Harus diakui, strategi istana mengundang makan malam para pimpinan eksekutif mahasiswa adalah cara yang bagus, dan jitu.
Semua pihak berhak menjalankan upaya-upaya "diplomasi" untuk tujuan pencairan kebekuan, untuk tujuan lebih jauh: menghindari kekerasan. Apalagi medium diplomasi yang ditempuh adalah "Dinner". Ini adalah cara, yang secara naluri-alamiah, berpeluang besar efektif. Manusia dengan perut terisi akan lebih mudah diajak berbicara dibanding jika ia sedang lapar.
Amerika dan Tiongkok pernah berdiplomasi dengan medium ping-pong. Dari main ping pong, yang orang Tiongkok sangat mahir -dan Amerika harus sedikit menyesuaikan diri karena mereka sebenarnya lebih mahir main tennis lapangan- kebekuan Amerika-Tiongkok mencair.
Kedua bangsa kelak saling ber-mutual benefit. Amerika dapat celah untuk memperkenalkan sistem kapital, Tiongkok dapat celah untuk mengembangkan ekonomi dengan tetap mempertahankan sistem komunal.
Walau sekarang Amerika "menderita" (suffer) akibat serangan produk-produk murah meriah Tiongkok -yang menyebabkan banyak produk made in America kalah bersaing di tanah airnya sendiri- tapi setidaknya mereka bisa "meredam" pengaruh ideologis Tiongkok, sesuatu yang Amerika ingin hindari.
Pengalaman ideologi NAZI dan FASIS yang mekar era 30-an telah memaksa Amerika mengorbankan jutaan pemudanya untuk berperang di dekade berikutnya. Dalam keadaan "makmur", Tiongkok diperkirakan bisa mengurus dengan baik milyaran rakyatnya, ketimbang mencetak mereka menjadi mesin perang untuk mencari bahan makanan pengisi perut.
Kembali ke diplomasi makan malam istana. Semuanya berpulang kepada kedua belah pihak yang saling berdiplomasi di antara denting sendok dan piring. Mutual benefit apa yang diperoleh masing-masing pihak.
Jika mutual benefitnya terpantul menjadi benefit bersama bagi kebaikan bangsa, kita wajib terima itu. Jika benefitnya parsial -hanya dinikmati para pihak secara individual-, maka terkutuklah semua pihak yang berdiplomasi di sana. Karena: istana sebagai pemegang mandat adalah pihak yang perlu dikontrol, mahasiswa sebagai elemen rakyat yang independen adalah pengontrol terbaik.
Satu hal yang wajib dimasukkan dalam diplomasi dinner ini adalah: jaman telah berubah. Dunia saat ini ada dalam genggaman orang per orang.
Dulu, hanya mahasiswa saja yang bisa bersuara lantang karena mereka bisa bersuara di mimbar akademik dan jalanan. Sekarang, yang sudah sarjana pun tetap bisa bersuara, bahkan lebih lantang karena mereka sudah merasakan pahit getirnya hidup, karena adanya mimbar internet. Mimbar ini lebih viral, dinamis, dan massif. Melebihi kemampuan corongloudspeaker demonstran jalanan. Mimbar ini tak bisa didikte para pengelola media, yang sekarang banyak menggadaikan diri pada cabang-cabang kekuasaan.
Pada akhirnya, para mahasiswa yang berdiplomasi dinner kemarin itu, akan dinilai oleh publik: apakah mutual benefit diplomasi yang mereka lakoni itu untuk kepentingan publik, atau, benefit personal.
(Canny Watae)
Follow @wisbenbae
Post a Comment Blogger Facebook