TUGU Pahlawan di Surabaya merupakan saksi bisu heroiknya perjuangan arek-arek Suroboyo dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tapi, tak banyak yang tahu bahwa tempat itu dulu pernah menjadi markas Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), cikal bakal polisi militer sekarang.
--------------------- Gunawan Sutanto, Jakarta ---------------------
Nah, sosok di balik pendirian PTKR itu tak lain Suhario Padmodiwirjo atau yang lebih dikenal dengan nama Hario Kecik. Sebelum pecah pertempuran Surabaya pada November 1945, pria kelahiran Surabaya tersebut adalah mahasiswa kedokteran di sebuah universitas di Jakarta. Dia tergerak ikut gerilya saat pertempuran pecah, setelah arek-arek Suroboyo menolak menyerah kepada sekutu yang dipimpin Inggris.
Saat pertempuran terjadi, Hario dipercaya menjadi komandan Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT). Dia memimpin daerah operasi sekitar Kawi, Malang Selatan. Dan, ketika perang kemerdekaan berakhir, Hario tetap memilih berkarir di militer. Sejumlah pendidikan militer pun pernah diikutinya. Sejarah mencatat, dia sempat dikirim ke sekolah militer di Amerika dan menjadi lulusan terbaik sekaligus penembak termahir di Fort Benning, Georgia, AS, pada 1956. Hario juga menjadi satu-satunya perwira militer dari Indonesia yang memiliki pengalaman pendidikan di College Suvorov, Moskow, pada 1965. Atas prestasi itu, Hario sempat menjadi prajurit kesayangan Presiden Soekarno. Karir militer Hario pun melesat sampai dia berhasil meraih pangkat mayor jenderal dengan jabatan terakhir Pangdam IX/Mulawarman di Kalimantan pada 1959-1965.
Sayang, kecemerlangan Hario tersebut lenyap begitu saja ketika dia dituduh rezim Soeharto terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu.
"Biarlah, saya tak mau berkubang dengan dendam. Yang pasti ideologi hanya satu, yakni melaksanakan etik Angkatan 45 dan tak pernah mengkhianati Bung Karno selaku simbol republik," tulis Hario dalam buku memoarnya, Hario Kecik, Otobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit, terbitan Yayasan Obor, cetakan I 1995.
Atas tuduhan itu, Hario dipenjara -tanpa pengadilan- sekitar empat tahun oleh rezim Soeharto. Itu terjadi setelah dia pulang dari penugasan Presiden Soekarno di Uni Soviet. Hak-haknya sebagai prajurit pun hilang begitu saja. Termasuk uang pensiun yang mestinya dia dapat. Kini pria kelahiran 12 Mei 1921 itu tengah tergolek tak berdaya. Dia koma setelah terjatuh saat hendak keluar dari kamar tidur 30 Juli lalu. Sejak itu Hario dirawat di Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi. Tanpa hak-hak yang semestinya didapat itu, keluarga Hario mencoba survive.
"Kondisi bapak kini kian drop. Dokter mendiagnosis terjadi pendarahan di otak. Sempat sadar, tapi kini sudah tak bisa mengenal orang lagi," ujar istri Hario, Kusuma Dewi Putri, ketika ditemui di rumahnya, Jalan Kalingga 17, Jaka Permai, Bekasi Barat, Sabtu lalu (16/8).
Dewi -panggilan Kusuma Dewi Putri- kini berupaya sekuat tenaga menanggung biaya pengobatan Hario seorang diri. Salah satu caranya adalah menjual satu per satu hartanya yang tak seberapa, termasuk lukisan-lukisan karya suaminya. Tak ada bantuan atau santunan apa pun dari pemerintah, termasuk dari kesatuan Hario.
"Bapak pernah bilang tak perlu mempermasalahkan masa lalunya meski kami didiskriminasikan. Pesan beliau, kami harus ikhlas, ungkap" Dewi, istri kedua Hario yang dinikahi setelah istri pertamanya, Lily Koestadji Maskan, meninggal pada 1996.
Dari pernikahan pertamanya, Hario memiliki 6 anak, 10 cucu, dan 2 cicit. Sedangkan dari pernikahan keduanya dengan Dewi, Hario tak dikaruniai anak. Dewi menceritakan, setelah rezim Soeharto tumbang pada 1998, sempat datang beberapa orang yang menyatakan bakal membantu memulihkan status dan nama baik Hario Kecik. Namun, sampai sekarang hal itu tak menemui jalan terang.
"Anak-anak bapak juga sudah sempat disuruh tanda tangan dokumen waktu itu, " terang Dewi, tapi entah kenapa sampai sekarang tidak jelas.
Menurut Dewi, meski tak lagi aktif dalam militer, suaminya tetap berupaya memberikan sumbangsih pemikiran lewat buku-buku tentang kemiliteran maupun sejarah perjuangan kemerdekaan yang dialaminya. Tak kurang 30 buku lahir dari pemikiran Hario.
"Sampai saat ini sudah sekitar 30 buku yang ditulis bapak. Semua menyangkut sejarah dan kemiliteran, termasuk dalam bentuk novel," jelasnya.
Buku yang paling terkenal adalah memoar Hario Kecik yang menuliskan pengalamannya ikut bergerilya selama perang Surabaya dan perang kemerdekaan. Menurut pemerhati sejarah Surabaya Ady Setiawan, Hario Kecik merupakan sosok pejuang yang luar biasa. Ady sempat beberapa kali menemui Hario secara khusus untuk membantu menyelesaikan proyek-proyek penelusuran sejarah perang kemerdekaan.
"Selain seseorang yang ahli di bidang militer, beliau pelukis andal," ujar Ady yang pernah ditunjuki lukisan-lukisan karya Hario.
Pendiri komunitas sejarah Roodebrug Soerabaia itu juga mengenal Hario sebagai sosok yang fasih berbahasa Belanda, Inggris, Rusia, dan Jepang. Kepada Ady dan sejumlah anggota Roodebrug yang menemui beberapa waktu lalu, Hario sempat berjanji pulang kampung ke Surabaya dan ikut dalam kegiatan parade juang pada setiap peringatan hari kemerdekaan.
"Pak Hario juga dikenal sebagai penulis naskah film. Dia berjanji mengarahkan kami dalam pembuatan film kolosal pertempuran Surabaya," ujar Ady.
Kecintaan Hario Kecik pada kota kelahirannya juga dia wujudkan dengan menyumbangkan sejumlah benda bersejarah untuk Museum 10 Nopember di Tugu Pahlawan. Terakhir, upaya itu dia lakukan saat peringatan Hari Pahlawan setahun silam. Barang-barang bersejarah yang diserahkan Hario untuk melengkapi koleksi Museum 10 Nopember antara lain pistol Mauser, buku intelijen dalam masa perang, dan memoar Hario Kecik. Namun, atas pertimbangan kesehatan, penyerahan benda-benda bersejarah itu dilakukan dua anak Hario, Girindro Hanantoseno dan Satrio Bimo, kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. (*/c9/ari)
Post a Comment Blogger Facebook