Wajah Hardi Mustakim Tjiong tampak berseri-seri. Senyumnya terus mengembang kepada pembesuknya. Jika Hardi tak memakai baju rumah sakit (RS) dan tidak terlihat infus yang tertancap di tangan kanannya, orang bakal mengira pria 69 tahun itu baik-baik saja. Padahal, dia penderita kanker hati stadium empat. Hanya, dia kini merupakan survivor kanker yang berhasil bertahan dan mendekati sembuh. "Kalau sedang tidak diinfus, biasanya saya pakai jalan-jalan," ujar Hardi, pasien asal Indonesia, ketika ditemui di ruang perawatannya di lantai 4 Fuda Cancer Hospital Guangzhou, Tiongkok, Sabtu pekan lalu (16/8).
Di rumah sakit khusus kanker itu terdapat pasien dari berbagai negara. Salah satunya dari Indonesia. Bahkan, pasien dari Indonesia terbilang paling banyak di antara pasien dari negara lain. Dalam setahun rata-rata ada 300-500 pasien dari Indonesia yang menjalani pengobatan di RS yang memberikan layanan plus-plus tersebut.
Hardi adalah salah seorang pasien yang kini menjalani pengobatan intensif di Fuda. Mengenakan apron antiradiasi, Hardi bercerita bahwa sebelumnya dirinya tidak pernah sakit parah. Sampai pada awal 2003 dia didiagnosis menderita hepatitis C yang mengakibatkan sirosis atau pengerasan hati. Namun, dengan pengobatan teratur, sirosis yang dia derita berhasil disembuhkan. Kondisi Hardi benar-benar sehat sampai awal Juni 2010 tiba-tiba dadanya sesak. Tak mau mengambil risiko, Hardi langsung pergi ke dokter untuk memeriksakan diri. Awalnya dia hanya di-USG (ultrasonografi). Hasilnya, diketahui ada benjolan di area livernya. Tak puas, bapak tiga anak itu akhirnya melakukan CT-scan. Hasilnya serupa, ada benjolan sebesar kurang lebih 10 sentimeter di livernya yang menekan paru-paru. Karena itulah, dia kerap merasa sesak. Salah seorang dokter yang memeriksanya menjelaskan bahwa pasien hepatitis C, meski sudah sembuh, harus menjaga pola makan dengan disiplin. Sebab, jika tidak, penyakitnya bisa kambuh dan berkembang menjadi kanker hati sepuluh tahun kemudian.
"Mendengar penjelasan seperti itu, saya langsung shock," ungkap suami Maria Murniati tersebut. Hardi lantas mencari second opinion dari dokter lain, namun hasilnya sama. Bahkan, yang menambah kaget, seorang dokter yang memeriksanya menyatakan bahwa kanker yang diderita Hardi sudah masuk stadium 4B. Harapan kesembuhannya sangat tipis. Hanya mukjizat yang bisa membuatnya sembuh.
"Saya divonis hanya mampu bertahan enam bulan sejak didiagnosis menderita kanker hati stadium 4B. Masih tahun 2010," tambah warga Jakarta itu.
Tapi, vonis dokter tersebut tak lantas membuat Hardi terpuruk. Dia tetap bersemangat menjalani hidup. Bagi dia, semangat merupakan 30 persen modal untuk bisa sembuh. Bersama anak-anaknya, Hardi lalu mencari RS yang bisa menyembuhkan kankernya. Baik itu lewat informasi dari kenalan maupun internet. Hasilnya, Hardi dan keluarga memutuskan untuk melakukan pengobatan di Fuda Cancer Hospital. Sebab, di RS tersebut pengobatan kanker bisa dilakukan tanpa operasi. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, tim dokter di Fuda juga menyatakan bahwa kanker yang diderita Hardi sudah masuk stadium 4B. Namun, kanker itu belum menyebar.
Selama 2010 dia menjalani lima kali cryo surgery dan tujuh kali kemoterapi dengan metode TACE di Fuda. Cryo surgery adalah metode untuk mematikan sel kanker dengan mendinginkannya, kemudian memanaskannya sehingga sel kanker rusak dan menyusut. Sedangkan metode TACE merupakan kemoterapi yang obatnya diberikan di area kanker saja dengan dosis lebih besar. Hasilnya, kesembuhan lebih cepat dengan efek samping lebih ringan. Akhir 2010 Hardi dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang ke Indonesia. Dalam dua kali pemeriksaan rutin pada 2011 dan 2012 pun, tidak ditemukan sel kanker di tubuh Hardi. Dia begitu lega. Tapi, pada 2013 Hardi kembali shock. Pasalnya, ditemukan titik kanker baru di livernya.
Sel kanker tersebut ditemukan secara tidak sengaja. Saat itu Hardi mengikuti kegiatan pengobatan dan pemeriksaan kesehatan yang diselenggarakan sebuah lembaga. Tak diduga, hasil pemeriksaan tersebut mengindikasikan sebuah titik yang bergerak. Setelah diteliti lebih jauh, itu ternyata sel kanker baru yang tumbuh lagi. Maka, pada akhir Desember 2013 Hardi kembali berobat ke Fuda di Guangzhou. Dia melakukan cryo surgery satu kali di RS internasional tersebut. Seminggu kemudian dia pulang ke Jakarta. Terakhir, Sabtu pekan lalu bapak murah senyum itu datang untuk melakukan seed knife therapy. Yaitu terapi dengan menanam pisau halus yang berupa biji radioaktif iodine 125 di area sel kanker.
Tubuh Hardi akan mengeluarkan radiasi selama kurang lebih 59 hari. Karena itulah, dia harus memakai apron ke mana-mana agar orang yang berada di dekatnya tetap terlindung dari radiasi yang dipancarkan tubuhnya. Saking seringnya berobat ke Fuda, Hardi sampai merasa RS itu seperti rumah sendiri. Dia kenal dengan banyak dokter dan perawat. Pribadinya yang ramah juga membuatnya cepat akrab dengan pasien lain.
Kini, saat berobat, Hardi pergi sendiri tanpa didampingi keluarga.
"Saya sudah tahu jalannya", ujar Hardi yang suka jalan-jalan di Kota Guangzhou di sela-sela pengobatannya di Fuda Hospital. Di Fuda Hospital Hardi juga dikenal karena kemurahan hatinya membantu pasien lain. Dia memiliki keahlian bahasa Mandarin. Maka, saat staf penerjemah Mandarin-Indonesia di RS itu sudah pulang atau libur, Hardi dengan sukarela mau menjadi penerjemah bagi pasien Indonesia dan dokter atau perawat setempat.
"Senang bisa membantu teman-teman pasien lain," ucapnya sambil tersenyum.
Hardi berharap kali ini adalah pengobatan terakhirnya.
"Saya yakin akan sembuh total setelah ini," ujarnya optimistis.
Pasien lain yang tak kalah bersemangat adalah Brahmana Silalahi, 67. Dia adalah mantan pejabat Pertamina yang divonis menderita kanker prostat pada 2009. Awalnya dia mengeluh saat buang air kecil. Badannya lemas dan sering berkeringat. Bahkan, beberapa kali kencingnya mengeluarkan darah. Semula Brahmana berobat di sebuah RS swasta di Jakarta. Namun, dokter yang menangani terkesan menggampangkan keluhan Brahmana. Kata dokter, hanya dengan memasang kateter di saluran kencing, penyakit Brahmana sudah bisa sembuh. Tak puas dengan tindakan dokter RS itu, Brahmana kembali memeriksakan keluhannya di RS di Singapura. Dari situlah penyakitnya diketahui, yakni kanker prostat stadium tiga dan masuk kategori ganas. Brahmana kaget bukan kepalang ketika divonis terkena kanker ganas. Dia langsung memutuskan pulang.
Ayah seorang anak tersebut lalu bersiap menjalani pengobatan lebih lanjut. Namun, sebelum itu, selama setahun dia bertekad menyelesaikan hal-hal yang menurut dia harus dituntaskan. Di antaranya menikahkan putri semata wayangnya serta menyelesaikan utang piutangnya.
"Alhamdulillah, semua bisa selesai dalam setahun," ujar konsultan perminyakan tersebut.
Brahmana lalu berobat selama 1,5 tahun di Singapura. Pada awal 2011 dia dinyatakan sembuh. Dia kemudian mulai sibuk dengan aktivitas seperti biasa. Namun, pada Juli 2011 dia kembali merasakan sakit, tapi pada tulang-tulang tubuhnya. Maka, dia pun pergi lagi ke Singapura untuk memeriksakan diri. Hasilnya, dokter menyatakan bahwa kanker yang diderita Brahmana ternyata telah menyebar dan sudah masuk stadium empat. Dia harus menjalani kemoterapi, tapi memilih pulang.
Di tengah kegalauan Brahmana mencari pengobatan, Menteri BUMN Dahlan Iskan yang pernah menjalani operasi ganti hati di RS Tianjin, Tiongkok, lalu menyarankan dia berobat ke Negeri Panda itu. Saran tersebut dituruti dan pilihannya jatuh ke Fuda Cancer Hospital.
"Saya percaya kepada Pak Dahlan," ujarnya singkat.
Di Fuda Brahmana melakukan positron emission tomography (PET) scan. Hasilnya, kanker di tubuhnya telah menyebar ke tulang iga, leher, tulang panggul, dan tulang belakang. Dia pun harus menjalani 8 kali cryo surgery dan 8 kali TACE.
"Pada 2012 saya kembali dinyatakan sembuh," ujar suami Hariana Brahmana itu.
Namun, kesembuhan tersebut tak berlangsung lama. Pada akhir 2013 kankernya kembali muncul di tempat yang sama, termasuk di prostat. Kini Brahmana kembali ke Fuda Cancer Hospital. Dia menjalani imunoterapi untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya. Dia juga berencana menjalani terapi stem cell. Selama Brahmana sakit, keluarga menjadi penyokong utama semangatnya melawan penyakit ganas itu. Sang istri dengan setia terus mendampingi. Suara dari cucu saat ditelepon juga membuatnya kian bersemangat untuk kembali sehat.
Brahmana mengakui, saat divonis menderita kanker ganas, dirinya sempat benar-benar down. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Dia kini sudah bisa melupakan penyakitnya tersebut dan justru sering membagi pengalamannya menjadi pasien kanker kepada pasien-pasien lain. Banyak pasien yang datang ke rumahnya untuk bertanya seputar pengobatannya.
"Saya selalu terbuka untuk sharing agar bisa membantu pasien lain," pungkasnya. Direktur Fuda Medical Group Indonesia Dr Liu Zhengping mengungkapkan, pasien-pasien di Fuda Cancer Hospital memang menjalin hubungan yang erat satu sama lain. Mereka tak sungkan berbagi pengalaman dengan pasien kanker lainnya. Baik itu yang berobat di Fuda maupun di tempat lain. Di Jakarta malah ada perkumpulan pasien-pasien kanker yang pernah berobat di Fuda.
"Adanya perkumpulan itu diharapkan bisa membantu pasien yang membutuhkan, " tutur Liu.(*/c9/ari)
Post a Comment Blogger Facebook