Di antara semua limbah informasi, ada satu fakta valid, tak terbantahkan, dan terkonfirmasi secara baik: Mas Polisi yang itu ganteng!
Salah satu yang bikin ayem di antara gemuruh berita bom Sarinah adalah berita tentang Mas Polisi ganteng. Lha memang gantengnya bukan main kok.
Gambar beredar; Mas Polisi sedang berlari melompati pembatas jalan sambil mengacungkan pistol ke depan. Saya mau tanya, perempuan mana yang bisa tahan untuk tidak bilang (minimal mbatin), “Wuihh jantan, macho, manly man, polisi New York ketingalan 5 angka deh!”? Ada?
Diperkirakan sebagian besar perempuan waras susah menolak fakta kalau dia ganteng. Buktinya sampai muncul #KamiNaksir yang diamini ribuan netizen. Belum lagi rangkaian foto Mas Polisi di belakang laptop dan foto dari samping dia ngemut rokok sambil berponsel. Lihat lengannya saja, dengkul sudah langsung menerima sinyal–lemes. Belum ngelirik ke mukanya Mas Polisi lho ini.
Teman saya ada lho yang kehilangan daya nalar hanya karena lihat foto Mas Polisi itu. Sudah ndak bisa ngitung untung rugi. Katanya begini, “Kalau polisinya kayak dia, aku mau deh jadi terorisnya.”
Iya kalau ditangkap. Lha kalau dibedil? Rugi bandar dong. Daya imajinasi dramanya merosot tajam, tak seperti biasanya.
Sayangnya, tidak terkonfirmasi siapa Mas Polisi itu. Simpang siur apakah Mas Polisi itu Rino Soedarjo ataukah Teuku Arsya Khadafi, tidak terkonfirmasi.
Halah, berita soal Mas Polisi itu kan cuma hiburan yang nyelempit di tengah berita soal kekacauan besar kok. Ndak penting. Jangan diharapkan konfirmasi resminya. Lha wong kabar utamanya yang wazz wuzz wazz wuzz kencangnya seperti peluru itu juga banyak yang tidak terkonfirmasi.
Lha itu berita ledakan bom di beberapa titik lain di Jakarta diturunkan tiga TV dan satu radio. Belakangan mereka disemprit tuh sama Komisi Penyiaran Indonesia. Tentu, nyempritnya setelah grup-grup obrolan, dan status-status media sosial juga mengedarkan informasi ledakan lain itu.
“Sekian menit dari ledakan Sarinah… (weiiss, kayak dia lihat sendiri aja) .. Slipi, Cikini, Kuningan, dan Palmerah juga meledak,” begitu bunyi berita yang tersebar. (Modal jempol, hotspot gratisan dan smartphone kreditan aja bangga banget bisa nyebar informasi seolah yang paling pertama tahu)
Lha saya yang tinggal jauh dari Jakarta jadi ngowoh. “Tempat-tempat lain yang ikut meledak itu sebelah mananya Sarinah?” Lalu ngarep setengah nggrundel, “Moga-moga TV nyiarkan gambar dari helikopter ya, seperti di luar negeri itu, biar yang bukan orang Jakarta ndak gagal paham.”
Belum sembuh nggrundel saya, eeelhadalah, Pak Jenderal Polisi malah ngomong di TV, ledakan di titik selain Kawasan Sarinah itu tidak terjadi.
Apa yang terjadi kemudian? Ya ralat berjamaah dari para penebar-informasi-sebenarnya-yang-tidak-di-TKP tapi merasa paling pertama tahu itu. Kok ya nekat nyebar-nyebar informasi yang belum terkonfirmasi.
Ya ndak salah sih, mungkin ikut nyebar karena dapat informasi dari kenalan yang ada di lokasi. Ya ndak salah sih, karena bukan jurnalis jadi merasa tidak punya tanggung jawab konfirmasi.
Tapi celakanya, di dalam jamaah nekat itu ada juga orang yang kesehariannya bekerja sebagai jurnalis lho. Yang tahulah apa pentingnya sebuah informasi yang terkonfirmasi. Apalagi pada suasana perang seperti kemarin itu. Ya perang, kan? Wong Indonesia jelas melawan teroris kok.
Saya yang tinggal jauh dari Jakarta, mendapatkan kabar Bom Sarinah bukan dari media massa. Bukan TV, radio, ataupun media online. Kalau cetak tidak mungkin lah ya, dan tak usah dibahas sebabnya, bikin baper berkepanjangan.
Saya lebih dulu tahu dari grup WhatsApp di mana saya tergabung. Separuh anggotanya adalah jurnalis. 15 menit setelah ledakan, seorang jurnalis angota grup itu yang tidak di TKP tergopoh-gopoh membagi kabar pengeboman. Lengkap dengan gambar porak poranda yang diambil dari atas, juga dengan gambar orang tergeletak penuh darah. Yaaa… seperti gambar yang mampir ke ponsel sampeyan-sampeyan itulah. Sumbernya dari grup sebelah dan dari Twitter, katanya. Sebagian bersumber dari pemberitaan pers.
Sontak jurnalis pengunggah kabar di grup itu dihujani pertanyaan. Tapi imannya kuat, tahan diri untuk tidak memberi keterangan lanjut karena tidak di TKP. “Maaf teman-teman, info-info ini perlu dikonfirmasi,” begitu katanya.
Grup saya yang lain lain adalah grup alumni sekolah, anggotanya 50, ada tiga jurnalis di dalamnya, satu diantaranya bertugas di Jakarta. Lha Si Jurnalis yang tinggal di Jakarta ini juga ikut kesusu mengunggah foto di grup: orang tergeletak, katanya kontributor salah satu media online yang kena bom. Karena dia jurnalis dan tinggal di Jakarta (sudah 10 tahun jadi jurnalis di Jakarta), sisa anggota lain dalam grup menganggap dia di TKP. Elhadalah, ternyata tidak. Entah dari mana sumber informasi yang disebarnya, yang jelas ya tidak terkonfirmasi.
Beberapa menit kemudian dia meralat informasi yang disebarnya sendiri itu. Hampir bareng lho dengan ralat serupa atas informasi yang sama namun dilakukan orang yang berbeda, di grup obrolan yang berbeda pula. Berjamaah pokoknya.
Gemes sih, lihat jurnalis yang harusnya tahu pentingnya konfirmasi malah menambah distorsi informasi. Lebih gemes lagi, saat informasi soal Mas Polisi tak kunjung terkonfirmasi. Sudah harus lega dengan sedikit informasi dari beberapa media massa online yang bersumber dari obrolan di media sosial yang juga tidak dikonfirmasi.
Bahwa Mas Polisi sudah beristri, anaknya dua, umurnya 34, ya itu masih jadi misteri. Yang pasti saat beraksi Si Mas pakai sepatu Gucci. Kalau dilihat dari seragamnya, betugas sepertinya bertugas di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Itu semua katanya media massa, yang ndak perlu dikonfirmasi. Sekali lagi, berita ndak penting.
Kendati begitu, ada satu fakta valid, tak terbantahkan, dan terkonfirmasi secara baik. Penilaian dari semua makhluk Tuhan yang mengagumi anugerah keindahan pria: Mas Polisi, gantengmu sudah terkonfirmasi.
Post a Comment Blogger Facebook