Artikel ini saya sarikan dari “70 Tahun Drs. Sunarto Prawirosujanto, Rintisan Pembangunan Farmasi Indonesia,” oleh Drs. H. Abdul Mun’im, Yayasan Farmasi Gama, Jakarta, 1997″, halaman. 64-66.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Nikolaos Van Dam, Duta Besar Belanda untuk Indonesia di Jakarta.
Wieke Gur
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan 1988, halalbihalal artinya acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran dan merupakan suatu kebiasaan yang khas Indonesia. Arti katanya sudah dibakukan, akan tetapi sudah puluhan tahun belum dapat ditemukan asal mula perkataan itu.
Acaranya terkait dengan agama Islam dan bunyinya bernafaskan bahasa Arab, tapi baik acara mau pun kata-katanya tidak terdapat di negeri Arab. Ada polemik mengenai perkataan itu sendiri. Ada yang menyebutkan yang benar adalah halalbihalal, ada alabehalal dan ada alalbihalal. Tetapi yang menjadi baku adalah halalbihalal.
Dalam ulasan-ulasan di koran-koran Jakarta pada masa itu, dikatakan perkataan itu timbul sejak jaman RI di Yogyakarta dan ada pula yang menyebutkannya baru muncul setelah ibu kota Republik Indonesia kembali di Jakarta, yakni tahun 1949.
Menurut ingatan Drs. Sunarto Prawirosujanto perkataan itu sudah ada sejak 60 tahun lalu di sekitar tahun 1935-1936. Menurut beliau, di taman Sriwedari pada Maleman ada penjual martabak bangsa India. Khusus pada hari Lebaran, ia berjualan di luar taman Sriwedari, di depan gerbang keluar masuk penonton. Ia dibantu seorang pribumi yang disuruh mendorong gerobak dan mengurusi api penggorengan. Untuk menarik perhatian pembantu itu berteriak-teriak “Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal!” terus menerus sehingga setiap penonton yang melalui gerbang itu pasti mendengarnya. Tidak ayal lagi anak-anak dan anak-muda sepulangnya dari Sriwedari ikut berteriak “Martabak martabak, halal behalal” di sepanjang jalan menirukan penjual martabak itu.
Perkataan halal behalal atau alalbehalal sangat populer di kalangan masyarakat di Solo. Pergi ke Sriwedari di hari Lebaran disebut berhalalbehalal; pergi keluar berpakaian rapih di hari Lebaran disebut juga berhalalbehalal; pergi silaturahmi pada hari Lebaran (biasanya berpakaian rapih) disebut berhalabehalal.
Semula acara halalbihalal hanya berupa ucapan selamat datang dari pihak penyelenggara, disusul dengan pertunjukan dan makan bersama. Kemudian atas anjuran Bapak Mulyadi Joyomartono agar pertemuan menjadi bermakna, sebelum acara pertunjukan hendaknya didahului oleh ceramah keagamaan Islam.
Dalam kamus Jawa-Belanda kumpulan Dr. Th. Pigeaud terbitan 1938, yang dimulai persiapan penyusunannya di Surakarta pada tahun 1926 (atas perintah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada tahun 1925), pada urutan huruf A dapat ditemukan perkataan “alal behalal” yang berarti “de complimenten(gaan, komen) maken(vergiffenis voor vragen aan ouderen of meerderen na de Vasten(Lebaran, Javaans Nieuwjaar) vgb”. yang artinya kurang lebih sama dengan yang ada di dalam KBBI.
Selain itu pada urutan huruf H dapat kita jumpai perkataan Halal behalal, halabalal: de complementen(gaan, komen) maken(wederzijds vergiffenis vragen bij Lebaran, vgb).
Alfabet huruf Jawa adalah ha na ca ra ka. Meskipun ditulis dengan huruf ha selalu diucapkan sebagai huruf a Latin, kecuali untuk perkataan asing. Jadi tulisan hana hapa (ada apa, Indonesia), harus dibaca ana apa. Tapi huruf ha dalam perkataan dahar dan raharja, misalnya, dibaca sebagai huruf h Latin.
Timbulnya dua versi, yakni alalbalal dan halalbalal dikarenakan adanya dua pandangan. Apabila dianggap sebagai bahasa Jawa, penulisannya dalam huruf Latin adalah alalbalal, tapi kalau dianggap sebagai bahasa asing, maka harus ditulis halalbalal atau halalbehalal.
Post a Comment Blogger Facebook