GuidePedia

0
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpTanKP3LG5uiO6MY8ESzjnJGYXov2P-NZjn4LDEBVtAdRYWN4fheqFXnV3hXUNJqLz8ZiKAysP1I4lExtiiq1WxBtPIG7eVG1QsvqFGxddHly-wUKxMSLI0mfd8LIIH3FYAjK/s400/IMG_1097.JPG

“Of course, sunset. Sunrise is overrated.” Jawab Matthew, ketika saya menanyakan manakah yang lebih dia suka, antara sunset atau sunrise. Dan apabila saya menambahkan satu variabel lagi, yaitu wanita Indonesia, mungkin jawaban Matthew akan berbeda. Memang, untuk melihat sunrise, kita harus bangun lebih pagi, meninggalkan kenikmatan duniawi, memakai pakaian hangat, sebelum menuju spot sunrise, seperti yang saya lakukan di Bromo. Sedangkan untuk menikmati sunset, tak perlulah bangun pagi, cukup tahu di mana lokasi sunset-nya, lalu tinggal berangkat menuju ke sana pada sore hari, dengan pakaian seadanya.

Namun ternyata tidak demikian halnya dengan sunset di Jailolo, yang untuk mendapatkannya membutuhkan lebih dari perjuangan dan doa anak saleh. 
 

Kamis – Hari Pertama
Pukul lima sore. Saya bersama rombongan media Festival Teluk Jailolo telah tiba di pemandian air panas Desa Gamtala, yang merupakan starting point untuk menuju pantai Lako Ake Lamo –yang dikisahkan memiliki sunset yang menawan. Untuk mencapai pantai tersebut, kita harus menyusuri sungai dengan hutan mangrove di kanan kirinya menggunakan perahu kecil yang memang disediakan untuk umum.

Hari itu adalah hari pertama saya di Jailolo, setelah terbang dini hari dari Jakarta menuju Ternate dan disambut sunrise yang mewah melalui jendela pesawat, saya berharap keberuntungan dapat membawa saya menyaksikan sunset yang spektakuler di Jailolo. Dan berbicara keberuntungan, sore itu hujan turun mengguyur Gamtala. Deras.

Kami berteduh di sebuah pondok, merapat sambil menghangatkan badan, sementara tak jauh di sana ada warga lokal yang sedang merebus batu-batu kecil “Itu supaya hujan segera reda.” Ucap seseorang diantara kami, tentang kepercayaan lokal warga setempat itu. Saya hanya membatin, tak mau menyangkal kepercayaan tersebut. Tak lama kemudian hujan mulai reda, entah karena rebusan batu tersebut, atau karena ada yang diam-diam melempar celana dalam ke atap pondok.

Menyusuri hutan mangrove di Gamtala.

Hujan belum sepenuhnya habis ketika dua buah perahu membawa kami menyusuri sungai yang lebarnya tak lebih dari tiga meter itu. Airnya jernih dan hangat, walaupun endapan lumpur membuatnya terlihat gelap. Beraneka tanaman tumbuh di pinggiran sungai –dan lebih banyak lagi ke dalam, berpadu dengan suara aneka burung dan serangga yang mengalun nyaring. Kami sedang khusyuk mendengarkan ucapan si pemandu tentang asal usul sungai itu, ketika hujan mulai turun lagi.

“Kita menepi, atau terus?” Teriak si pemandu ketika kami melewati rumah singgah yang direncanakan akan digunakan untuk makan malam nantinya.

“TERUSSSS!” Ucap kami semangat, meminta si pendayung untuk lebih cepat, guna mengejar perahu di depan. Sudah terlanjur basah, ya sudah basah sekali, pikir saya, tanpa bersenandung dangdut.

Tak beberapa lama, hujan justru turun semakin lebat. Saya memeluk erat daypack –setengah meringkuk, berharap dapat melindungi isinya dari air. Tiba-tiba perahu yang semula berada di depan, sudah berputar arah dan tiba di hadapan kami. “BALIK! BALIK! BALIK!” Seru mereka hampir bersamaan. Di antara gelapnya langit dan derasnya hujan, badai datang. Dan saat itu tak ada yang membawa kompor untuk merebus batu.

Jumat – Hari Kedua

“Pokoknya aku mau lihat sunset!” Seru Dina sesaat setelah kami selesai menyelam di Pastofiri. “Follower-followerku sering pada nanyain foto sunset.”. Saya hening. Perkataan tersebut menyatakan dua hal, yaitu: (1) Dina anak Twitter, dan (2) Kami harus mencari sunset segera.

Berikutnya, kami berkumpul di depan Camar –sebuah wisma tempat Matthew menginap selama di Jailolo, dan masih belum memutuskan akan ke mana. Yang penting cari ojek dulu, pikir kami saat itu. Untung saja, lokasi ojeknya terletak tak jauh dari situ, dan kami dapat menemukan tiga orang tukang ojek yang baik hati, tidak sombong, dan memasang tarif 30.000 rupiah untuk perjalanan ke Dermaga Saria.

“Kalau sunset ya di Saria.” Papar seorang tukang ojek. “Tapi di Bobo juga bisa ding.” Tambahnya, labil.

“Jadi ke mana nih, Pak?” Tanya Dina gemas.

“Ke Saria saja ding, view-nya lebih bagus.” Jawabnya. “Di sana bisa lihat tiga pulau. Ternate, Tidore, dan Hiri.”







Kurang lebih 30 menit perjalanan ke arah barat bukan untuk mencari kitab suci, bapak tukang ojek membelokkan motornya ke arah kiri, menapak jalan berbatu yang belum diaspal. “Di sini jalannya kurang bagus, sudah rusak karena banyak kendaraan berat yang lewat.” Curhatnya.

“Terus Pak Bupati, bagaimana, sudah tahu?” Usik saya, usil.

“Mungkin kelewat, Mas.” Jawabnya, waktu kami melewati sekumpulan kerbau yang sedang asyik bermain di lapangan sisi kanan jalan. Dan lucunya, jalan mulai mulus lagi setelah melewati sepetak hutan. Benar, mungkin cuma kelewat belum diaspal saja.

Setelah melewati jalan menurun yang cukup curam, kami tiba di sebuah perkampungan. Penduduk setempat (yang tak jauh beda dengan penduduk yang kami temui sepanjang perjalanan) berisik memanggil Matthew yang sedang membonceng ojek, mereka berteriak sambil melambaikan tangannya. “Mister! Mister!“, “Hey Mister. How are you?“, “Mister, I love you!” adalah ucapan-ucapan yang sering terdengar.

“I hate it.” Komentar Matthew, mengenai panggilan Mister yang masih disematkan ke dirinya walaupun sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia. “I want to be called by ‘Pak’.”. Ya, dengan tinggi yang hampir dua meter, kulit putih, rambut pirang, dan hidung mancung, seorang Matthew ingin dipanggil Pak karena telah lama tinggal di sini. Yeah, you’re right, Pak Mister.

Dermaga Saria

Kami duduk bersebelahan mengambil tempat di sudut dermaga kayu, dengan Pulau Ternate, Pulau Tidore, dan Pulau Hiri berjajar rapi di hadapan kami. Sebuah kapal nampak merapat ke pelabuhan, sementara beberapa orang hilir mudik di dermaganya, dengan deburan ombak sebagai background music-nya. Sebuah keriuhan yang membuat tenang dan damai.

Awan bergulung gelap di langit, dan tak ada pertanda matahari akan tenggelam di sini. Di hari kedua pencarian sunset di Jailolo, kami gagal lagi.

Sabtu – Hari Terakhir

Hari terakhir di Jailolo, yang berarti kesempatan terakhir untuk melihat sunset. Menyaksikan matahari terbenam, mungkin cuma sebuah prosesi di mana matahari seolah-olah tenggelam di ufuk barat, namun tahukah kamu bahwa sesungguhnya bukanlah matahari yang terbenam, namun justru bumi yang berotasi terhadap matahari? Yang membuat hal ini luar biasa adalah bukan mataharinya, namun pada situasi dan efek apakah yang ditimbulkan matahari terhadap penikmatnya.

Saya menarik Matthew dari kerumunan warga lokal yang meminta foto bersamanya, supaya segera bersiap naik ojek ke spot sunset berikutnya. Di Kecamatan Jailolo, kedatangan warga asing mungkin hanya akan dapat disaksikan pada helatan Festival Teluk Jailolo, atau acara khitanan sultan saja. Maka adalah hal yang lumrah apabila seorang bule –seperti Matthew, dielu-elukan dan diajak untuk foto bersama. Jika di Thailand kita harus membayar warga lokal untuk dapat foto bersama, mungkin di Jailolo warga lokal yang seharusnya membayar bule untuk foto bersama. Ke depannya, mungkin dapat dihimbau kepada bule-bule untuk mencari kerja di Jailolo, sebagai tugu peringatan.

Sebelumnya, Dina telah bertanya pada seorang pria berseragam PNS yang ditemuinya di seberang sebuah pasar tradisional Jailolo, tentang di manakah tempat yang tepat untuk menikmati sunset di Jailolo. Si pria menunjukkan foto dari telepon genggamnya, sebuah langit berwarna merah yang menyatu dengan laut. “Ini sunset di Pantai Marimbati.” Jelasnya.






 
Perjalanan ke Pantai Marimbati merupakan perjalanan ojek terlama yang saya alami di Jailolo. Menempuh rute ke arah timur teluk, si tukang ojek membawa saya melewati Desa Gamtala kembali, sebelum berbelok ke kiri menuju Pantai Marimbati. Itu masih ditambah dengan pamer keahlian menyetir motor ugal-ugalan, menyalip beberapa kendaraan dengan satu tangan, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengetik SMS.

Si tukang ojek menghentikan motornya di halaman belakang sebuah rumah berwarna kuning yang nampak sudah tidak berpenghuni lagi. “Ini rumah Sultan terdahulu.” Ucapnya. “Namun sekarang sudah tidak ditempati lagi.”. Berikutnya, dia bercerita bahwa Sultan selalu menempati rumah yang berlokasi antara pantai atau gunung. Tujuannya, adalah apabila terjadi bencana seperti tsunami atau gunung meletus, maka bencana itu hanya akan berhenti di tempat Sultan, tidak akan sampai ke warga.

Beberapa langkah dari rumah Sultan, membentang luas Pantai Marimbati yang merupakan tujuan kami, para pencari senja.







Pantai Marimbati, bukanlah pantai yang spesial. Walaupun memiliki garis pantai yang panjang dan diapit gunung di kanan kirinya, pantai ini memiliki pasir berwarna hitam, dengan tumbuhan rambat yang memenuhi sepertiga pantainya. Seonggok perahu bekas dibiarkan membusuk diantara tumbuhan tersebut, sementara beberapa nelayan nampak melaut di kejauhan dengan perahunya yang masih laik pakai.

Saya duduk di sela-sela tumbuhan tersebut, sambil memperhatikan keadaan sekitar. Matthew duduk bersandar pada sebatang kayu di pinggir pantai, Dina sibuk memainkan kameranya di samping saya, dan saya tiba-tiba diminta menjadi model untuk kamera Dina.

Senja di Pantai Marimbati

Ups! Saya lupa bilang kalau senja telah turun di Pantai Marimbati. Senja yang menjawab dahaga kami akan senja terindah di Jailolo, senja yang merupakan buah penantian dan perjuangan kami, sekaligus senja yang membuat kami menambah waktu tinggal di Pantai Marimbati karena terpesona akan keindahannya.

Hari telah gelap ketika kami kembali ke pusat kota, dan saya memeluk erat si tukang ojek.  
 

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top