Harga pangan di pasaran internasional mengalami kecenderungan menurun. Namun harga pangan impor di Indonesia menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Peraga di bawah menunjukkan perkembangan harga empat jenis pangan yang produksinya di dalam negeri lebih rendah dari konsumsi sehingga sebagian harus dipenuhi dengan mengimpor.
Keempat komoditas pangan itu sekedar contoh. Banyak lagi yang menunjukkan kecenderungan serupa. Beras juga begitu. Garam pun demikian.
Dengan alasan untuk melindungi produsen dalam negeri (petani, peternak, dan petambak), pemerintah pada umumnya menerapkan pembatasan (kuota impor) sebagai jalan pintas.
Kalau sekedar satu atau dua kasus kita bisa maklum. Namun kalau sedemikian banyak komoditas mengalami kecenderungan yang sama, kita patut prihatin. Rasanya ada masalah strutural yang menghadang produksi pangan kita. Ada persoalan mendasar yang selama ini tidak atau kurang tersentuh dalam pembangunan pertanian kita.
Di industri manufaktur serupa parahnya. Tak heran produk impor kian membanjiri pasar dalam negeri. Harga BBM dan gas tak terkecuali.
Apa yang salah dalam pembangunan industri dan di sektor energi? Saya tidak berpretensi mengetahui banyak persoalan yang menghinggapi perekonomian Indonesia. Yang hampir pasti, persoalan tidak bisa diselesaikan dengan jalan pintas berslogan kemandirian dan swasembada lewat pembatasan impor sebagaimana ditunjukkan oleh kajian Patunru dan Raharja.
Rasanya kita belum sungguh-sungguh memberdayakan petani. Subdisi pupuk dan benih belum tentu dinikmati petani yang sebagian besar adalah petani penggarap dan petani gurem. Di dunia pergaraman, petani bersaing dengan negara (PT Garam Persero). Mata-rantai perdagangan tidak kunjung dibenahi, sehingga nilai tambah sebagian besar jatuh ke pedagang.
bravo pak faisal ! (h)
ReplyDelete