Perkembangan jagat medis tidak melulu berkutat pada riset teknis. Layanan terhadap pasien pun kudu ikut membaik. Itulah alasan Dr Joni Wahyuhadi dr SpBS dan sejumlah rekannya membuat Surabaya Neuroscience Institute (SNeI).
Kardono Setyorakhmadi, Surabaya
'
"TIDAK efektif dan efisien." Itulah yang dirasakan dr Joni Wahyuhadi saat melihat layanan bedah saraf di Surabaya sebelumnya.
"Tapi, ini bukannya malpraktik loh ya, tapi lebih pada kurang efisien dan efektif, " kata Joni.
Contohnya, seorang pasien trauma otak seharusnya ditangani ahli bedah saraf otak. Tapi, karena tidak ada dokter tersebut, pasien dirujuk ke spesialis bedah saraf spinal cord (sumsum tulang belakang).
"Pasien memang tetap bisa disembuhkan dan dokter bedah saraf spinal cord juga bisa melakukan penanganan medisnya. Tapi, itu tetap kurang efektif. Sebab, operasi yang mestinya bisa dilakukan sekali jadi harus dua kali. Terapi intensif yang bisa berlangsung dua bulan jadi empat bulan. Ini tentu akan merugikan pasien itu sendiri," papar pria yang kini menjabat sebagai Kabid Pelayanan Medik RSUD dr Soetomo tersebut.
"Bedah saraf secara garis besar dibedakan tiga macam. Yakni, bedah saraf otak, bedah saraf spinal cord, dan bedah saraf tepi. Dari tiga aliran bedah saraf tersebut, penyakitnya terbagi lagi macam-macam. Ada trauma kepala, ada neuro trauma, neuro onkologi (khusus tumor), neuro pediatri (anak-anak). Jadi, memang ada spesialisasi sendiri-sendiri," ucapnya.
Dia menganalogikan dengan wartawan. Semua wartawan pada dasarnya pasti bisa meliput apa pun. Tapi, wartawan juga punya karakter masing-masing yang membuatnya bisa bekerja lebih efektif dan efisien untuk pos-pos tertentu. Misalnya, wartawan yang terbiasa di kriminal akan sulit untuk menulis berita lifestyle.
"Tapi, kalau dipaksa, dia juga tetap bisa meliput dan menulisnya. Tapi, kalau ada event lifestyle,paling pas kan ya wartawan lifestyle," katanya.
Karena itu, ketidaktepatan tersebut menimbulkan pelayanan yang tidak efektif dan efisien. Akibatnya, yang dirugikan adalah pasien. Perawatan lebih lama dan biaya juga lebih mahal. Apalagi perbandingan antara ahli bedah saraf dan pasien yang memerlukan bedah saraf sangat tidak seimbang. Hanya ada 19 ahli bedah saraf di Surabaya, tapi pasiennya sangat banyak.
"Untuk bedah tumor otak saja, saat ini ada 154 antrean operasi. Belum lagi trauma akibat kecelakaan. Untuk jumlah total kecelakaan yang membutuhkan bedah trauma kepala, saya tidak tahu pasti. Tapi, yang dirujuk di RSUD dr Soetomo 1.500 kasus per tahun," terangnya.
"Sebagai perbandingan, itu jumlah bedah saraf trauma kepala selama setahun di seluruh Jepang," imbuh bapak tiga anak tersebut.
Berdasar itulah, dia kemudian bersama dua temannya menginisiasi berdirinya Surabaya Neuroscience Institute dua tahun lalu. Joni mengaku terinspirasi oleh mazhab kedokteran Jepang. Mereka benar-benar memperhatikan pasiennya. Terutama dalam layanan.
"Bahkan, di RSUD dr Soetomo ketika mendampingi operasi yang kami lakukan, mereka sama sekali tidak mau dibayar. Katanya, lebih baik uangnya disumbangkan ke riset pengetahuan kedokteran saja," terangnya.
SNeI pun berdiri dua tahun lalu. Tujuannya adalah memberikan layanan terbaik yang efektif dan efisien serta aman. Juga menetapkan standar prosedur dan teknik pelayanan terhadap pasien.
"Tapi, yang paling penting adalah para dokter ilmu bedah saraf mulai membentuk semacam sindikasi atau grup untuk saling membantu memberikan pelayanan terhadap pasien. Gambaran sederhananya seperti ini. Bertolak dari fakta bahwa tidak semua rumah sakit mempunyai ahli bedah saraf yang lengkap (dari tiga aliran utama bedah saraf tersebut), para dokter bedah saraf yang punya satu keahlian siap membantu koleganya. Misalnya, ada seorang pasien yang masuk RS A dan dia mengalami trauma kepala. Sementara itu, RS A tersebut hanya punya ahli bedah saraf spinal cord. Bila sebelumnya pasien tersebut langsung ditangani ahli bedah sumsum tulang belakang itu, kini tidak lagi. Ahli bedah saraf tulang belakang itu akan memanggil ahli bedah saraf trauma kepala untuk membantunya di RS tersebut. Pasien tidak dipungut biaya lagi. Tetap bayar satu dokter. Sementara koleganya membantu bukan karena untuk mendapatkan uang tambahan, tetapi terikat pada komitmen saling membantu dalam SNeI," jelas Joni.
"Tidak ada beban tambahan lagi kepada pasien, tapi pasien mendapat pelayanan dari pakarnya langsung."
Selain itu, SNeI bergerak di bidang pengembangan kemampuan ahli bedah saraf dengan mengadakan seminar-seminar. Juga menerbitkan tiga buku pedoman tata laksana penanganan. Yakni, tata laksana penanganan cedera otak, tata laksana penanganan tumor otak, dan tata laksana kelainan tulang belakang.
"Di dunia medis, menerbitkan tiga buku dalam dua tahun bukan hal yang mudah. Dibutuhkan ketekunan dan waktu luang di sela-sela timbunan kasus bedah saraf yang harus ditangani."
Dengan meluangkan waktu tidak dibayar untuk membantu kolega, itu juga bukan pilihan populer bagi para dokter. Fee lebih banyak, terutama untuk jadi tabungan ketika bersekolah, kerap membuat sejumlah dokter lebih mementingkan kejar tayang. Menjadi dokter di tiga rumah sakit dan buka praktik. Itulah stigma negatif yang sering melekat di benak para pasien. Hal itu memang tidak dibantah pria yang kali pertama menghirup udara bumi pada 20 Juni 50 tahun silam tersebut.
"Tapi, jangan salah. Ada satu jenis kebahagiaan yang tak bisa diukur dengan apa pun. Yakni, melihat pasien sembuh danrecovery.Wuihhh... rasanya tak terlukiskan, " terangnya.
Bagi Joni pribadi, berinteraksi dengan pasien adalah hal membuatnya jatuh cinta pada profesi dokter.
"Salah satu yang paling berkesan dan menohok bagi saya adalah menangani pasien stroke lima tahun lalu," katanya.
Ketika itu seorang pria mengalami stroke di otak kecil. Kepada anak pria tersebut, Joni berkata terus terang.
"Ini saya jelaskan kondisi sebenarnya. Harus ada operasi. karena kalau tidak, ayah Anda akan meninggal. Tapi, kalau operasi, harapan sembuh total tidak ada. Ayah Anda akan mengalami kondisi vegetatif," katanya.
Maksudnya adalah tidak bisa apa-apa, hanya terbaring di ranjang. Istilah orang Jawa kembang amben. Jawaban anak itu sungguh menohoknya.
"Mohon tolong dioperasi. Meski kondisinya jadi vegetatif, berikan kesempatan kepada saya untuk membalas budi ayah saya," kata Joni, menirukan ucapan pemuda tadi.
Joni mengaku terenyak dan segera menyiapkan segala sesuatunya untuk operasi. Prosedur yang dilakukan Joni berhasil dan seperti diprediksi, ayah anak tersebut mengalami kondisi vegetatif. Dan anak itu membuktikan ucapannya. Dia mengurus ayahnya dengan baik, terangnya. Pemuda tersebut juga mau belajar mengenai penyakit bapaknya dan cara menanganinya.
"Bahkan, saya sampai diberi buku teori ilmu saraf terbaru untuk stroke yang saya sendiri belum punya. Saya benar-benar salut dengannya," terangnya.
Setelah dirawat dengan baik selama empat tahun, suatu ketika ayahnya tiba-tiba mulai bisa duduk. Joni pun diundang untuk menyaksikannya dan dirinya mengaku sangat terharu. Sayangnya, dua bulan kemudian, tiba-tiba si ayah mengalami stroke lagi. Joni buru-buru menanganinya. Tapi, kali ini meski Joni sudah berusaha keras, Tuhan berkata lain. Ayah anak itu meninggal. Joni mengaku sangat emosional saat itu dan memeluk pemuda tersebut. Menguatkannya, memberinya ucapan belasungkawa sekaligus pujian telah sabar dan telaten merawat ayahnya.
"Tidak masalah, Dok. Saya sudah bersyukur bisa merawat ayah saya selama empat tahun. Saya harap saya telah merawatnya dengan baik," jawab pemuda itu, yang membuat mata Joni terasa pedas dan kemudian berkaca-kaca.
"Hal-hal seperti inilah yang membuat saya termotivasi untuk memberikan yang terbaik bagi pasien," terangnya.
Sebab, setiap pasien adalah manusia. Bukan statistik penyakit. Menurut dia, ilmu kedokteran tetap saja tidak akan bisa membuat seseorang yang mengalami penyakit berat, terutama di usia senja, bisa sembuh total. Tapi, kebahagiaan itu diperoleh dalam upaya-upaya memberikan penyembuhan yang terbaik bagi pasien. Juga memperlakukannya sangat manusiawi.
"Karena pada dasarnya, seorang dokter pasti tidak ingin ada manusia yang terkena penyakit. Tapi, karena hukum alamnya sudah seperti itu, kami akan terus berjuang memberikan pelayanan yang terbaik," terangnya.
Bagi Joni, nilai kehidupan terletak dalam perjuangan untuk memberikan pelayanan kepada pasien. Dengan cara manusiawi dan dengan cara yang bisa mengurangi penderitaan pasien tersebut.
"Seperti pedoman yang dipegang kaum Humanis Universal, Bagi manusia, manusia itu suci."(*/c6/dos)
Post a Comment Blogger Facebook