Keramaian di Bugis Street
Sudah sering saya melintasi tempat perbelanjaan Bugis Street yang bercirikan kanopi besar berwarna merah dengan layar elektronik besar di atasnya yang terletak tepat di belakang halte bis Bugis. Hampir setiap kunjungan ke Singapura atau transit dalam perjalanan pulang ke Jakarta saya selalu menginap di penginapan favorit Cozy Corner yang berada tepat di seberang pusat perbelanjaan Bugis Junction. Awalnya Bugis Street terlihat sangat biasa, tidak lebih seperti pasar tradisional yang menjual barang barang dengan harga murah mulai dari pakaian, sepatu, tas, asesoris, jajanan, dan cinderamata beratribut Singapura.
Tidak ada yang istimewa dari jajaran kios-kios kecil yang memenuhi sebuah jalan di kawasan Bugis dan hanya menyisakan ruang sirkulasi sempit di antaranya. Sampai akhirnya saya menemukan cerita mengenai urban development yang menarik di balik sejarah Bugis Street, seiring berkembangnya pembangunan infrastruktur kota Singapura yang pesat tanpa harus mengorbankan sejarah suatu tempat yang justru sebaliknya dipertahankan dan dipromosikan sebagai daya tarik pariwisata belanja kota Singapura.
Penawaran Harga Kompetitif di Bugis Junction
Pasar Modern di Bugis Junction
Kawasan belanja Bugis Street sangat populer di kalangan turis asal Indonesia dan juga selalu menjadi pengunjung terbesar dari tahun ke tahun. Lokasi Bugis Street sangat strategis dicapai baik yang masuk ke Singapura dengan kapal feri melalui Marina Bay, melalui bandara Changi, maupun dengan bis dari Malaysia yang berhenti di Lavender St. Bugis Street juga didukung oleh infrastruktur transportasi yang sangat baik dan memungkinkan untuk dicapai dengan mudah dari kawasan tempat berjamurnya hotel dan pusat perbelanjaan modern di kawasan lain. Area ini bahkan dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari China Town, Orchard, Clark Quay, Little India maupun Kampung Glam.
Sejarah Bugis Street jauh berawal pada saat Singapura masih bernama Temasek, yang terkenal sebagai kota pelabuhan, menarik banyak imigran dari berbagai etnis untuk datang dan berdagang. Pedagang dan pelaut ulung Bugis dari Indonesia juga berkumpul di sini. Pada tahun 1829 dari Makasar mereka membawa rempah-rempah dan emas dengan menggunakan perahu pinisi menyeberangi lautan untuk mencari peruntungan baru di tanah Singapura. Kedatangan pelaut-pelaut Bugis sekaligus membentuk komunitas Bugis yang bermukim di kampung Bugis atau Bugis Village yang dikenal saat ini dan memunculkan pedagang, pahlawan dan tokoh baru yang berperan dalam sejarah negara Singapura.
Era tahun 1950-an hingga 1980-an merupakan masa keemasan Bugis Street. Sebagai pusat jajanan kaki lima dan pasar malam yang menjual makanan dengan cita rasa lokal, minuman beralkohol dengan harga murah dan cinderamata, memikat pengunjung dari tentara Australia dan Inggris yang singgah di Singapura. Bugis Street berkembang menjadi tempat prostitusi dan perjudian pada tahun 1970-an ketika tempat ini sering dijadikan tempat berlibur oleh tentara Amerika Serikat saat perang Vietnam berkecamuk.
Cinderamata Singapura ditampilkan di Bugis Street
Hiruk-pikuk dan gemerlap malam sepanjang Bugis Street pun sirna ketika Urban Redevelopment Authority (URA) memulai pembangunan stasiun mass rapid transit (MRT) pada tahun 1985. Kawasan Bugis Street dihancurkan dan pedagang direlokasi ke tempat lain untuk dapat meneruskan usaha mereka. Dunia pariwisata Singapura kehilangan salah satu atraksi wisatanya yang sangat populer hingga akhirnya pada tahun 1987 Singapore Tourism Board memulai kembali usaha untuk merevitalisasi Bugis Street yang pernah menjadi ikon dari atraksi pariwisata Singapura dengan membangun pusat perbelanjaan modern Bugis Junction. Pembangunan Bugis Junction mengintegrasikan pusat perbelanjaan, menara perkantoran dan hotel InterContinental Singapore yang berada di atas MRT Bugis dan selesai pada tahun 1995.
Suasana di Bugis Street Modern
Mungkin tidak banyak yang tahu kalau Bugis Street yang sebenarnya justru berada di dalam pusat perbelanjaan modern Bugis Junction, yaitu jalan yang kini beralaskan batu keramik, beratapkan panel kaca transparan, terapit diantara rumah toko dengan fasade berarsitektur Straits Chinese-style. Jalan yang berada di antara deretan rumah toko dua lantai di Bugis Village yang berarsitektur konservatif dan pusat perbelanjaan Iluma yang berarsitektur modern dengan permainan iluminasi crystal mesh pada fasadenya disebut New Bugis Street, hanya saja oleh Singapore Tourist Promotion Board tetap dipromosikan sebagai Bugis Street untuk mengenang masa keemasan yang sudah berlalu.
http://feedproxy.google.com/~r/ranselkecil/~3/7PPb8N7m87w/bugis-street-dulu-dan-sekarang
Post a Comment Blogger Facebook