dari punyanya, maka semakin tak ada alasan untuk mengatakan buruh itu tertindas. Ditambah lagi, kata manusia-manusia ini, buruh kerja dengan suka rela tanpa keterpaksaan berarti tanpa penindasan!
Ironi sekali bukan? Ketertindasan hanya dipahami sebagai yang nampak oleh indera dan dirasakan oleh pikiran. Mungkin manusia-manusia ini tidak pernah membaca rubrik Logika Dede Mulyanto dan Martin Suryajaya. Pandangan begini jelas bermasalah. Ketertindasan itu perkara objektif yang keberadaannya terlepas dari sadar atau tidaknya subjek. Mau buruh itu merasa ditindas atau tidak, tidak mengubah apapun: bahwa nilai kerjanya diambil menjadi nilai lebih oleh pemegang modal. Lagi pula, apa dengan buruh makan di McD dan KFC serta punya Samsung itu menjadi variabel untuk menentukan ketertindasan? Lah, sahabat saya itu punya Samsung, pernah makan di KFC dan McD tapi nyatanya justru lebih sering dia menangis karena merasa menderita menjadi buruh.
Selain itu, memangnya jika mereka buruh, apa mereka tidak diperkenankan untuk makan di McD atau KFC? Apa mereka tidak boleh punya telepon genggam sekelas Samsung Galaxy S6? Bukankah justru McD, KFC, Samsung dan sejenisnya itu tak pandang bulu ketika memasang iklan? Bukankah barang-barang ini juga memang diproduksi secara massal? Mana peduli perusahaan-perusahaan itu dengan kelas, untuk mendapatkan konsumen di pasar? Siapa punya uang dia bisa beli barang-barang itu, tak urusan dari mana dan seperti apa dia dapat uang. Buruh juga ingin senang, pengen sama seperti yang lainnya menikmati ayam goreng KFC, burger di McD, dan kecepatan yang dijanjikan di era digital dengan menggunakan hp canggih. Menjadi buruh tak harus makan singkong rebus dan komunikasi dengan surat yang disampaikan oleh burung merpati, bukan? Ini perkembangan jaman. Kalau mau disalahkan itu bukan buruh tapi kapitalisme itu sendiri. Sementara kapitalisme tak akan mati dengan membakar KFC, McD atau menggunakan surat via merpati.
Nalar seperti ini, sama saja dengan nalar penguasa penentu UMR dan KHL. Bagi pejabat-pejabat ini, buruh tak usah makan enak, tak perlu bergizi bagus yang terpenting cukup buat besok bisa kerja lagi. Makanya, bagi pemerintah, upah buruh tidak perlu tinggi. Jika pemerintahnya begini, sementara kader gerakan mahasiswa yang selalu berteriak menyuarakan rakyat juga seperti itu, kemudian pertanyaannya: pada siapa hidup sulit buruh itu dicurahkan?
Jelas sekali, pandangan ini membuat semakin sulit saja hidup di negeri ini. Cari makan sulit, menuntut hak dihajar, ingin mencari pertolongan pada sang pahlawan gerakan ketertindasannya tidak dipercaya. Seharusnya kalian, para anggota gerakan ini, menyadarkan bahwa ada keterindasan dan mengajak untuk bersama melawan, bukan malah nyinyir hanya karena buruh terlihat hidup enak.
***
Belum berhenti cerita sulitnya hidup di negera ini. Kemaren ada pahlawan tiba-tiba datang dengan menggaungkan bela negara. Siapa dia? Tentu kita sudah tahu, dialah Menteri Pertahanan kita. Sang Jenderal (Purn) itu berkata:kalau semua warga-bangsa Indonesia harus bela negara, wajib hukumnya. Tak tanggung-tanggung, bagi Menhan, bela negara ini harus diterapkan semenjak TK sampai usia 50 tahun, semua kena. Bagi aktivis yang nyinyir soal keterindasan buruh tadi, gagasan bela negara versi Menhan ini pasti dibilang heroik sekali. Bela negara! Bagaimana tidak heroik, kita dituntun membela negara kita? Apalagi si Menhan berkata, dengan bela negara ini nantinya persoalan dari konflik tukang ojek sampai masalah asap yang lagi ramai itu akan dengan mudah terselesaikan. Di benak si Menhan, bela negara adalah koentji atas semua persoalan di negeri ini.
Akan tetapi, benarkan begini? Soal apa yang hendak dibangun dan apa nalar di balik bela negara versi Menhan ini harus dijawab. Jadi tolong bagi para aktivis yang nyinyir jangan mudah kagum dengan hal-hal begini. Ragukan dulu, ragukan dan bertanyalah!
***
Dalam bayangan Menhan, masalah di negara ini disebabkan oleh kurangnya nasionalisme dan patrotisme. Oleh karena itu, dengan bersemangat ia memberikan bela negara sebagai kunci jawaban atas persoalan-persoalan itu. Dia bahkan menyebut ini adalah penerjemahan atas Revolusi Mental Jokowi. Baiklah, apa yang bermasalah dari bela negara model Menhan ini?
Connie Rahakundini Bakrie dalam tulisan berjudul Pertahanan nan Hilang Arah telah mengkritik sang Menhan bahwa ia telah gagal menerjemahkan visi kemaritiman Jokowi. Alih-alih membuat sistem yang memperkuat pertahanan laut dengan disokong udara, Menhan justru sibuk memiliterkan sipil. Sebenarnya hal ini tidak aneh, mengingat Menhan adalah Jenderal dari Angkatan Darat. Sejarah negeri ini mencatat, Angkatan Darat memang lebih sibuk ngurusi persoalan di dalam, sehingga dalam persepsi mereka ancaman stabilitas dan pertahanan negara justru datang dan diganggu oleh komponen dalam negeri. Siapa komponen dalam negeri yang dipandang menjadi musuh? Jawabannya mudah, lihat saja siapa yang sering dihajar oleh AD: rakyat-rakyat yang justru menuntut hak hidupnya.
Nasionalisme, Pancasila dan Patriotisme yang diajarkan bela negara versi Menhan tentu dapat dilihat dengan mudah sebagai versi militer (konkritnya: AD). Dengan begitu, warga akan diajak untuk memiliki nalar seperti militer. Setelah bernalar begitu, warga akan mudah dibuat tertib. Jika masih ada yang melawan tinggal tuduh saja kadar bela negaranya lemah, mengganggu stabilitas negara dan berpotensi untuk memecah integritas bangsa, maka semangat sipil yang dimiliterkan itu akan naik dan ikut menghajar yang melawan itu. Hal ini sudah dapat dilihat dari ungkapan Menhan sendiri ketika berkata siapa yang tidak mau bela negara tinggal diusir saja. Ungkapan ini jelas ancaman, begitu mudahnya seseorang akan dicap tidak membela negara dan harus diusir minimal dipukuli. Mirip Orde Baru sekali, bukan?
Jangan berharap Pancasila, nasionalisme dan patriotrisme yang diajarkan itu seperti gagasan Soekarno. Pancasila, nasionalisme dan patriotisme Soekarno itu tujuannya menyelamatkan kaum Marhaen. Musuhnya jelas: kapitalisme-imperialisme-kolonialisme dan feodalisme. Jika pun yang dibawa adalah gagasan Soekarno, tak mungkinlah Menhan mendahulukan bela negara daripada kesejahteraan rakyatnya. Padahal jelas-jelas, selama ini negara yang dimaksud itulah yang memiskinkan, menelantarkan dan menyusahkan rakyat.
Akankan kita membela yang selama ini membuat kita hidup susah? Akankah kita membela yang selama ini melantarkan kita? Kalau saya ogah.***
oleh : Mastono
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Filsafat UGM
Sumber tulisan : http://indoprogress.com/2015/10/bela-rakyat-yes-bela-negara-no/
Post a Comment Blogger Facebook