Presiden Joko Widodo saat menemui Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, 26 Oktober 2015.© Martin H. Simon /EPA
Seorang dosen urusan politik menulis bahwa pertemuan Presiden Joko "Jokowi" Widodo dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, pada akhir Oktober lalu terjadi melalui perantaraan lembaga asing. Pemerintah RI membantah, pun pihak Kedutaan AS di Jakarta.
Tulisan opini oleh Michael Buehrer, pengajar masalah politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies, University of London, menyinggung bahwa pemerintah Indonesia membayar konsultan Pereira International asal Singapura dan konsultan kehumasan yang bermarkas di Las Vegas, AS, R&R Partners.
Menjelang ujung tulisan, Buehler mengajukan beberapa pertanyaan. Pertama, siapa, dari dalam pemerintahan Jokowi, yang memerintahkan Pereira untuk melakukan pembayaran?
Apakah uang negara dimanfaatkan untuk melakukan hal yang dapat dikerjakan oleh Kedutaan Besar RI? Apakah upaya itu dikoordinasikan dengan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi?
Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat di Washington, D.C. menjadi pihak yang pertama merilis sanggahan.
Dalam keterangan pers yang terbit pada hari opini Buehler tersiar, Duta Besar RI, Budi Bowoleksono, menegaskan bahwa "spekulasi...(mengenai fasilitasi) lobbyist sangat tidak berdasar." Pasalnya, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama sejak November 2014 "telah mengundang Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat."
Presiden berdarah Indonesia itu juga sudah "secara resmi menulis surat kepada Presiden Joko Widodo dan mengundang secara resmi untuk berkunjung ke Amerika Serikat" pada Maret 2015. Jokowi membalas undangan "pada tanggal 19 Juni 2015...dan menyatakan akan berkunjung ke Washington DC pada tanggal 26 Oktober 2015 setelah kedua negara menyepakati waktu yang sesuai bagi kedua negara."
KBRI Washington, D.C. pun menyatakan bahwa "meskipun lobbyist di Amerika Serikat merupakan bagian dari kehidupan politik di Amerika Serikat, Pemerintah RI sejak dilantik pada Oktober 2014 tidak pernah menggunakan lobbyist di Amerika Serikat."
Kementerian Luar Negeri dalam pernyataan resminya tidak ketinggalan menampik tudingan Buehler. Dalam bantahan yang dimuat Kompas, "Kementerian Luar Negeri menyesalkan, isu yang diangkat sangat tidak akurat, tidak berdasar, dan sebagian mendekati ke arah fiktif."
Di pihak lain, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Panjaitan, yang oleh Buehler disebut memiliki kaitan dengan Pereira, kepada Tempomenyampaikan pula penjelasannya mengenai isu penggunaan jasa makelar itu.
"Presiden ke Amerika karena undangan dari Presiden Obama. Diundang sudah sejak November tahun lalu, saat keduanya bertemu pada KTT APEC di Cina," ujarnya.
Laman Republika sempat berupaya mengambil kejelasan dari Derwin Pereira lewat akun Facebook Derwin Pereira Media Journal.
Menurut Republika, akun tersebut aktif menampilkan berbagai informasi mengenai perpolitikan Indonesia sejak masa Orde Baru hingga Reformasi dengan pemutakhiran terbaru 7 November 2015 pagi, sehari setelah tulisan Buehler muncul.
Namun, demikian Republika, akun termaksud siangnya telah "hilang dan tutup".
Pihak Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, juga membuat sanggahan. Lewat akun Twitter @usembassyjkt, mereka menegaskan bahwa kunjungan itu tak melalui pelobi. Dua kicauan di akun Twitter tersebut membubuhkan tanda #DuBesBlake, yang berarti kicauan langsung dari Sang Duta Besar, Robert O. Blake, Jr.
Catatan redaksi; Artikel ini telah diperbarui dengan menambahkan sanggahan dari pihak kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta.
Post a Comment Blogger Facebook