Dalam debat capres-cawapres sesi terakhir yang diselenggarakan KPU, Jokowi seolah-olah mengklaim Kebijakan Satu Peta merupakan ide besar dari dirinya untuk mengatasi tumpang tindih pengelolaan hutan, dan akan diterapkan jika kelak terpilih sebagai presiden. Padahal kenyataannya, upaya menuju kebijakan tersebut sudah digarap oleh pemerintahan SBY sejak beberapa tahun terakhir.
"Saya sedih, sebagai orang yang mengajukan diri pengganti SBY, Pak Jokowi dalam debat terakhir mengesankan one map policy adalah murni idenya. One map policy merupakan produk Badan Informasi Geospasial, ide besarnya SBY!" ujar Staf khusus Presiden SBY, Andi Arief, dalam pesan yang dipancarluaskan melalui Blackbarry Massanger, tadi malam (Minggu, 6/7).
Andi Arief menilai atas pernyataannya itu Jokowi sebagai pembohong. Menurut dia ide besar mengenai Kebijakan Satu Peta muncul pertama kali pada Rapat Kabinet 23 Desember 2010. Saat itu Presiden SBY mengatakan, "Saya ingin hanya satu peta saja sebagai satu-satunya referensi nasional!"
Dalam perkembangannya, kata Andi Arief menginformasi, sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011, tugas-tugas terkait pembinaan dan pengintegrasian Informasi Geospasial Tematik diamantkan kepada Badan Informasi Geospasial (BIG), yang pelaksanaanya diselenggarakan oleh lebih dari satu instansi pemerintah dan atau pemerintah daerah.
Dalam rangka melaksanakan aksi gerakan menuju Satu Peta Indonesia, pada tahun 2013 dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Informasi Geospasial Tematik, yang terdiri dari 12 (dua belas) Pokja. Agar hasil kerja sub pokja dapat dirasakan oleh masyarakat luas antara lain sudah diselenggarakan Peluncuran One Map IGT Pemetaan Pesisir dan Laut.
Andi Arief menyayangkan betul sikap Jokowi yang tak mau mengakui prestasi pemerintahan SBY dan mengesankan dirinya yang paling hebat. Dalam catatan Andi Arief, sikap yang sama ditunjukkan Jokowi terkait penjualan Gas Tangguh. Jokowi tak mau mengakui hasil renegosiasi harga jual Gas Tangguh hasil ikhtiar pemerintahan SBY yang kini mencapai 12 dolar AS per MMBTU, padahal saat kontrak dengan Tiongkok dilakukan di masa Presiden Megawati Soekarnoputri gas asal Papua itu dijual hanya di kisaran 3 dolar AS per MMBTU.
"Untuk kesekian kalinya Pak Jokowi tidak memberikan pendidikan ke rakyat, tidak mengapresiasi keberhasilan dan mengklaim ide milik orang lain," tulis Andi Arief.
Post a Comment Blogger Facebook