Assalamualaikum wr.wb
saya ingin bertanya ustad bagaimana hukumnya ketika kita dalam keadaan lupa berhubungan suami istri padahal kita sedang melakukan puasa sunnah syawal? apakah kita harus berpuasa 2 bulan berturut-turut seperti halnya bulan ramadhan? mohon penjelasannya ustad?
Dari Arham
JAWABAN:
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pendapat yang kuat, bahwa orang yang melakukan puasa sunah, dia dibolehkan membatalkan puasanya, dan tidak wajib mengqadhanya. Ini adalah pendapat syafiiyah dan hambali. Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya membatalkan puasa sunah,
Pertama, hadis dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Orang yang melakukan puasa sunah, menjadi penentu dirinya. Jika ingin melanjutkan, dia bisa melanjutkan, dan jika dia ingin membatalkan, diperbolehkan.” (HR. Ahmad 26893, Turmudzi 732, dan dishahihkan Al-Albani)
Kedua, Setelah puasa ramadhan diwajibkan, dan puasa ‘Asyura tidak lagi wajib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kepada sahabat, bahwa mereka boleh puasa dan boleh membatalkannya. Dari Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ شَاءَ، فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ، فَلْيُفْطِرْ
Ini hari ‘Asyura, Allah tidak mewajibkan puasa untuk kalian. Hanya saja saya puasa. Karena itu, siapa yang ingin puasa, dipersilahkan dan siapa yang ingin membatalkan, dipersilahkan. (HR. Bukhari 2003).
Ketiga, hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumah di pagi hari. Ketika itu, ada orang yang menghadiahkan hais (adonan kurma, campur keju dan minyak). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai rumah, Aisyah mengatakan,
”Ya Rasulullah, tadi ada orang berkunjung menghadiahkan sesuatu untuk kita. Dan aku telah simpan sebagian untuk anda.”
”Apa itu?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
”Hais.” jawab Aisyah.
”Coba tunjukkan.” pinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akupun menyuguhkan kepada beliau, dan beliau memakannya.
Kemudian beliau bersabda,
قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا
”Tadi pagi aku sudah niat puasa.” (HR. Muslim 1154, Nasai 2326 dan yang lainnya).
Kerena orang yang melakukan puasa sunah boleh membatalkan puasanya, maka para ulama menegaskan tidak ada kewajiban kaffarah karena hubungan badan ketika puasa sunah. Kewajiban membayar kaffarah hanya ada di puasa wajib, antara puasa ramadhan dan puasa qadha.
Hanya saja, ulama berbeda pendapat, apakah hubungan badan ketika puasa qadha ada kewajiban kaffarah ataukah tidak.
Sebagian berpendapat bahwa orang yang melakukan hubungan badan ketika puasa qadha, dia wajib membayar kaffarah. Berdasarkan kaidah,
القضاء ينزل منزلة الأداء
”Qadha statusnya sebagaimana ada’.”
Keterangan:
Ada’ [arab: أداء] : melaksanakan ibadah pada waktu yang telah ditentukan. Anda melakukan puasa ramadhan di bulan ramadhan, berarti telah melakukan puasa ada-an.
Kebalikan ada’ adalah qadha [arab: قضاء]: melaksanakan ibadah setelah batas waktu yang ditetapkan. Dan ini dibolehkan ketika ada udzur yang menyebabkan seseorang tidak bisa ibadah tepat waktu. Misalnya, sakit ketika ramadhan.
Berdasarkan kadiah di atas, orang yang melakukan puasa qadha, dia mendapatkan kewajiban sebagaimana puasa ketika ramadhan.
Akan tetapi kaidah ini ini bertentangan dengan kaidah baku, yaitu Baraatu ad-Dzimmah [براءة الذمة]. Artinya tidak ada beban syariat yang tidak ada dalilnya. Dalil tentang kewajiban kaffarah, hanya ada pada puasa ramadhan. Sementara tidak dijumpai dalil yang mewajibankan kaffarah jimak untuk puasa qadha. Sehingga kembali kepada hukum asal, tidak ada beban syariat berupa kaffarah jimak.
Dan inilah pendapat yang lebih kuat. Allahu a’lam
Kesimpulannya,
Kewajiban kaffarah karena hubungan badan, hanya ada untuk puasa ramadhan yang dilakukan di siang hari ramadhan.
Sementara untuk puasa qadha, tidak ada kewajiban kaffarah, apalagi sebatas puasa sunah.
Hanya saja, selayaknya setiap orang yang melakukan ibadah, meskipun itu sunah, agar dia sempurnakan hingga selesai, dan tidak diputus di tengah sebelum sempurna. Karena Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. (QS. Muhammad: 33)
Allahu a’lam.
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Post a Comment Blogger Facebook