“Untuk bisa menyelundupkan senjata ke Palestina, mereka harus melewati Israel. Bagaimana caranya agar senjata-senjata itu tidak ketahuan tentara Israel? Tubuh-tubuh para remaja Palestina usia sepuluh tahun itu dimasukkan senjata yang di potong-potong,”jelas Bendri dihadapan para peserta Pesantren Kilat (Sanlat) Anak Ramadhan 1435 H di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta, Senin (30/06/2014).
Cerita itu merupakan hal baru yang didengar para peserta Sanlat. Mimik wajah anak-anak itu seperti berusaha membayangkan saat senjata itu sedang diselusupkan di tubuh anak-anak Palestina. Tidak terbayangkan bagaimana laras logam dan besi dimasukkan ke dalam tubuh.
“Tubuh-tubuh mereka dioperasi untuk kemudian menjadi tempat penyimpanan senjata. Begitu mereka masuk perbatasan yang dijaga ketat oleh tentara Israel, tidak sedikitpun ketahuan. Tentara itu cuma heran, kenapa anak-anak yang awalnya badannya kecil, ketika pulang dari Jordan tambah besar badannya,”ungkap Bendri selepas shalat tarawih.
Begitu sampai di Palestina, mereka segera mencari dokter untuk melakukan pembedahan.. Potongan senjata yang dibawa secara bertahap itulah yang melengkapi persenjataan Brigade Al Qassam. Setidaknya sekali dalam sebulan hal tersebut dilakukan. Diusia belia, mereka berani menyerahkan jiwanya.
“Ketika ditanya apakah mereka tidak kesakitan dioperasi? Mereka menjawab, jiwa raga sudah kami gadaikan pada Allah. Rasa sakit ini semua sudah kami serahkan pada Allah,”tutur pria yang aktif di Yayasan Langkah Kita Sahabat Ayah itu menirukan alasan mereka.
Anak-anak usia delapan tahun juga ikut berjihad. Mereka bertugas mencari tikus di gorong-gorong bawah tanah. Setiap anak, tambah Bendri, bertugas mencari 100 ekor tikus. Ekor-ekornya dipasangi kaleng yang akan berbunyi saat bergerak.
Tikus-tikus itu dijadikan alat teror dengan menyebarkannya ke pemukiman dan apartemen penduduk di Tel Aviv, Israel. “Akibatnya, banyak penduduk eksodus keluar dari Tel Aviv,”jelasnya.
Anak-anak Palestina tidak cengeng atau bahkan putus asa atas prahara yang menimpa negerinya. Semangat mereka bertambah dari hari ke hari. Usia tidak menghalangi untuk berjuang menegakkan Islam. Jumlah mereka yang hanya belasan orang, memiliki kekuatan penuh. Kecintaan pada Allah menjadi pengikat diantara hati-hati mereka.
Lebih lanjut, Bendri meyakinkan peserta Sanlat. Anak-anak Indonesia-pun bisa memiliki kecintaan terhadap agama yang tinggi asalkan mau bersatu dan tidak mudah bertengkar. Antara muslim yang satu dengan muslim lainnya ibarat satu tubuh. Jika ada salah satu bagiannya sakit, maka anggota tubuh lainnya juga ikut sakit, bahkan tidak bisa tidur.
“Ketika nanti ditanya identitas kita, maka kita akan bangga menjawab, saya muslim,”pungkas Bendri. [yy/hidayatullah.com]
Post a Comment Blogger Facebook