Batubara yang dibakar di PLTU memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO3 yang merupakan kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM 2.5.
Sampai tahun 2019, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, khususnya PT PLN memiliki satu program yang harus diselesaikan, yaitu program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW.
Data yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM menyebutkan bahwa dari target 35.000 MW, 25.904 MW akan dibangun oleh pengembang listrik swasta, dan 10.681 oleh PT PLN. Namun dari program yang membutuhkan dana di atas Rp 1.100 triliun itu, 60% masih menggunakan PLTU batubara, demikian dikatakan Media Officer dari Greenpeace Indonesia, Rahma Shofiana (17/9).
Ana juga menyebutkan, dari program pemerintah tersebut, 80% PLTU dibangun di Jawa, “Padahal elektrifikasi nasional secara keseluruhan justru pulau Jawa sudah terlistriki,” ujarnya. “Yang di luar Jawa justru (belum cukup terlistriki).”
Dalam Ancaman Maut PLTU Batubara yang dirilis Greenpeace, diungkapkan bahwa batubara yang dibakar di PLTU memancarkan sejumlah polutan seperti NOxdan SO3yang merupakan kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM 2.5(partikulat debu melayang).
Selain itu, menurut Ana, 16.500 jiwa bisa meninggal setiap tahunnya akibat debu terbang yang dihasilkan dari PLTU batubara. “Itu se-Indonesia,” ujarnya. “Sedang dengan proyeksi atmosfer lebih jauh lagi, angkanya bisa mencapai 27.000 jiwa.”
Dengan berbagai efek negatif yang dihasilkan, Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah Indonesia untuk mengurangi pemakaian batubara. Menurut Ana, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar, dan bisa untuk menggantikan energi fosil (minyak, gas, batubara). “Contohnya panas bumi itu 40% cadangan dunia (ada di Indonesia).” Selain energi panas bumi, kita dapat memanfaatkan tenaga matahari, air dan angin.
(Ilham Bagus Prastiko)
Post a Comment Blogger Facebook