Warga menyebrangi jalan di Rio de Janeiro. Hudson Pontes / Agência o Globo.
Ternyata memang benar. Saat saya hendak menyeberang, sulitnya minta ampun. Mobil-mobil di Rio memang sangar. Mungkin karena jalannya mulus dan kebanyakan orang memakai mobil yang terbilang baru, jadi mereka memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, entah saat mereka keluar rumah atau saat sudah di jalanan nan mulus. Demikian juga bus. Mereka mengebut tanpa peduli ada orang yang sedang berdiri persis di pinggir trotoar.
Saat menyeberang jalan, seperti yang diceritakan kawan Brasil saya itu, mereka tak pernah mau rela pejalan kaki mengambil jalannya saat lampu lalu lintas menyala hijau. Sebaliknya, saat lampu berwarna merah, jangan harap pejalan kaki bisa santai karena, begitu waktunya habis, suara klakson dan gas langsung bersahut-sahutan.
Nah, sang teman ini makin keki ketika mendengar penjelasan saya bahwa di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, menyeberang jalan bukan persoalan yang sulit. Meski dalam keadaan lampu hijau, kalau si penyeberang meminta jalan dengan mengacungkan tangannya, mereka pun akan melambatkan jalannya. "Wah enak sekali...," katanya, takjub.
Namun si teman benar-benar takjub ketika kami terjebak dalam sebuah ruas jalan. Kendaraan di sana pun melintas dengan kecepatan tinggi. Kalaupun ada yang membuat perjalanan mereka tersendat, hal itu karena banyak bus yang berhenti di halte di seberang jalan. Memang tujuan kami adalah mendapatkan bus yang berhenti di halte itu.
Dengan memakai ilmu menyeberang jalan yang sering saya pakai di Jakarta, saya langsung ambil keputusan untuk menyeberang. Si teman sempat membentak saya, karena dianggap nekat. Tapi syukurlah saya berhasil sampai lebih dulu di halte yang harus kami tuju. Setelah hampir lebih dari 15 menit, barulah dia bisa menembus kendaraan yang tengah sepi.
Meski sempat marah, dia tetap memuji. Kata dia, saya pintar membaca situasi. Saya hanya tersenyum. Rasanya tak tahan untuk segera membocorkan rahasia kehebatan itu, bahwa semua itu didapatkan dari hasil menyeberang dari mobil yang berhenti di pintu keluar tol.
Ah, tapi saya memilih diam saja. Hanya bisa tersenyum bangga. "Brasil boleh saja bisa lima kali juara dunia, tapi sekarang saya mengalahkan Anda," kata saya seraya tertawa.
Post a Comment Blogger Facebook