Para nelayan bekerja dari perahu di Panama City, Panama, Senin (4/4/2016). Panama City telah menjadi pusat perhatian media global menyusul skandal kebocoran data.© Carlos Jasso / ANTARAFOTO/REUTERS/
Perang Dunia I membawa kehancuran bukan hanya kepada infrastruktur, melainkan juga ekonomi di negara-negara yang terlibat. Hal tersebut mendorong sejumlah negara untuk menaikkan tarif pajak agar pendapatannya meningkat.
Tarif pajak sempat meningkat hingga 72 persen pada 1924. Warga negara yang paling banyak memindahkan kekayaannya untuk menghindari pajak saat ini adalah Inggris. Tiga kota di Swiss saat itu menjadi tujuan utamanya, yakni Zurich, Genewa, dan Basel.
Saat itu istilah tax haven atau suaka pajak pertama kali muncul. Negara-negara suaka pajak lainnya juga bermunculan seiring dengan pemungutan pajak yang semakin agresif pada kurun tahun 1930-an.
Bahama, salah satu negara kepulauan di Karibia, menjadi tujuan warga Amerika Serikat menyembunyikan uang mereka ketika Presiden Franklin D. Roosevelt berkuasa. Tahun 1960-an Cayman Island hadir sebagai suaka pajak baru yang didukung perbankan Kanada.
Grup musik legendaris The Rolling Stones meninggalkan Inggris pada 1971, karena beban pajak yang terlalu tinggi. Mereka melakukan eksodus ke AS, dan diikuti banyak profesional lain. Pada saat bersamaan, Panama juga lahir sebagai suaka bagi pengusaha AS dan Amerika Tengah yang ingin menyembunyikan uangnya.
Pada umumnya tax haven didefinisikan sebagai suatu negara atau wilayah yang memberlakukan tarif pajak rendah atau sama sekali tidak ada dan menyediakan tempat yang aman bagi simpanan untuk menarik modal masuk.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memberi tiga ciri negara suaka pajak: menerapkan tarif pajak rendah atau bebas pajak, tidak ada transparansi, dan tidak ada pertukaran informasi yang efektif.
Dalam perpajakan internasional, kerap digunakan tiga istilah yang bisa dipertukarkan satu sama lain, yaitu: Preferential Tax Regime's (PTRs), Offshore Financial Centers (OFCs), dan tax havens.
Dilansir dalam Kompas.com, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo, mengatakan pada umumnya negara suaka ppajak menawarkan sejumlah manfaat:
Peluang diversifikasi investasi
Strategi menangguhkan beban pajak
Perlindungan aset yang kuat
Hasil investasi bebas pajak
Offshore banding dengan keleluasaan dan privasi
Imbal hasil yang lebih besar
Mengurangi beban pajak
Menghindari restriksi mata uang
Peluang mengembangkan bisnis
OECD pada tahun 1998 mengeluarkan dokumen Anti-Harmful Tax Competition dan menyusun daftar hitam negara suaka pajak. Sejak saat itu genderang perang terhadap suaka pajak dimulai.
Menurut IMF, setidaknya ada 60 teritori suaka pajak. Tujuh suaka terbaik terbaik adalah Swiss, Liechtenstein, Austria, Panama, Saint Kitts and Nevis, Belize, dan Hong Kong.
Sedangkan 11 suaka pajak terbaik untuk melindungi aset adalah Jersey (Channel Island / European Mediterania), Liechtenstein, The Cayman Island, St Kitt Nevis, Panama, Gilbatar, Isle of Man, Bermuda, Bahamas, Austria, New Zealand.
Bukan hanya perorangan saja yang melakukan praktik pemindahan uang ke negara suaka pajak. Beberapa korporasi besar dunia juga melakukannya.
Yang paling hangat adalah Apple, Google, Ikea, Starbucks, dan Amazon. Sebelumnya, Airbus, Mark Spencer, Vodafone, Coca Cola, Cisco, Pfizer, LTCM, Parmalat, Refco, Enron, Northern Rock, pun melakukannya.
Pada 2008, seekor anjing bernama Gunter terdaftar bersama 1.400 orang pemilik trusts di Leichenstein, untuk menghindari pajak Jerman.
Juni 2008, pegawai senior bank UBS Swiss mengaku telah membantu menghindari pajak orang AS senilai 20 miliar dollar AS, dengan biaya 200 juta dollar AS.
Tax Justice Network memerkirakan ada sekitar USD20 triliun aset global yang disalurkan ke negara-negara surga pajak ini. Sementara sekiar USD331 miliar (sekitar Rp4.500 triliun) aset orang Indonesia pada 2010 berada di negara suaka pajak.
Sedangkan menurut Global Financial Integrity (2014), sedikitnya ada Rp200 triliun aliran dana ilegal keluar Indonesia setiap tahun.
Post a Comment Blogger Facebook