Peristiwa pembunuhan anggota PKI 1965 tak serta-merta terjadi. Ada banyak rangkaian kejadian sebelumnya, seperti pembantaian para kiai dan santri di Madiun pada September 1948. Apa benar begitu?
"Jangan anggap pembunuhan anggota PKI di tahun 1965 itu terjadi tanpa sebab atau ujug-ujug (sekonyong-konyong)!" Pernyataan ini ditegaskan peneliti berbagai peristiwa yang dialami kaum Nahdliyin ketika bersinggungan dengan PKI, Agus Sunyoto.
Bahkan, mantan wartawan ini mengatakan, bila dilacak, akar masalahnya malah menjangkau berbagai aksi kekerasan yang ditujukan kepada warga Nahdliyin. Salah satunya adalah peristiwa pembantaian para kyai dan santri pada menjelang pekan ketiga di bulan September 1948 atau yang telah dikenal sebagai pemberontakan PKI di Madiun dan sekitarnya.
"Setelah para kiai dan santri menjadi korban pembantaian di tahun 1948, perseteruan itu PKI-NU mulai memuncak kembali semenjak tahun 1960, yakni ketika terjadi pembahasan RUU Agraria. Salah satu penyebabnya adalah soal kepemilikan tanah yang dalam UU Nomor 5 Tahun 1962 diatur tak lebih dari 5 ha. Di situ para anggota PKI ingin merebut tanah para kiai yang mereka anggap melebihi ketentuan,'' kata Agus seraya mengatakan PKI kemudian gencar melakukan agitasi dengan memasukkan para kiai, haji, dan orang kaya di desa sebagai bagian 'Tujuh Setan Desa'.
Maka, lanjut Agus, mulai saat itu masa PKI segera mematoki tanah milik pesantren. Tindakan ini tentu saja memicu perlawanan dari para santri karena klaim kepemilikan tanah dilakukan sembarang tanpa mau tahu bahwa sebagain besar tanah itu merupakan tanah wakaf.
"Konflik dan kecurigaan PKI dengan umat Islam semakin keras karena kemudan menyulut sikap antiagama karena kaum komunis menganggap agama sebagai candu masyarakat."
Kecurigaan umat Islam pun makin kuat ketika satu per satu mulai muncul aksi kekerasan anggota PKI kepada kelompok masyarakat yang masih menghargai nilai keagamaan. Salah satu, contoh tindakan antiagama ini terjadi di paruh awal tahun 1960-an kala para anggota PKI di Blitar membubarkan acara kenduri yang diadakan warga di sekitar Candi Simping. Tak cukup membubarkan acara dan memukuli warga, bangunan candi pun di rusak.
''Padahal yang melakukan selametan itu mayoritas orang-orang PNI dan NU. Maka nantinya pasca G-30-S/PKI orang-orang yang dahulu pernah dilakukan buruk oleh PKI, ganti mengamuk. Mereka langsung teringat tradisi keagamaannya yang dahulu dihancurkan. Jadi itulah salah satu contoh bahwa peristiwa pembunuhan orang PKI 1965 itu tak terjadi seketika,'' ujarnya.
Bahkan di tengah kecamuk 'operasi pembersihan' anggota PKI di tahun 1965, warga Nahdliyin ternyata banyak yang dibunuh oleh aktivis PKI. Menurut Agus, pada 18 Oktober 1965 setidaknya ada 40 orang anggota Banser di Banyuwangi Selatan mati diracun anggota Gerwani (organisasi sayap perempuan PKI).
''Ketika hendak memasuki wilayah Banyuwangi selatan para anggota Banser disambut oleh anggota Gerwani yang menyamar memakai kerudung layaknya Fatayat NU, sedangkan yang laki-laki menyamar seperti anggota Ansor dengan memakai peci. Ketika bertemu mereka membagi-bagikan makanan yang sudah diisi racun. Yang selamat, langsung melarikan diri. Tapi, kemudian sekitar 30 orang Banser tertangkap dan dipukuli sampai mati,'' kata Agus.
Sejak peristiwa pembunuhan itu, seluruh warga NU di Banyuwangi ketakutan. Namun, pada saat itu malah orang-orang Marhaen ganti mengambil alih keadaan dengan menyerang anggota PKI. Maka, banyak anggota PKI yang mereka tangkapi dan kemudian dieksekusi.
''Ini juga salah satu bukti lagi bahwa bukan hanya orang NU saja yang terlibat dalam aksi pembersihan PKI. Orang Marhaen juga terlibat. Kelompok Islam lain, seperti warga Muhammadiyah di Yogyakarta, juga melakukan hal sama. Tapi kan orang NU saja yang sekarang disalahkan?''
Menyinggung mengenai tuntutan rekonsiliasi, Agus dengan tegas mengatakan, begitu peristiwa pembersihan PKI meluas dan banyak memakan korban, pada saat itu juga para kiai berusaha menyelamatkan keluarga anggota PKI. Pesantren menjadi tempat perlindungan bagi mereka yang mau datang untuk menyelamatkan diri. Dan setelah suasana mereda para kiai banyak mengangkat anak anggota PKI yang anak angkatnya.
Rekonsiliasi NU dan keluarga anggota PKI salah satunya sudah terjadi di Desa Trisula, Kecamatan Ploso Klaten, Kabupaten Kediri. Penduduk desa ini ini saat itu 100 persen menjadi anggota PKI. Dan ketika terjadi aksi pembersihan di tahun 1965 itu, seluruh lelaki di desa itu habis terbunuh.
Melihat fakta menyedihkan itu, para kiai dan santri yang ada di seputaran Desa Trisula berinisiatif menggelar kenduri untuk mendoakan para korban. Bukan hanya itu, para kiai dan keluarga santri yang ada di seputaran Kediri banyak yang kemudian mengangkat anak dan menyantuni janda yang suaminya menjadi anggota PKI.
Pengasuh pesantren dan mantan komandan Banser di Blitar KH Abdurrahman Sidik misalnya, mengangkat 30 orang anak yatim yang ayahnya terbunuh dalam aksi pembersihan anggota PKI itu. Di kemudian hari, banyak di antara mereka menjadi pegawai negeri tanpa pernah ada yang tahu bahwa dia anaknya anggota PKI.
''Karena itu, ketika ada media menulis soal 'algojo PKI' anak-anak itu ketika saya telepon, semuanya sangat marah. Kata mereka, apa perlunya soal itu diungkit-ungkit lagi,'' kata Agus.
Senada dengan Agus, mantan ketua PP Gerakan Pemuda Ansor Khatibul Umam Wiranu menegaskan, pihak luar memang tidak perlu mengajar umat Islam—khususnya warga Nahdliyin—melakukan rekonsiliasi terkait soal kasus PKI. Apalagi faktanya pun jelas mengatakan warga NU juga menjadi korban dalam peristiwa pembunuhan itu.
''Kalau soal minta maaf, Gus Dur dulu sudah pernah menyatakannya. Tapi, apa tanggapan baliknya? Ke depan, saya yakin rekonsiliasi tak akan pernah terjadi bila mereka yang kini ditokohkan sebagai korban PKI secara resmi tetap tak mau mengakui kesalahan dengan meminta maaf,'' kata Khatibul.
Oleh Muhammad Subarkah
Follow @wisbenbae
Post a Comment Blogger Facebook