KESELAMATAN sebagian warga Surabaya bergantung pada kiprah Sriyanto dan timnya. Lengah sedikit, salah-salah kota metropolis ini berubah jadi genangan air.
---------------- Indiani K.W., Surabaya ---------------
SUDAH 18 tahun Sriyanto menjalani rutinitas ini. Setiap hari dia meninggalkan rumahnya di Rusun Grudo, Pandegiling, menuju kawasan Krembangan. Jarak 15 kilometer itu ditempuhnya dalam 20 menit. Di pintu air Boezem Moro krembangan itu, rutinitas lelaki kelahiran Surabaya tersebut relatif stabil. Boleh juga dibilang membosankan. Dia duduk, diam, sembari sesekali melihat pintu air dan sekitarnya. Meski begitu, pekerjaan itu sama sekali enggak remeh. Ada semangat tinggi yang melandasi karya Sriyanto tersebut. Yakni, kekhawatiran dan kewaspadaan bahwa sewaktu-waktu Kota Pahlawan bisa diterjang banjir.
Ya, sebagai jagatirta tingkat kota, bapak tiga anak itu memang bertugas agar air dari kota bisa mengalir lancar ke laut. Sebaliknya, pasang laut juga tidak boleh sampai kembali masuk kota. Jika laut pasang, Sriyanto harus sigap menutup pintu air dengan delapan tingkap yang digerakkan diesel dan listrik. Karena itu, setiap jam Sriyanto harus selalu mengecek kondisi permukaan air. Baik air sungai maupun air laut.
"Kita kan tidak tahu kapan air laut naik, kapan turun. Ini urusannya dengan alam. Jadi, susah diprediksi. Saya kan tidak mau sampai teledor," katanya.
Meski begitu, Sriyanto bukannya tidak punya pemahaman mendalam soal pasang-surut laut. Memang ada prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Tapi, Sriyanto berbeda.
"Saya gunakan penanggalan Jawa yang pakai bulan. Plus firasat," ungkapnya.
Karena itu, dia memahami waktu air laut pasang besar, pasang biasa, dan surut. Sriyanto menyatakan, selama setahun terdapat tiga kali pasang besar. Pasang besar tersebut terbagi dalam empat bulan purnama. Setiap tiga bulan sekali pasang besar terjadi.
"Itu terjadi kalau iklim normal. Kalau kerap anomali cuaca seperti sekarang, prediksi menjadi susah."
Baginya, yang penting adalah stand by dan sigap mengamati kondisi. Dengan kondisi pekerjaan tersebut, Sriyanto sejatinya paling sreg tinggal di dekat pintu air. Pengawasan level air dan kondisi pompa jauh lebih mudah ketika Sriyanto tinggal di rumah pompa. Tapi, kasihan keluarganya. Kawasan Boezem Morokrembangan cukup jauh dari permukiman warga.
"Dikenal angker," ungkap lelaki 47 tahun itu.
Dengan demikian, pria kelahiran 10 Desember 1967 itu harus berkorban. Dia rela berangkat pagi, pukul 05.00, lantaran ada kewajiban ngantor ke dinas bina marga dan pematusan. Setelah itu, barulah dia meluncur ke pintu air. Kakek satu cucu tersebut juga kerap meninggalkan acara keluarga. Sekalipun itu acara duka. Semua dilakukan demi menjalankan tugas sebagai penjaga pintu air.
"Hitung-hitung saya beramal, menyelamatkan warga dari kebanjiran," akunya.
Lantaran pekerjaan penjaga air terbilang rawan sekaligus strategis, Sriyanto dan timnya yang berjumlah tiga orang nyaris tidak punya libur.
"Kalau libur seperti PNS, siapa yang mengawasi pintu air?" ujar pria yang mengawali karir sebagai kuli perbaikan pompa dengan bayaran nasi bungkus dan teh itu.
"Maka, tim itu harus kompromi. Mereka saling mengondisikan waktu libur. Semua kudu dirembukkan. Semua siap mengganti jadwal temannya yang memang waktunya libur."
Pembagian jatah libur itu bisa dilakukan secara mudah saat musim kemarau. Ketika musim penghujan, mereka berjaga berbarengan. Sebab, tidak mungkin pintu air yang besar itu diawasi sendiri. Mereka jelas tidak sanggup. Dan penghujan adalah musim ketegangan. Kewaspadaan tinggi dalam mengontrol serta mengosongkan air di boezem kerap dipadu hujan deras plus sambaran petir di sana-sini. Ketika itu boezem harus terus dikosongkan, disedot pakai pompa, pada level kedalaman 120-130 sentimeter.
"Itu batas aman agar Surabaya tidak kebanjiran. Kalau kedalaman kurang dari ambang aman tersebut, boezem tidak mampu menampung. Pintu-pintu air yang terhubung ke boezem akan full. Akibatnya, luapan air menjalar dan menggenangi beberapa kawasan."
Sebagai benteng pertahanan banjir yang strategis, pompa air di Morokrembangan tidak pernah mati. On terus 24 jam. Sebab, kalau mati, mereka perlu waktu untuk memanaskan pompa. Pengurasan pun terhambat. Yang dianggap problem utama oleh Sriyanto adalah sampah. Di muara akhir, selalu saja ada sampah yang terangkut setiap hari. Setidaknya, ada 4-5 rit (jalur pergi-pulang) truk yang mengangkuti buangan masyarakat kota tersebut.
"Saya ini heran dengan orang Surabaya. Kok nggak sadar-sadar. Kalau banjir, kan mereka sendiri yang repot," jelas pegawai negeri sipil golongan I tersebut.
Memang saat ini pengambilan sampah jadi lebih mudah. Sudah ada peranti bernama mechanical screen yang dioperasikan sejak 2009.
Rasanya, laut dan pintu air memang sudah jadi bagian dari kehidupan Sriyanto. Sebab, sudah empat kali dia berpindah-pindah dari satu pintu air ke pintu air yang lain. Kini Sriyanto hanya menjalani karir yang dimulai dari nol itu secara istiqamah. Dia beranggapan, semua profesi yang dilaksanakan secara baik pasti menjadi berkah dan nikmat. Yang kerap dia lakukan adalah membunuh kejenuhan bersama tim pemantau air yang sudah menjadi keluarga kedua. Di sela-sela mengawasi tingkat air, mereka menonton TV bersama, memancing dan membakar ikan, serta makan bareng. Kebersamaan bersahaja mereka, sedikit banyak, menyelamatkan warga Surabaya dari ancaman banjir. (*/c6/dos)
Post a Comment Blogger Facebook