Apakah Anda yakin pasangan Anda sudah tercerahkan bahwa perempuan juga manusia yang akalnya boleh digunakan setara dengan kaum Adam? Apa? Belum? Modyar ae.
Sesusah-susahnya jadi perempuan, ia selalu sah untuk selfie dan mengunggahnya dengan bahagia di media sosial. Perempuan juga bebas gosip sana-sini, membicarakan sesama teman perempuan maupun laki-laki, bebas mengeluh apa saja di akun media sosial pribadinya, monyong-monyong bibir tak lama kemudian, dan tetap mendapat banyak jempol dan pujian modus di kolom komentar.
Bagaimana dengan laki-laki? Tentu tidak begitu. Ruang gerak laki-laki sungguh terbatas. Sist-sist semua tentu akan segera memblok akun laki-laki yang monyong-monyong, apalagi sambil miring-miringin kepala atau badan karena takut ketahuan berbadan lebar. Mas Arman Dhani atau Mas Nuran, setahu saya tegar menghadapi kenyataan angka di timbangan dan belum pernah foto miring-miringin badan.
Laki-laki yang tidak membicarakan gagasan apapun di media sosial, barangkali ditakdirkan dengan kesombongan yang lain, seperti pamer motor atau mobil sport, gawai, plesiran di alam, atau update jadwal Liga Champions. Sebagian kecil sekali, merasa telah jantan dengan joke meme personel JKT 48, polwan cantik, atau artis seksi bookingan.
Tetapi, tetap saja, yang berhak meramaikan linimasa dengan wajah close up pamer lippenpuluhan seri, tas Prada KW 10, jadi bakul hijab musiman, gambar makanan, foto pasangan, album perkembangan balita dari ASI ekslusif sampai usia yang tidak ditentukan, aneka rupa jualan, tautan-tautan semacam “doa untuk calon jodohku”, serta panduan hidup mutakhir ala Mario Teguh, adalah kita semua, wahai kaum perempuan yang tak pernah salah dan tak mau disalahkan!
Di tengah peradaban linimasa yang dikuasai oleh kaum perempuan macam itu, angin segar berhembus dari Teen Vogue yang merilis daftar “10 Badass Young Feminist Who Are Totally Changing The Game in 2016”.
Adalah seorang Sonita Alizadeh, muslimah rapper berusia 19 tahun asal Afghanistan yang giat bersuara untuk menyuarakan penolakan pada pernikahan di bawah umur. Setiap tahun, di negaranya, 15 juta anak perempuan di bawah umur dipaksa menikah. Mereka tidak punya pilihan, tidak sempat memikirkan masa depan, serta tak berhak mengembangkan diri. Sonita, yang memiliki kesempatan kabur ke US untuk studi, terus berkampanye agar para gadis memperoleh kemerdekaan berpendapat.
Ada pula nama Amani Al Khatahtbeh. Gadis berusia 23 tahun ini ialah founder sebuahplatform online MuslimGirl.net. Laman tersebut mengangkat suara perempuan untuk berani berbicara tentang segala hal mulai dari kultur pop hingga peristiwa-peristiwa terkini. Mengajak perempuan menulis kolom pemikiran, khususnya muslimah dunia, agar dapat membela dirinya sendiri dengan kesadaran berwacana. MuslimGirl selalu siap berkonfrontasi dengan stereotipe negatif terhadap perempuan dan berjuang untuk mendukung kebijakan yang berkaitan dengan perbaikan nasib kaum Hawa.
Saya pribadi sebenarnya termasuk orang yang males dengan istilah feminis, maskulinis dan is-is lainnya. Belum lagi segala macam turunannya, mulai dari feminis radikal, feminis pecinta lingkungan, feminis sosialis, hardcore feminist, dan banyak lagi. Kebanyakan label, terlalu sloganistis, tapi ujung-ujungnya cuma sibuk berkutat pada definisi, sibuk meneguhkan posisi, perang gosip, hingga akhirnya berantem antar kolektif sana-sini.
Apa dan siapa yang dibela? Nggak jelas. Lihat aja konten zine-zine kolektif feminis anti seksis yang banyak berisi curhat dianiaya mantan dengan kekerasan fisik dan serapah umpatan pada laki-laki. Nah loh? Siapa yang seksis? Saya jadi terpaksa ingat dengan oma-oma Gerwani yang garang, tapi tetap saja lemah di hadapan Pak Karno. Ah, Oma…kita memang tetap perempuan yang baper sejak dalam proses persalinan.
Tapi, Sonita dan Amani, mereka barangkali adalah para feminis yang suci sejak dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Meski, tentu saja, akan ada yang akan memandang sederhana perbuatan mereka: “Biasa aja keleus kampanye sama bikin web doang sih gue juga bisa!”
Yakin bisa?
Menghentikan pernikahan di bawah umur itu bukan perkara sederhana. Dunia yang modern ini, sayangku, ternyata hanya ilusi. Di kota-kota di Jawa, barangkali kurang dari 10 km dari rumah Anda, gadis-gadis desa yang tidak disekolahkan orangtuanya adalah fakta. Para orang tua akan menjual tanah demi anak laki-laki jadi tentara atau polisi lengkap dengan amunisi motor Ninja agar lengkap ia membusungkan dada pada ciwi-ciwi SMA.
Lalu anak gadisnya? Ah, lebih baik segera dinikahkan saja.
Membuat platform online sebagai media perempuan untuk mengartikulasi gagasan juga tidak sederhana, Sista. Lihatlah, walaupun kita punya banyak majalah wanita, isinya tak jauh dari iklan kosmetika, fashion, dan ramalan asmara. Jikapun ada tulisan, palingan cuma tips tentang cara memilih tukang sulam bibir atau cara bergaul yang baik, bukan tentang apa yang penting diobrolkan dalam pergaulan. Berbeda jauh dengan editorial Soleh Solihun di majalah Playboy atau RollingStone. Perempuan, di tengah gemerlap zaman kebebasan, tanpa sadar tetaplah terpingit oleh hal-hal artifisial.
Itulah pasal mengapa eksploitasi tubuh perempuan tetap kemripik bagai taburan wijen pada onde-onde sebagaimana tercitra dalam iklan televisi, papan reklame di jalan-jalan, film, majalah, atau samping kiri-kanan beranda akun fesbukmu. Kata “cantik” atau “seksi” selalu menjadi identitas kunci berita tentang perempuan baik yang syar’i maupun yang berbikini. Perempuan tak layak menyandang identitas “cerdas”, “bijak”, dan lainnya.
Persoalannya, menjadi cerdas, bijak, apalagi bercita-cita jauh mencapai derajat “khalifah” itu soal kemauan untuk mengaktifkan tombol “ON” akal sehat yang sudah dititipkan Tuhan kepada manusia.
Sukinah, perempuan pemimpin pergerakan tolak tambang semen di Rembang sana barangkali tak pernah sekolah. Tapi akal sehatnya terus diasah lewat kesadaran panca inderanya bersama alam. Yu Sukinah pasti tidak pernah update status berisi analogi menggelikan tentang perempuan-perempuan yang belum berjilbab setara buah busuk yang dikerubut lalat.
Setelah semua uraian panjang lebar ini, masihkah Anda menganggap para perempuan (penggerak itu) biasa-biasa saja? Barangkali sist sekalian perlu membaca Persepolis atau Embroideries, novel grafis karya Marjane Satrapi yang menyadarkan kita bahwa hal remeh macam “berkata tidak” dan menyuarakan kehendak, memang tidak mudah bagi banyak perempuan. Tak perlu jauh ke Iran atau Afghanistan, kok.
Contoh sederhana, apakah Anda yakin pasangan Anda sudah tercerahkan bahwa perempuan juga manusia yang akalnya boleh digunakan setara dengan kaum Adam?
Apa? Belum?
Modyar ae.
Post a Comment Blogger Facebook